Senin, 30 Agustus 2021

GENDER, DAN HAL-HAL YANG BELUM TUNTAS


Ada seorang Bissu [1] membuat pernyataan dengan bahasa sederhana “kenapa seorang selalu mempermasalahkan gender ‘kenapa masih perlu dianalisis gender’ kalau sibuk dengan hal demikian, akan seperti menanyakan gender Tuhan kita.” Ujarnya, dengan bahasa ibu yang sederhana, ia berkata demikian. Hal tersebut jika dipikirkan secara mendalam berlarut-larut, dan tenaga kita akan habis, sebab banyak perspektif yang perlu mendasari akan hal tersebut. berbicara mengenai “gender” tentu perlu dasar perspektif luas; perlu dari secara biologis, agamis, psikologis, kultur budaya, dan hal-hal yang belum selesai yaitu feminisme. Jika menjelaskan secara panjang lebar akan melahirkan sebuah pilihan. Pilihan tersebut akan membuat reduksi pikiran kita, yang terus masuk dan bisa menanyakan pada diri kita sendiri “kita perlu bersikap seperti apa, ketika kita tahu dari banyak perspektif?” hal ini menjadi refleksi bagi kita semua.

Dalam hemat penulis membincangkan “gender” tentu hal yang umum, tapi rumit. Tidak ada salahnya mencoba menyederhanakannya. Sebab secara realitas tanpa disadari kehidupan sehari-hari selalu bertemu, dan bahkan mengalaminya. Dekat dengan kehidupan baik individu maupun universal. Berbicara gender secara luas terkadang melahirkan sebuah pandangan yang tabu, bahkan kalau lebih dalam lagi akan abu-abu, kecuali sanad serta akhirnya akan mengembalikan kepada diri sendiri dan bisa mengambil intisari dari banyaknya pendapat. Sebab tidak semua dapat diambil diamalkan secara baik karena ada pula pandangan yang akan berdampak buruk, walaupun niatnya baik. Pada kondisi tersebut  tentu memulai dari perspektif secara biologis. Adapun, secara biologis bicara gender tentu akan mengingatkan pada sebuah fenomena yang terjadi pada sejarah Bissu di Sulawesi Selatan tahun 1950[2] dipelopori oleh Kahar Muzakar orang beragama ekstrimis.


Faisal Oddang[3] menulis karangan novel berjudul “Tiba Sebelum Berangkat” Terbitan KPG (2018), mengisahkan pertikaian antara kelompok DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Yang mana kelompok tersebut di tahun 1951 menyisir semua Bissu untuk diadili, mengintrogasi, bahkan dihabisi. Karena dianggap menyimpang dari nilai-nilai agama, dan dianggap bahwa Bissu tidak memiliki agama dipandang secara biologis dan konstruksi sosial di masyarakat berlaku.  Bahkan dipandang dari kehidupan keseharian dianggap menyimpang dari yang ada di agama. Bagi masyarakat Bugis, ia dianggap orang yang suci bahkan dihormati. Karena  dipercaya mampu menghubungkan masyarakat dengan Tuhan. Walaupun secara penampilan Bissu bergender laki-laki, tapi penampilan perempuan. Sewaktu-waktu bisa saja Bissu berhubungan seksual. Bissu memiliki dualitas tubuh laki-laki dan perempuan.


Mengambil dari kisah diatas tersebut merupakan salah satu potret kehidupan gender, yang mendapatkan diskriminasi secara agama, tapi tidak secara budaya. Maka dapat kita ambil kesimpulan sederhana bahwa di masyarakat kita memahami sebuah “agama dari budaya atau budaya dari agama” di Indonesia pada konsep ini masuknya Islam ke Nusantara di abad ke 13 dari para pedagang Timur Tengah. Budaya berdagang orang-orang Nusantara, ini sebagai contoh nyata bahwa agama Islam awal mula menyesuaikan dengan budaya setempat, lalu membicarakan tentang ilmu agama. Kuntowijoyo dalam buku berjudul “Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia” cetakan IRCiSod (2017) memberi penjelasan mengenai agama kurang lebih begini “agama di Nusantara secara budaya dan bentuk-bentuk masjid berbeda dengan yang di Arab, maka bentuknya saja berbeda sehingga budaya yang ada akan menyesuaikan dengan yang ada di dalam akidah, tapi tidak dengan bentuk atau cara-cara beriman.


Feminisme dan Gender

Mula-mula  kalau kita membicarakan tentang feminism coba mengambil sebuah pemaknaan  secara semantik mengenai kata “feminisme” yang secara etimologi berasal dari bahasa latin yaitu, “femina” disadur ke dalam bahasa inggris jadi kata “femine” yang berarti memiliki sifat-sifat perempuan, lalu dapat imbuhan “isme” (paham) tentang nasib-nasib perempuan. Dalam hal ini feminisme berbicara tentang hak-hak perempuan yang dituntut, maupun yang secara kodrati. Sehingga menemukan sebuah idealnya konsep serta penerapan yang dapat mengkonstruksi sistem sosial,  menjadi kesadaran kolektif, yang akan bisamembuat (keadilan) dan (persamaan) tidak terjadi subordinasi, patriarki, dan marginalisasi.

Sedangkan kata “gender” kalau diartikan dalam bahasa Indonesia, yang termaktub dalam Kamus Besar Bahasa  Indonesia (KBBI) mempunyai makna jenis kelamin. Kalau dibenturkan dengan hubungan “analisis gender” apakah akan ada korelasi kelamin dengan hak-hak yang menjadi tanggung jawab sosial dan individual. Sehingga kajian secara khusus dapat penjelasan lebih signifikan dalam konteks hubungan “kodrati” atau “biologis” dan “konstruksi sosial” atau “anggapan masyarakat”. Hal ini melahirkan sebuah pandangan kalau gender berkaitan dengan hukum biologis dan hukum sosial.

Menelisik ke sejarah panjang ke belakang, yaitu. Pada 570 (M) yang dikenal dengan kehidupan Nabi Muhammad Saw, disebut dengan tahun gajah. Bahwa sebelum itu sangat terjadi diskriminasi perempuan yang tidak humanis, di mana dalam sejarah perempuan itu tidak berharga, kaum perempuan sebagai aib bahkan dibunuh, zaman itu disebut “zaman jahiliyah” dengan lahirnya Nabi Muhammad Saw., perempuan dimerdekakan dan dimuliakan.


Sejarah Gerakan Feminisme

Mula-mula kalau membicarakan gerakan feminisme dilacak dari sejarahnya, tentu tidak keluar dari sebuah pengaruh post-modern. Sehingga dapat dikatakan besar serta perkembangan gerakan feminism anak kandung dari budaya barat ditandai dengan lahirnya revolusi ilmu pengetahuan di abad XIIV dan lahirnya revolusi Prancis yang konon mendorong liberalisme masif pada abad ke XIIIV sehingga revolusi tersebut melahirkan perubahan besar-besaran mengenai kesadaran manusia, mengenai sosial, politik, bersama itu, kesadaran khususnya perempuan yang ikut serta memperjuangkan hak-haknya.

Mengacu pada perkembangan Eroupa khususnya di Inggris Mary Wollstonecraft melalui karya berjudul “A Vindication Of The Right Of Women” di tahun 1792. Selalu menyuarakan hak-hak perempuan yang menjadi pijakan banyak orang akan hal perkembangan gender. Khususnya dalam hak-hak pada kaum perempuan. Dalam konteks ini memandang menggunakan perspektif sosial dengan logika umum dan subjektif. Yang sering digunakan hak; politik, domestic, sosial, ekonomi, dan maupun pendidikan.


Adapun perkembangan tersebut berjalan stabil sambil lalu melakukan ekspansi lebih luas mengenai gerakan, entah secara individu maupun universal, yang ditandai dengan sektor-sektor sentral dalam khasanah sosial serta kehidupan masyarakat dan komunitas, organisasi, dan narasi dalam baca-bacaan yang tersebar di dalam literatur atau di buku, sangat kuat dan masif. Jika itu dapat stabil akan melahirkan sebuah gerakan positif maupun negative. Sehingga masyarakat akan menyadari perspektif tersebut berpacu pada sebuah dasar diri dalam mengambil setiap pengalaman orang atau pengalaman sendiri, yang terjadi. Untuk menemukan serta merasakan akan hal tersebut seharusnya dapat mengukur elektabilitas diri yang diuji.


Feminisme dalam Perspektif Agamis

Saat membicarakan perspektif agama tentu akan menganalogikan perkataan “agama itu lebih muda daripada cinta, tapi akan ada agama bisa lebih tua perihal rasa.” Sehingga feminis yang pada dasarnya membicarakan tentang rasa mulai dengan hak-hak diri, kebebasan, hak yang telah menjadi qudroti (biologis) maupun secara konstruksi sosial (dibentuk manusia). Maka agama akan menjadi dasar untuk menemukan sebuah perspektif yang lebih ideal jika menggunakan kesadaran sosial maupun individual.


Untuk menjawab perspektif memberikan privilege

terhadap perempuan, tentu ada landasan paling tua dalam peradaban feminisme anak kandung dari post-modernisme, yaitu di Agama Islam ada sebuah dasar dalam memperlakukan serta memuliakan perempuan. Mari menelisik Konsep feminisme[4] dalam Al-Quran,  mengacu pada, dalam sejarah nabi Musa, khususnya QS. Al-Qashash: 23. Dengan pendekatan tematik yang bercorak maqashid, penulis berupaya dan wanita karir yang Islami, serta menghadirkan sejumlah fakta sejarah Nabi dan sahabat tentang keterlibatan aktif wanita dalam politik, jihad, dan bisnis. Hal ini sangat rentan berbicara dengan perkembangan feminisme di Barat.

Jika melihat dari apa yang dijelaskan di atas dapat ditarik sebuah perspektif Agama Islam, tentu akan melahirkan sebuah hak-hak yang begitu bebas secara biologis dan konstruksi. Tidak ada kesangsiang dengan gender yang nanti akan menimbulkan stereotype bahwa pria lebih ideal atau lebih leluasa mendapatkan ruang gerak. Bahkan dalam sunnah nabi dalam hubungan rumah tangga paling ideal membagi hak laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga, yaitu dengan dasar kesepakatan untuk mencapai justice  (keadilan) dan equality (persamaan). Dalam struktur sistem dan struktur masyarakat[5].

Di buku berjudul Nusa Jawa[6] tulis Denys Lombard hal. (125-126) menjelaskan bahwa kaum wanita disih-sisihkan secara institusional dari kekuasaan “Raja harus laki-laki” kata Tajussalatin, “sebab wanita kurang arif (kurang budinya) dan yang kurang arif tidak bisa naik tahta. Bahkan dalam hal ini juga memberikan penjelasan secara inti masyarakat muslim akan memiliki anggapan bahwa perempuan tidak dapat tampil di depan umum tuk menjadi imam shalat. Kecuali di Aceh Taj pada abad XIIV (17) 4 putri raja berturut-turut menjadi raja dan turun tahta pada tahun 1641. Kendati demikian lantaran tidak ada pilihan lain yaitu terakhir, setalah tidak ada lagi jalan lain.

Perspektif Feminisme RA. Kartini

Dalam perkembangannya, dimulai dengena generasi ketiga. Amerika pada akhir abad 19 dan awal abad 21. Starting point dari gerakan ini adalah memperjuangkan hak memilih bagi perempuan (the right to vote). Namun setelah hak tercapai, gerakan ini semakin meluas dan sempat mengalami pergeseran arah pemikiran di saat terpengaruh dengan metode berpikir maskulin. Sebuah gerakan yang agresif dan berbalik menindas pada kaum lelaki. Mereka cenderung chauvinistic (berlebih-lebihan). Gerakan ini telah melampaui batas spirit feminisme, yaitu menegakkan keadilan. Dengan fenomena tersebut membuat gerakan

feminisme terkadang kurang mendapat apresiasi di masyarakat, khususnya di Indonesia. Bahkan kelompok yang kontra feminisme mengkhawatirkan bahwa gerakan feminism ini akan merusak tatanan sosial dan bisa menjadi ancaman besar bagi keluarga dan masyarakat umum.


Di Indonesia sendiri, gerakan feminisme baru berkembang pada tahun 1980 an. Sejumlah aktivis perempuan mulai muncul, seperti Herawati, Wardah hafidz Marwah Daud Ibrahim, Yulia Surya Kusuma, Ratna Megawangi. Gerakan mereka tentu merupakan kesadaran yang lahir dari perlakuan yang masih kurang adil terhadap perempuan. Dominasi patriarki baik dibidang politik, sosial-ekonomi masih sangat kental ketika itu. Terbukti misalnya hak politik yang masih minim, bahkan ada kecenderungan penafsiran keagamaan yang memposisikan perempuan sebagai kelompok pelengkap dan tidak memiliki kemampuan memimpin.


R.A Kartini dalam konsep gerakan feminism sangat  ideal untuk diterapkan di Indonesia. Pemikiran serta konsep pemikiran yang diterapkan di jawa sangat ideal, sebab selain memberikan pandangan mengenai sikap perempuan terhadap gerakan sosial paling ideal yaitu bergerak di dunia pendidikan. Sehingga membangun sekolah dan bergerak di dunia pendidikan perempuan memang semestinya harus lebih tinggi daripada kaum laki-laki. Karena menganggap bahwa kesetaraan paling ideal yang  perlu diperjuangkan yaitu perempuan harus memiliki pendidikan tinggi (berpengetahuan), sebab kalau memiliki pengetahuan, perempuan akan mendidik anak-anaknya, dan anak-anak yang didik akan menjadi anak yang luar biasa. Karena didik oleh seorang ibu yang berpendidikan.


[7]Selamat membaca dan perhatikan kembali seca


[1] Pendeta agama Bugis kuno Sulawesi Selatan


[2] Bissu (harus) berada pada tataran dualitas tubuh antara laki-laki dan

perempuan sebagai representasi dan penghubung dua alam, yakni dunia (atwong lino) dan akhirat (eso ri

munro). Sebagai penghubung,

mereka tidak (diperbolehkan) melakukan hubungan seksual. Oleh karena itu, Bissu

diyakini sebagai pribadi yang suci atau “orang bersih” selayaknya pendeta.

Dengan kapasitasnya, Bissu dipercaya untuk mengemban jabatan religius pada

masyarakat Bugis. Jabatan religius mengharuskan mereka mengemban tugas tanpa

‘kotoran’ sebagai hambatan. Menurut kepercayaan hambatan ‘kotoran’ , dimaksud

seperti  haid, menyusui, dan melahirkan. ra

seksama, mari diskusikan.


[3] Buku yang menjelaskan konflik  DI/TII di Sulawesi Selatan

tepatnya di Bugis.


[4] Artikel Feminisme

Qur’ani: Tafsir Ayat Wanita Karir

2015, hlm 1-2.


[5] Dr. Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis, Membaca Al-4XU¶DQ dengan Optik Perempuan, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2008), h.86.


[6] Nusa Jawa penulis Denys Lombard 1996 Gramedia


[7] Tulisan ini hanya ditulis satu

kali, belum melakukan proses mengedit ulang dan ide yang ada dalam tulisan ini

masih perlu dibenahi kembali jika nanti menemukan pandangan-pandangan baru saat

berdiskusi.


[1] Ikatan Pelajar Nahdatul Ulama dan Ikatan Pelajar Putri Nahdatul Ulama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar