Jumat, 25 Mei 2018

RASA KAPITALIS SEDERHANA



gambar:News-art.blogspot

Jangan membicarakan kekejaman jika belum pernah merasakan kekejaman itu. Ketika membicarakan “kekejaman” apa hanya bisa menembulkan sebuah “konsep”, ketika berbicara konsep maka manusia hanya bisa memperluas sebuah “pengetahuan” serta perluasan “wawasan”, refrensi dari sebuah wawasan akan ada pada “kenyataan” wawasan sebuah kapitalis (pemilik modal), dalam hal yang sederhana rasa itu bisa saja bahagia bisa pula menderita bagi yang merasakan.
Semua dalam langkah manusia terkadang berangkat dari apa yang dirasa, untuk bisa merasa apa yang bisa mencipta, menciptakan apa sebuah langkah (tindakan) yang terlahir dari cinta. Manusia terlahir dari esensi untuk menjadi, dan mengerti mengabdikan dirinya pada apa yang menjadi kebahagian dengan bekerja bersama majikannya, apa yang dilakukan akan selaras dengan yang dikerjakan, apa yang dikerjakan melahirkan kebahagian?, itu sebuah pertanyaan.
Kebahagian manusia memiliki aneka ragam, terasa bahagia akan bersama dengan kebutuhan, keadaan, bahkan tuntutan. Sehingga terkadang manusia harus mengabdikan dirinya kepada pemilik modal (kaum apitalis). Terkadang pula manusia tidak akan pernah merasakan sebuah tekanan dalam melakukan sebuah pekerjaan yang dirasa dirinya itu sebuah sumber dari penyambung kehidupan, akan tetapi manusia akan tetap melakukan sesuai dengan koridornya, sebagaimana manusia itu hanya bisa mengganggap biasa walaupun dirinya dikuasai oleh manusia lain, yang menggap dirinya diberikan jalan kehidupan, pasrah akan keadaanya.
Rasa-rasanya semua akan terasa jika sebuah konsep terlahir dari sebuah perjalanan (apriori). Bukan sebuah konsep tercipta dari banyaknya analisis, membca, bahkan berasumsi. Mungkin pernah Marx menuliskan manusia seharusnya, tercipta manusia tanpa kelas semuanya sama rasa sama rata, tidak ada yang menjadikan dirinya sebuah dewa di bumi sehingga yang menguasai diri manusia tanpa disadari orang yang memiliki modal (kapitalis), sehingga Marx membenci sesorang yang bermodal dengan beberapa konsep yang dituliskan dalam sebuah karyanya yang terkenal “Das kapilis”. Dihisap, dikuras, serta diperbudak sesuai apa yang akan dikehendaki olehnya (si pemilik modal), sehingga tidak ingin tahu apa yang diharapkan dirinya (si pengabdi).
Dalam refleksi ini, kita bisa mendengarkan cerita dari seorang pembantu rumah tangga, seseorang akan selalu mengikuti apa yang diperintahkan olehnya. Tidak bisa memberikan sebuah ruang kebebasan. Sebuah kebebasan yang semua diberikan akan masih sennatiasa berada dalam kontroling, kontroling akan memberikan sebuah cara bagaimana bisa seseorang bisa digerakkan dengan sebuah keinganan, keinginan yang dicita-citakan akan kepuasaan dirinya tidak memperhatikan sebuah kebuasaan dirinya kepada si pembantu.
Jiwa-jiwa yang dirasakan akan memiliki tekanan secara batin. Tekanan batin yang dirasakan itu berupa pengekangan, yang bertolak belakang dengan sebuah sebuah kenginan, tanpa tidak disadari, kemerdekaan tidak berada dalam kesat mata manusia, selagi manusia bisa mengkreasikan sebuah keinginannya menjadi mungkin maka kemerdekaan itu akan terjadi pada naluri. Sehingga tidak mungkin sebuah pekerjaan itu mampu memberikan kepuasaan atas apa yang dilakukan, selagi keinganan masih saja dalam pengekangannya.
Sebenarnya bukan hanya tentang kemerdekaan diri, akan tetapi bagaimana manusia (pembantu rumah tangga itu), belum bisa menemukan cara dalam kehidupannya, cara bagaimana kehidupan yang sepantasnya sesuai dengan keadaanya. Jika keadaan hanya akan bisa dinikmati, yang terjadi itu, apapun, berat bagi orang lain, akan ringan baginya, sesuai dengan sebuah kebutuhan yang akan dilakukan dengan sebuah cita-cita yang dikerjakan, akan tetapi cara yang dilakukan belum bisa menjadi kenyamanan dalam mempraktikan, sehingga hasil dari sebuah caranya.
Masalah yang akan menjadikan sebuah sumber solusi terkadang dicita-citakan akan tetapi untuk menemukan penyelesaian atas segala perbuatan. Seharusnya sudah bisa merasakan apa yang dituliskan oleh Ir. Soekarno dalam bukunya “Di Bawah Bendera Revolusi”, pada paragraf kedua halaman satu yang berbunyi:
Zaman “senang apa adaja”, sudahlah berlalu.
Zaman baru: saman muda, sudahlah datang sebagai fadjar jang terang tjuatja.
Zaman teori kaum kuno, jang mengatakan, bahwa “siapa jang ada dibawah, harus terima-senang, jang ia anggap tjukup-harga duduk dalam perbendaharaan riwajat, jang berani kemas-emasja berguna untuk memelihara siapa lagi berdiri dalam hidup”1.
1.        Tulisan diambil dari tulisan Ir. Soekarno dengan buku berjudul Di Bawah Bendera Revolusi. Pada pargraf kedua dihalaman pertama.
2.        Ejaan lama ini masih digunakan kurang lebih pada tahun 1901 masih zaman, Ejaan Van Ophuijsen.
 
           


Tulisan di atas jika diarkitakan pada sebuah konsep cara kemerdekaan diri manusia akan terlihat jelas pada paragraf pertama. Mungkin akan kesulitan dalam menemukan makna dari susunan diksi, karena bahasa yang digunakan masih menggunakan ejaan van ophuijsen2, tidak terlalu sulit dalam menerjemahkan, bahwa semuanya dengan keadaan yang sudah menjamin kita hari ini tidak terlalu vulgar penenidasaan manusia. Akan tetapi semua masih saja dirasakan manusia yang masih belum bisa memerdekakan dirinya atas pekerjaannya. Ketakutan dalam mengambil keputusan dalam kehidupan masih saja meragukan akan mengambil keputusan yang penuh dengan kegelisaan terus menerus jika tidak mau berhijrah.
            Kendala dalam kehidupan tersebut tidak menutup kemungkinan karena masih lemah dalam literasi baca, kelemahan membaca akan senantiasa selalu membuat sinis dalam melakukan tindakan, pada dasarnya keberanian itu terbentuk dari sebuah cara yang telah ditemukan dalam kehidupannya, akan tetapi keberanian masih saja ada dalam ambang ketidak percaya diri akan sebuah keputusan. Membaca adalah jalan Allah Swt sudah menjalaskan dalam surat Iqrok (bacalah).
Pengetauan manusia akan bisa mengubah sebuah cara-cara yang tercipta dari hasil apa yang akan dibaca, membaca apa?, membaca bagaimana dirinya lepas dari sebuah penindasan batin. Penindasan akan terus terjadi pada diri jika manusia membaca hanya memperkaya diri dari sebuah pengetahuan yang dimiliki, membaca untuk bisa lepas dari apa yang menjadikan dirinya tidak terlepas dari pengekangan atas pekerjaan yang menyiksanya.
Karena dengan membaca manusia bisa merdeka, merdeka berpikir, berpikir bagaimana lepas sehingga membaca belajar untuk keluar dari keterpurukan menerima apa adanya apa yang telah dikaruniakan, lupa akan sebuah kutdrot yang telah diberikan manusia bisa menciptkan dengan sebuah tindakan. Bukan merasakan kemerdekaan dengan sesuai dengan menerima apa adanya, apa fungsinya otak manusia diciptakan sempurna dengan diberikan kitab-kitab-Nya, berisi cara-cara bagaimana manusia bisa lepas dari penjara ketakutan atas pekerjaannya, cara dari kibat itu sebagai cara paling berharga.
Cerita dari pembantu rumah tangga merasakan bahwa apa yang dilakukan itu, memberikan ruang luas untuk selalu menindas dirinya, untuk si juragan (bos tempat bekerja). Dengan kesadaraan itulah, ingin lepas dari kemerdekaan sudah nyaris terjadi, hanya bagaimana nanti lepas dari sebuah perjalanan yang sesuai dengan kenyamanan hidupnya, merasakan sebuah lepasnya hidup dalam tindakan dirinya. Cara yang didapatkan akan melepaskan dirinya sehingga juga tidak memberikan kesempatan pada kaum kapitalis untuk berpikir menggunakan naluri, sehingga tindakan untuk tidak selalu mengabdi atas dirinya selalu memberikan kesempatan akan dirnya menjadi manusia yang berkembang.
Seorang manusia ketika ia selalu beranjak dari zona nyaman menciptakan sebuah keadaan baru, maka bersiaplah manusia itu akan selalu berkembang, hijrah dari keadaan nyaman atau pun buruk sebuah cara manusia menunjukan kualitas hidupnya. Berada dalam kehidupan yang sewajarnya akan senantiasa berada pada kebosanan tanpa ada perubahan, atau merubah sebuah keadaan baru, yang istilah peribahasa saya “rimba kosong menjadi berisi dan memperindah rimba-rimba itu”. Rasa-rasanya kapitalis sederhana pada manusia yang selalu bekerja di bawah tekanan, sehingga manusia bagaimana mengambil keputusan, menyikapi keadaan tersebut, diam dalam keadaan yang diderita samalnya menyiksa diri, tidak mensyukuri dari apa yang diberi Ilahi.


Tulisan ini Penah dipublikasikan Lembaga Pers Mei-Unisma
Malang, 23 Mei 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar