Rabu, 16 Mei 2018

BUKU DI PERSIMPANGAN JALAN

foto:rudiharikusuma_ 


Kontemplasi Ber-refleksi
Ada di sebelah mana posisi buku di tangan kita-kita yang katanya adalah regenerasi bangsa khsusnya sebagai agent perubahan. Bukannya kaum intelektual mampu mengawal, ketika mengawal dasar apa yang dapat diberikan, ketika buku tidak bicarakan, teringat dengan perkataan salah satu dosen bahwa bahasa itu, yang memiliki selogan dalam menyinggung literasi baca, memiliki makna apriori yang berbunyi “Semakin banyak baca semakin banyak pula diam, semakin kurang baca akan semakin banyak berbicara”, penulis menyimpulkan diamnya orang banyak baca buku akan menimbulkan sebuah kerangka berpikir, semakin banyak berbicara semakin banyak manusia lain diajak untuk berpikir, berada diposisi mana kita renungkan sebelum tidur nanti mungkin akan menemukan arti.
Membicarakan buku terasa berat di era industri 0.4 ini, buku serasa sudah merindukan teman bicaranya, buku sudah bosan di rak-nya, mungkin juga sudah tidak memiliki tempat di tangan-tangan manusia, khususnya di era modernisasi semunya tergilaskan oleh teknologi semua buku dengan mudah ditemukan di genggaman manusia, namun kembali apakah akan membacanya, manusia suka literasi dirasa dibagi dua, ada yang “suka membaca” dan “suka baca”, sebuah frasa memiliki makna berbeda. Mungkin saja buku merindukan pembacanya dan pembacanya membiarkan yang dirindukan, terkadang sampai berdebu di rak buku ataupun di persimpangan jalan, yang menjadi tumpuhan eksistensi manusia dalam hidup lupa pada esensi, terkadang game sebagai hiburan dirinya, akan tetapi leterasi jangan dirasa menjadi basi, buku-buku di tangan oknum mahasiswa apa sudah terasa asing, pendapat itu benar atau salah maka refleksikan.
Dalam membaca itu ialah mencoba mebuka dunia, membaca mencoba merawat peradapan dunia, membaca akan memperhalus perasaan, buku ialah pintu gerbang melihat dunia, otak ialah cara mengasah mengengola membawa kemana eksistensi transformasi susunan kata, klausa, frasa, serta kalimat, sehingga menjadi paragraf dalam bentuk bahasa tulis, tercipta hasil dari setiap-setiap lambang (simbol) masuk dalam konsep pikir (meta) sehingga melahirkan refrensi (objek)1 melahirkan esensi disipliner ilmu, ilmu adalah dunia yang bercahaya dengan cara, tingkah laku, tindakan secara signifikan ada dalam kehidupan.
1.        Semantik dalam menemukan makna menggukan kerangka segitiga yang dirumuskan oleh Ogdan dan Richard 1923 (dalam paresa 2004;46)
           

 Pada era modernisasi dengan kecanggihan teknologi, seharusnya menjadi kebanggaan akan tetapi terkadang menjadi ancaman, dikarenakan potensi manusia akan kritikan terhadap diri, serta orang lain mungkin sudah sedikit tumpul hal itu ada kaitannya dengan tingkat literasi baca manusia. Secara sederhana manfaat dari literasi akan mampu memiliki pengetahuan sedikit banyak tahu, serta menjadi tahu dari yang tidak tahu. Untuk menjadi tahu apa larangan dan perintahnya karena pada dasar kehidupan bukan hanya hidup dengan berdiri dan menunggu untuk menjadi arti tanpa mencari tapi enggan akan membaca, serasa berjalan dalam situasi terang tapi tetap saja kesandung.
Terkadang Karena esensi manusia tidak boleh di lepaskan oleh kegiatan keterampilan membaca, definisi membaca menurut penulis bisa diartikan membaca buku, membaca lingkungan, serta membaca budaya rang lain. Salah satu ketika ketajaman manusia tidak dirasakan dalam membaca lingkungan, sosial, serta alam satu-satunya buku menjadi alternatifnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI buku dalam arti sederhana adalah kumpulan tulisan yang berisi atau pun kosong. Maka hal itu memberikan sebuah pilihan setiap manusia dalam membaca buku, garis besarnya literasi tidak dirasa basi.
(***)
Dalam agama islam Tuhan perintahkan karena disesuaikan dengan kebutuhan manusia, mengapa Tuhan menurunkan ayat pertama di dalam Nash (Al-Qur’an) yaitu surat iqrok, surat tersebut merupakan makkiyah diawal surat itu berisi perintah berbunyi:
Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq: 1-5).
maka itulah pentingnya membaca sampai disebutlah tiga kali baca, bacalah, membaca. Francis Bacon pernah mengatakan pengetahuan adalah kekuatan, siapapun pelakunya, berkatian dengan Futuh dalam Terakota.com menjelaskan dalam sejarah fir’un raja yang kejam anti islam, akan tetapi namanya abadi dalam sejarah, ternyata kekuasaanya dibangun tidak semata-mata dengan kekuatan militer. Seharusnya manusia arif bisa mengambil manfaat dari gaya hidup dalam mencintai pengetahuan, Fir’un terbukti kurang lebih memiliki 20.000 judul buku di perpustakaan pribadinya. Hal itu bisa mengambil semua pengetahuan bukan saja terlahir dari dalam dirinya dengan banyaknya bacaan buku, semakin banyak cara menemukan cara-cara baru yang terlahir dari manusia.
            Maka itu sebuah suntikan bagi manusia sadar, bahwa ada manusia kejam bisa melakukan apa yang menjadi utama dalam hidup yaitu “membaca”. Dalam cara skemata manusia kejaman serta dzolim bukan menjadi tolok ukur menjustifikasi itu, sisi baik dari dirinya bisa diambil, biarkan yang buruk dibairkan. Mungkin pada saat membaca tidak menata niat baik maka hasil dari apa yang dibaca melahirkan sebuah pemikiran yang kejam, dari semua itu fir’un memiliki sisi baik walau kebaikan lebih besar dari keburukannya.
Akan tetapi membaca adalah kebutuhan manusia agar menjadikan dirinya sebagai manusia merdeka menurut Ferdick Bacon. Salah satu cara manusia membuka naluri ketika manusia ingin menemukan jati diri, dengan membaca salah satu menusia bisa menemukan, dengan membca juga akan mudah membawa dunia. Seharusnya buku serta media baca manusia bukan menjadi musuh manusia atau membiarkan buku berada di persimpangan jalan, akan tetapi tetap berada di tangan kanan.
Permasalahan dalam membaca di Indonesia terkadang yang menjadi masalah yaitu dari segi fasilitas, serta ketidak terjangkauan akses buku terhadap lingkungan terdekat, kesulitan akses buku untuk dibagian polosok desa, dikarenakan salah satunya tidak memahami sebuah esensi dari pentinnya baca serta manfaat membaca. Dalam hal ini akan memperngaruhi sebuah perkembangan pendidikan yang gagal sebagai estafed generasi bangsa ketika tingkat baca lemah. Bahwa dalam kehidupan tidak akan selalu statnan tanpa ada perubahan, walaupun Ki Hajar Dewantara dan Sunan Kalijaga sudah tidak ada, akan tetapi selalu ada gagasan-gagasannya yang dalam lantaran bacaan sangat dalam. Sehingga hingga hari ini masih melikiki relevansi dalam diri manusia yang suka baca. Dengan membaca budaya kita akan terjaga, salah satu manfaat baca menjaga dan merawat peradapan.
Kedua tokoh itu memiliki gagasan tajam yang pertama Ki Hajar Dewantara dengan Tut Wuri Handayani mendidik dari belakang untuk memberikan dorongan dengan menyesuaikan dengan peradapan, jika Sunan Kalijaga Tut Wuri Hangiseni mendidik dari depan dengan memberikan stimulus sesuai dengan peradapan budaya serta kehidupan. Akan tetapi keduanya memiliki sebuah relevansi yang masih eksis dalam modernisasi. Dengan cara-cara berbeda akan tetapi tujuan sama. Membenturkan keadaan dengan memperkenalkan peradapan tugas manusia sebagai manusia memanusiakan manusia, karena dengan membaca manusia memiliki pengetahuan dengan pengetahuan manusia memiliki kemauan untuk merubah, dengan merubah manusia bisa mencipta, dengan mencipta manusia bisa memberi makna, dengan makna manusia bisa hidup selayaknya manusia akan hidup dalam setiap manusia yang masih ada.
(***)
Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.  Riset berbeda bertajuk "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. 
Ini artinya, Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa, hal ini memiriskan.
            Riset membuktikan bahwa tingkat baca orang Indonesia rendah, sehingga dalam meningkatkan minat leterasi baca Indonesia memiriskan. Karena sebab dan akibat dari rendahnya tingkat baca belum menemukan titik jelas, akan tetapi kemalasan bukan menjadi sebuah masalah yang tidak dapat ditanggulangi, akan tetapi kesalahan kita ketika diam akan adanya fenomena ini, masyarakat perlu pahaman mengengai pentinngya membaca, bahwa dalam esensi membaca memiliki nilai-nilai tinggi dari segi kerohanian speritulitas, afektif, koknitif, psikomotorik.
Maka perlu pemahaman mengenai itu, hal paling memungkin dalam hal itu akan ada sosialisasi serta pemahaman mengenai membaca serta di lengkapi dengan fasilitas. Cara serta solusi harus memberikan sinerginitas antara pentingnya serta manfaat dari sebuah tindakan manusia dalam menemukan sebuah makna dari bisanya membaca akan memberikan dampak apa pada kehidupannya. Masyrakat perlu hal itu, bisa mengangitkan dengan kehidupannya bahwa dalam bertani, serta wirausaha, serta bekerja di manapun berada, mengasah otak dengan membaca salah satu manusia bisa mencapai kemerdekaan hak dirinya serta hak orang lain. Asahlah otakmu di mana pun kalian berada karena dengan pengetahuanmulah kamu bisa merasakan dan merayakan kehidupan sesuai dengan hak-haknya (Tan Malaka dalam buku Semangat Muda).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar