gambar:News-art.blogspot |
Jangan
membicarakan kekejaman jika belum pernah merasakan kekejaman itu. Ketika
membicarakan “kekejaman” apa hanya bisa menembulkan sebuah “konsep”, ketika
berbicara konsep maka manusia hanya bisa memperluas sebuah “pengetahuan” serta
perluasan “wawasan”, refrensi dari sebuah wawasan akan ada pada “kenyataan”
wawasan sebuah kapitalis (pemilik modal), dalam hal yang sederhana rasa itu
bisa saja bahagia bisa pula menderita bagi yang merasakan.
Semua
dalam langkah manusia terkadang berangkat dari apa yang dirasa, untuk bisa
merasa apa yang bisa mencipta, menciptakan apa sebuah langkah (tindakan) yang
terlahir dari cinta. Manusia terlahir dari esensi untuk menjadi, dan mengerti
mengabdikan dirinya pada apa yang menjadi kebahagian dengan bekerja bersama
majikannya, apa yang dilakukan akan selaras dengan yang dikerjakan, apa yang
dikerjakan melahirkan kebahagian?, itu sebuah pertanyaan.
Kebahagian
manusia memiliki aneka ragam, terasa bahagia akan bersama dengan kebutuhan, keadaan,
bahkan tuntutan. Sehingga terkadang manusia harus mengabdikan dirinya kepada
pemilik modal (kaum apitalis). Terkadang pula manusia tidak akan pernah
merasakan sebuah tekanan dalam melakukan sebuah pekerjaan yang dirasa dirinya
itu sebuah sumber dari penyambung kehidupan, akan tetapi manusia akan tetap
melakukan sesuai dengan koridornya, sebagaimana manusia itu hanya bisa
mengganggap biasa walaupun dirinya dikuasai oleh manusia lain, yang menggap
dirinya diberikan jalan kehidupan, pasrah akan keadaanya.
Rasa-rasanya
semua akan terasa jika sebuah konsep terlahir dari sebuah perjalanan (apriori).
Bukan sebuah konsep tercipta dari banyaknya analisis, membca, bahkan berasumsi.
Mungkin pernah Marx menuliskan manusia seharusnya, tercipta manusia tanpa kelas
semuanya sama rasa sama rata, tidak ada yang menjadikan dirinya sebuah dewa di
bumi sehingga yang menguasai diri manusia tanpa disadari orang yang memiliki
modal (kapitalis), sehingga Marx membenci sesorang yang bermodal dengan
beberapa konsep yang dituliskan dalam sebuah karyanya yang terkenal “Das kapilis”.
Dihisap, dikuras, serta diperbudak sesuai apa yang akan dikehendaki olehnya (si
pemilik modal), sehingga tidak ingin tahu apa yang diharapkan dirinya (si
pengabdi).
Dalam
refleksi ini, kita bisa mendengarkan cerita dari seorang pembantu rumah tangga,
seseorang akan selalu mengikuti apa yang diperintahkan olehnya. Tidak bisa
memberikan sebuah ruang kebebasan. Sebuah kebebasan yang semua diberikan akan
masih sennatiasa berada dalam kontroling, kontroling akan memberikan sebuah
cara bagaimana bisa seseorang bisa digerakkan dengan sebuah keinganan,
keinginan yang dicita-citakan akan kepuasaan dirinya tidak memperhatikan sebuah
kebuasaan dirinya kepada si pembantu.
Jiwa-jiwa
yang dirasakan akan memiliki tekanan secara batin. Tekanan batin yang dirasakan
itu berupa pengekangan, yang bertolak belakang dengan sebuah sebuah kenginan,
tanpa tidak disadari, kemerdekaan tidak berada dalam kesat mata manusia, selagi
manusia bisa mengkreasikan sebuah keinginannya menjadi mungkin maka kemerdekaan
itu akan terjadi pada naluri. Sehingga tidak mungkin sebuah pekerjaan itu mampu
memberikan kepuasaan atas apa yang dilakukan, selagi keinganan masih saja dalam
pengekangannya.
Sebenarnya
bukan hanya tentang kemerdekaan diri, akan tetapi bagaimana manusia (pembantu
rumah tangga itu), belum bisa menemukan cara dalam kehidupannya, cara bagaimana
kehidupan yang sepantasnya sesuai dengan keadaanya. Jika keadaan hanya akan
bisa dinikmati, yang terjadi itu, apapun, berat bagi orang lain, akan ringan
baginya, sesuai dengan sebuah kebutuhan yang akan dilakukan dengan sebuah
cita-cita yang dikerjakan, akan tetapi cara yang dilakukan belum bisa menjadi
kenyamanan dalam mempraktikan, sehingga hasil dari sebuah caranya.
Masalah
yang akan menjadikan sebuah sumber solusi terkadang dicita-citakan akan tetapi
untuk menemukan penyelesaian atas segala perbuatan. Seharusnya sudah bisa
merasakan apa yang dituliskan oleh Ir. Soekarno dalam bukunya “Di Bawah Bendera
Revolusi”, pada paragraf kedua halaman satu yang berbunyi:
Zaman “senang apa adaja”, sudahlah
berlalu.
Zaman baru: saman muda, sudahlah
datang sebagai fadjar jang terang tjuatja.
Zaman teori kaum kuno, jang
mengatakan, bahwa “siapa jang ada dibawah, harus terima-senang, jang ia anggap
tjukup-harga duduk dalam perbendaharaan riwajat, jang berani kemas-emasja
berguna untuk memelihara siapa lagi berdiri dalam hidup”1.
|
Tulisan
di atas jika diarkitakan pada sebuah konsep cara kemerdekaan diri manusia akan
terlihat jelas pada paragraf pertama. Mungkin akan kesulitan dalam menemukan
makna dari susunan diksi, karena bahasa yang digunakan masih menggunakan ejaan
van ophuijsen2, tidak terlalu sulit dalam menerjemahkan, bahwa
semuanya dengan keadaan yang sudah menjamin kita hari ini tidak terlalu vulgar
penenidasaan manusia. Akan tetapi semua masih saja dirasakan manusia yang masih
belum bisa memerdekakan dirinya atas pekerjaannya. Ketakutan dalam mengambil
keputusan dalam kehidupan masih saja meragukan akan mengambil keputusan yang
penuh dengan kegelisaan terus menerus jika tidak mau berhijrah.
Kendala dalam kehidupan tersebut
tidak menutup kemungkinan karena masih lemah dalam literasi baca, kelemahan
membaca akan senantiasa selalu membuat sinis dalam melakukan tindakan, pada
dasarnya keberanian itu terbentuk dari sebuah cara yang telah ditemukan dalam
kehidupannya, akan tetapi keberanian masih saja ada dalam ambang ketidak
percaya diri akan sebuah keputusan. Membaca adalah jalan Allah Swt sudah
menjalaskan dalam surat Iqrok (bacalah).
Pengetauan
manusia akan bisa mengubah sebuah cara-cara yang tercipta dari hasil apa yang
akan dibaca, membaca apa?, membaca bagaimana dirinya lepas dari sebuah
penindasan batin. Penindasan akan terus terjadi pada diri jika manusia membaca
hanya memperkaya diri dari sebuah pengetahuan yang dimiliki, membaca untuk bisa
lepas dari apa yang menjadikan dirinya tidak terlepas dari pengekangan atas
pekerjaan yang menyiksanya.
Karena
dengan membaca manusia bisa merdeka, merdeka berpikir, berpikir bagaimana lepas
sehingga membaca belajar untuk keluar dari keterpurukan menerima apa adanya apa
yang telah dikaruniakan, lupa akan sebuah kutdrot yang telah diberikan manusia
bisa menciptkan dengan sebuah tindakan. Bukan merasakan kemerdekaan dengan
sesuai dengan menerima apa adanya, apa fungsinya otak manusia diciptakan
sempurna dengan diberikan kitab-kitab-Nya, berisi cara-cara bagaimana manusia
bisa lepas dari penjara ketakutan atas pekerjaannya, cara dari kibat itu
sebagai cara paling berharga.
Cerita
dari pembantu rumah tangga merasakan bahwa apa yang dilakukan itu, memberikan
ruang luas untuk selalu menindas dirinya, untuk si juragan (bos tempat
bekerja). Dengan kesadaraan itulah, ingin lepas dari kemerdekaan sudah nyaris
terjadi, hanya bagaimana nanti lepas dari sebuah perjalanan yang sesuai dengan
kenyamanan hidupnya, merasakan sebuah lepasnya hidup dalam tindakan dirinya.
Cara yang didapatkan akan melepaskan dirinya sehingga juga tidak memberikan
kesempatan pada kaum kapitalis untuk berpikir menggunakan naluri, sehingga
tindakan untuk tidak selalu mengabdi atas dirinya selalu memberikan kesempatan
akan dirnya menjadi manusia yang berkembang.
Seorang
manusia ketika ia selalu beranjak dari zona nyaman menciptakan sebuah keadaan
baru, maka bersiaplah manusia itu akan selalu berkembang, hijrah dari keadaan
nyaman atau pun buruk sebuah cara manusia menunjukan kualitas hidupnya. Berada
dalam kehidupan yang sewajarnya akan senantiasa berada pada kebosanan tanpa ada
perubahan, atau merubah sebuah keadaan baru, yang istilah peribahasa saya “rimba
kosong menjadi berisi dan memperindah rimba-rimba itu”. Rasa-rasanya kapitalis
sederhana pada manusia yang selalu bekerja di bawah tekanan, sehingga manusia
bagaimana mengambil keputusan, menyikapi keadaan tersebut, diam dalam keadaan
yang diderita samalnya menyiksa diri, tidak mensyukuri dari apa yang diberi
Ilahi.
Tulisan ini Penah dipublikasikan Lembaga Pers Mei-Unisma
Malang, 23 Mei 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar