foto:rudiharikusuma_ |
Kontemplasi Ber-refleksi
Ada di sebelah mana posisi buku di
tangan kita-kita yang katanya adalah regenerasi bangsa khsusnya sebagai agent
perubahan. Bukannya kaum intelektual mampu mengawal, ketika mengawal dasar apa
yang dapat diberikan, ketika buku tidak bicarakan, teringat dengan perkataan
salah satu dosen bahwa bahasa itu, yang memiliki selogan dalam menyinggung
literasi baca, memiliki makna apriori yang berbunyi “Semakin banyak baca
semakin banyak pula diam, semakin kurang baca akan semakin banyak berbicara”,
penulis menyimpulkan diamnya orang banyak baca buku akan menimbulkan sebuah
kerangka berpikir, semakin banyak berbicara semakin banyak manusia lain diajak
untuk berpikir, berada diposisi mana kita renungkan sebelum tidur nanti mungkin
akan menemukan arti.
Membicarakan
buku terasa berat di era industri 0.4 ini, buku serasa sudah merindukan teman
bicaranya, buku sudah bosan di rak-nya, mungkin juga sudah tidak memiliki
tempat di tangan-tangan manusia, khususnya di era modernisasi semunya
tergilaskan oleh teknologi semua buku dengan mudah ditemukan di genggaman
manusia, namun kembali apakah akan membacanya, manusia suka literasi dirasa
dibagi dua, ada yang “suka membaca” dan “suka baca”, sebuah frasa memiliki
makna berbeda. Mungkin saja buku merindukan pembacanya dan pembacanya
membiarkan yang dirindukan, terkadang sampai berdebu di rak buku ataupun di
persimpangan jalan, yang menjadi tumpuhan eksistensi manusia dalam hidup lupa pada
esensi, terkadang game sebagai
hiburan dirinya, akan tetapi leterasi jangan dirasa menjadi basi, buku-buku di
tangan oknum mahasiswa apa sudah terasa asing, pendapat itu benar atau salah
maka refleksikan.
Dalam
membaca itu ialah mencoba mebuka dunia, membaca mencoba merawat peradapan
dunia, membaca akan memperhalus perasaan, buku ialah pintu gerbang melihat
dunia, otak ialah cara mengasah mengengola membawa kemana eksistensi
transformasi susunan kata, klausa, frasa, serta kalimat, sehingga menjadi
paragraf dalam bentuk bahasa tulis, tercipta hasil dari setiap-setiap lambang
(simbol) masuk dalam konsep pikir (meta) sehingga melahirkan refrensi (objek)1
melahirkan esensi disipliner ilmu, ilmu adalah dunia yang bercahaya dengan cara,
tingkah laku, tindakan secara signifikan ada dalam kehidupan.
1.
Semantik
dalam menemukan makna menggukan kerangka segitiga yang dirumuskan oleh
Ogdan dan Richard 1923 (dalam paresa 2004;46)
|
Pada era modernisasi dengan kecanggihan
teknologi, seharusnya menjadi kebanggaan akan tetapi terkadang menjadi ancaman,
dikarenakan potensi manusia akan kritikan terhadap diri, serta orang lain mungkin
sudah sedikit tumpul hal itu ada kaitannya dengan tingkat literasi baca
manusia. Secara sederhana manfaat dari literasi akan mampu memiliki pengetahuan
sedikit banyak tahu, serta menjadi tahu dari yang tidak tahu. Untuk menjadi
tahu apa larangan dan perintahnya karena pada dasar kehidupan bukan hanya hidup
dengan berdiri dan menunggu untuk menjadi arti tanpa mencari tapi enggan akan
membaca, serasa berjalan dalam situasi terang tapi tetap saja kesandung.
Terkadang
Karena esensi manusia tidak boleh di lepaskan oleh kegiatan keterampilan membaca,
definisi membaca menurut penulis bisa diartikan membaca buku, membaca
lingkungan, serta membaca budaya rang lain. Salah satu ketika ketajaman manusia
tidak dirasakan dalam membaca lingkungan, sosial, serta alam satu-satunya buku
menjadi alternatifnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI buku dalam arti
sederhana adalah kumpulan tulisan yang berisi atau pun kosong. Maka hal itu
memberikan sebuah pilihan setiap manusia dalam membaca buku, garis besarnya
literasi tidak dirasa basi.
(***)
Dalam
agama islam Tuhan perintahkan karena disesuaikan dengan kebutuhan manusia, mengapa
Tuhan menurunkan ayat pertama di dalam Nash (Al-Qur’an) yaitu surat iqrok,
surat tersebut merupakan makkiyah diawal surat itu berisi perintah berbunyi:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha
Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam (pena). Dia mengajar
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq: 1-5).
maka
itulah pentingnya membaca sampai disebutlah tiga kali baca, bacalah, membaca. Francis
Bacon pernah mengatakan pengetahuan adalah kekuatan, siapapun pelakunya,
berkatian dengan Futuh dalam Terakota.com menjelaskan dalam sejarah fir’un raja
yang kejam anti islam, akan tetapi namanya abadi dalam sejarah, ternyata
kekuasaanya dibangun tidak semata-mata dengan kekuatan militer. Seharusnya
manusia arif bisa mengambil manfaat dari gaya hidup dalam mencintai
pengetahuan, Fir’un terbukti kurang lebih memiliki 20.000 judul buku di
perpustakaan pribadinya. Hal itu bisa mengambil semua pengetahuan bukan saja
terlahir dari dalam dirinya dengan banyaknya bacaan buku, semakin banyak cara
menemukan cara-cara baru yang terlahir dari manusia.
Maka itu sebuah suntikan bagi
manusia sadar, bahwa ada manusia kejam bisa melakukan apa yang menjadi utama
dalam hidup yaitu “membaca”. Dalam cara skemata manusia kejaman serta dzolim
bukan menjadi tolok ukur menjustifikasi itu, sisi baik dari dirinya bisa
diambil, biarkan yang buruk dibairkan. Mungkin pada saat membaca tidak menata
niat baik maka hasil dari apa yang dibaca melahirkan sebuah pemikiran yang
kejam, dari semua itu fir’un memiliki sisi baik walau kebaikan lebih besar dari
keburukannya.
Akan
tetapi membaca adalah kebutuhan manusia agar menjadikan dirinya sebagai manusia
merdeka menurut Ferdick Bacon. Salah satu cara manusia membuka naluri ketika
manusia ingin menemukan jati diri, dengan membaca salah satu menusia bisa
menemukan, dengan membca juga akan mudah membawa dunia. Seharusnya buku serta
media baca manusia bukan menjadi musuh manusia atau membiarkan buku berada di
persimpangan jalan, akan tetapi tetap berada di tangan kanan.
Permasalahan dalam membaca di Indonesia terkadang yang
menjadi masalah yaitu dari segi fasilitas, serta ketidak terjangkauan akses
buku terhadap lingkungan terdekat, kesulitan akses buku untuk dibagian polosok
desa, dikarenakan salah satunya tidak memahami sebuah esensi dari pentinnya
baca serta manfaat membaca. Dalam hal ini akan memperngaruhi sebuah
perkembangan pendidikan yang gagal sebagai estafed generasi bangsa ketika
tingkat baca lemah. Bahwa dalam kehidupan tidak akan selalu statnan tanpa ada
perubahan, walaupun Ki Hajar Dewantara dan Sunan Kalijaga sudah tidak ada, akan
tetapi selalu ada gagasan-gagasannya yang dalam lantaran bacaan sangat dalam.
Sehingga hingga hari ini masih melikiki relevansi dalam diri manusia yang suka
baca. Dengan membaca budaya kita akan terjaga, salah satu manfaat baca menjaga
dan merawat peradapan.
Kedua tokoh itu memiliki gagasan tajam yang pertama Ki
Hajar Dewantara dengan Tut Wuri Handayani mendidik dari belakang untuk
memberikan dorongan dengan menyesuaikan dengan peradapan, jika Sunan Kalijaga
Tut Wuri Hangiseni mendidik dari depan dengan memberikan stimulus sesuai dengan
peradapan budaya serta kehidupan. Akan tetapi keduanya memiliki sebuah
relevansi yang masih eksis dalam modernisasi. Dengan cara-cara berbeda akan
tetapi tujuan sama. Membenturkan keadaan dengan memperkenalkan peradapan tugas
manusia sebagai manusia memanusiakan manusia, karena dengan membaca manusia
memiliki pengetahuan dengan pengetahuan manusia memiliki kemauan untuk merubah,
dengan merubah manusia bisa mencipta, dengan mencipta manusia bisa memberi
makna, dengan makna manusia bisa hidup selayaknya manusia akan hidup dalam
setiap manusia yang masih ada.
(***)
Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat
memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1000 orang Indonesia, cuma 1 orang
yang rajin membaca. Riset
berbeda bertajuk "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan
oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia
dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.
Ini artinya, Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa, hal ini memiriskan.
Ini artinya, Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa, hal ini memiriskan.
Riset
membuktikan bahwa tingkat baca orang Indonesia rendah, sehingga dalam meningkatkan
minat leterasi baca Indonesia memiriskan. Karena sebab dan akibat dari
rendahnya tingkat baca belum menemukan titik jelas, akan tetapi kemalasan bukan
menjadi sebuah masalah yang tidak dapat ditanggulangi, akan tetapi kesalahan
kita ketika diam akan adanya fenomena ini, masyarakat perlu pahaman mengengai
pentinngya membaca, bahwa dalam esensi membaca memiliki nilai-nilai tinggi dari
segi kerohanian speritulitas, afektif, koknitif, psikomotorik.
Maka perlu pemahaman mengenai itu, hal paling memungkin
dalam hal itu akan ada sosialisasi serta pemahaman mengenai membaca serta di
lengkapi dengan fasilitas. Cara serta solusi harus memberikan sinerginitas
antara pentingnya serta manfaat dari sebuah tindakan manusia dalam menemukan
sebuah makna dari bisanya membaca akan memberikan dampak apa pada kehidupannya.
Masyrakat perlu hal itu, bisa mengangitkan dengan kehidupannya bahwa dalam
bertani, serta wirausaha, serta bekerja di manapun berada, mengasah otak dengan
membaca salah satu manusia bisa mencapai kemerdekaan hak dirinya serta hak
orang lain. Asahlah otakmu di mana pun kalian berada karena dengan
pengetahuanmulah kamu bisa merasakan dan merayakan kehidupan sesuai dengan
hak-haknya (Tan Malaka dalam buku Semangat Muda).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar