Foto: Abdisr Blogger |
Akhir-akhir ini keadaan manusia diuji
akan keberadaanya, keadaan manusia ujian dari segi ideologinya, iming-iming
surga serta posisi manusia nanti akan membawa dirinya atas pilihan dan
keputusan seorang penggilan surga “katanya”. Bukankah kehidupan tidak
ditentukan sesuai dengan kenyataan, jika surga yang diharapkan terlalu mulia
hidupnya, pertanyaanya tindakan mulia apa dalam hidup manusia itu, sehingga
kepercayaanya berharap dengan mudah surga dimimpikan dengan caranya, “bukannya
anak kecil yang selalu diimingkan surga dengan cara seperti itu”, semoga saja
masih dilindungi kita semua manusia dengan sehat. Dalam pandangan disiplin ilmu
filsafat bahasa, surga sebuah metafisika, bisa dirasa tapi tidak berbentuk
karena kita masih “apriori”, Danarto juga pernah menuliskan bahwa surga dan
neraka hanya sebuah nama, jika belum pernah merasakan, jadi tidak perlu
mati-matian manusia untuk bisa menggapainya karena semua yang ada akan nanti
terasa pada manusia yang merasakan.
Pengeboman
tiga gereja yang tenpo hari Minggu 13/05/2018, mengejutkan mata hati semua umat
beragama, khususnya bagi kaum umat muslim. Karena pengeboman tersebut dilakukan
oleh satu keluarga yang beragama islam, enam dari satu keluarga tersebut memiliki
sebuah keinginan surga yang akan digapainya “bukannya itu bernafsu”, ketika
semua berdasarkan nafsu bersiaplah kesadaran manusia luntur dari nalurinya.
Bukankah hal itu hanya dimiliki oleh
orang dewasa yang sudah memiliki pemikiran sempurna akan dirinya dan
kehidupannya. Manusia sadar akan segala perjalananya tidak akan senantiasa
memperhitungkan sebuah hasilnya, jika manusia selalu memikirkan sebuah hasil
dari perbuatannya, sesungguhnya manusia tersebut “fatal dalam proses
pengetahuannya”, tidak melakukan sesuatu dari hatinya, masih memiliki
keinginan, ketika keinginan akan gagal digapainya maka hanya penyesalan akan
didapatkan dari manusia itu. Sungguh malang anak-anak itu yang ikut dari sebuah
nafsu yang fatal dari naluri manusia sadar yang dewasa.
Bukannya
manusia hanya bisa memperhitungkan, mengerjakan semua yang dilakukan akan
ditemukan, ditentukan oleh prosesnya, namun manusia tidak hanya berhenti pada
proses, setelah proses manusia tersebut bisa menemukan sebuah pengetahuan, maka
pengetahuan manusia akan dibawakan ke mana untuk menjadikan dirinya sebagai
manusia sempurna, sempurna bukan untuk bisa meninggikan akan dirinya dari rasa
kesombongan melainkan dari ketidak tahuan dari banyak hal dari kehidupan, bukan
hanya surga yang dicita-citakan akan tetapi rasa bagaimana nanti bisa melakukan
apa yang selarasnya dikerjakan untuk kemaslahatan ummat.
Sesungguhnya
pengetahuan itu bukan untuk mencapai sebuah keinginan manusia, sebuah
pengetahuan akan difungsikan akan kehidupan yang akan nantinya bisa dinikmati
oleh kehidupan disekelilingnya serta kehidupan yang akan datang. Bukannya dalam
agama sudah dijelaskan dalam kehidupan, sehingga tidak ada yang lebih berharga dari kehidupan walaupun itu berdosa akan tetap
bisa hidup, dalam kehidupannya menyimpan harapan untuk bisa menjadi hidup dalam
kematian yang baik nantinya, namun sebaliknya dalam kehidupan yang memutuskan
untuk bisa menggapai surga lebih cepat dengan sebuah tindakan yang mengakhiri
dirinya bisa merasakan surga sangat jauh dari singgasana menyicipi semua itu,
karena rasa cinta itu luntur dari dirinya.
Cara
pandang apakah yang didoktrinkan, sehingga mampu membuka hatinya terhadap
anak-anak itu, surga apa yang diiming-imingkan pada anak usia belia itu?,
jangan memikirkan kenyamanan, serta nikmat surga, untuk mengerti keindahan
surga pun tidak mungkin masih terpatri, akan tetapi kekuatan apa?, sehingga
surga terbentuk pada psikolgi anak-anak itu, hingga melupakan akan pentingnya
dirinya untuk hidup lebih lama dan mengerti arti dari kesempurnaan hidupnya.
Kekejaman apa yang baik dalam membentuk
pola pikir seorang anak mulia, harus menderita bukan tentang ketiadaannya yang
akan menjadi prihatin dari yang ditinggalkan, namun segala elmen beragama yang
sama tercoreng atas segala tindakan membawa atas nama Islam, tercela dengan
kesalahan apa yang dibela. Untuk manusia yang masih sadar akan segala ini semua
semoga saja masih dalam lindung-Nya, serta selalu membagi pengetahuan atas
dasar kehidupan. Dalam Cerita Mahabrata Krisna menyampaikan kepada Drupadi
mengenai pertanyaan “jati diri manusia hidup”, untuk menemukan itu Krisna
menjawab, manusia untuk mencapai itu semua harus bisa melampaui dalam
dasar-dasar kebenaran, di dalam kehidupan, ada lima dasar kebenaran yang
berbunyi: 1. Pengetahuan, 2. Cinta, 3. Keadilan, 4. Pengabdian, 5. Kesabaran. Dengan
itu manusia bisa merenungkan akan segala tindakan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar