Kamis, 17 Februari 2022

SASTRA, PENDIDIKAN, DAN BAHASA

Foto: Teater Awan Al-Itihad 

Materi yang disampaikan oleh Akhmad Mustaqim
Pada Seminar Kesusastraan[1] MA-Al-Ittihad Poncokusumo Kabupaten Malang, Waktu: 08.00-09.00 Wib, lokasi MWC Puncokusumo Malang Jawa Timur. 

Persoalan sastra Indonesia ada  pada generasi, pendidik, dan media. Hari ini sangat penting dan perlu melakukan muhasabah. Sehingga dunia sastra akan menjadi menarik dan menyenangkan. Untuk mencapai semua tersebut agar maksimal yaitu meningkatkan tingkat baca (iqro), baca apapun  yang disukai, lalu meningkatkan literasi kita secara baik—untuk mencapai atau menyelesaikan beberapa masalah sendiri, dan sekeliling kita. Belajar itu, tidak lain dan tidak bukan ketika punya ilmu yaitu mampu menyelesaikan masalah-masalah sendiri, bekal ilmu itulah akan menemukan jalan.

Dunia sastra kita, sebenarnya tidak hanya bicara tentang teks yang memiliki nilai. Lepas dari itu semua harus bisa memenuhi apa yang memiliki dedikasi untuk memahami sastra secara luas. Karena sastra tidak hanya bicara mengenai teks melainkan juga pementasan dan bahasa. Damono (2021:55) mengatakan sastra memberi kekuasaan kita untuk berbuat “apa saja”: mulai dari sekedar bermain-main dengan kata-kata sampai dengan memberi nasehat. Ini telah kita lakukan sejak kita ada, jauh sejak sebelum kita mengenal aksara (2). 

Poster: Teater Awan Al-Itihad 


Kita hari ini perlu menyadari bahwa dalam memikirkan sastra tidak hanya bicara tentang cinta, akan  tetapi bagaimana masyarakat sadar akan sastra dan bahasa tidak dapat dipungkiri menguasai tuk dimiliki oleh masyarakat—siswa, mahasiswa, pegiat sastra, dan penikmat sastra—bahwa sastra dan bahasa punya peran. Mari sadari kalau memang masyarakat kita perlu melestarikan budaya. Budaya ini diciptakan dari kebiasaan yang dilakukan sehari-hari kita, sehingga menjadi budaya sehari-hari sehingga diciptakan oleh masyarakat. Budaya tersebut memiliki nilai baik diterima oleh masyarakat secara luas.

Kesusastraan secara etimologi dalam bahasa Sansekerta yang sastra, berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”. Shastra berasal dari kata dasar sas-atau shaas-yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi dan tra yang berarti alat atau sarana.[3] Artinya, secara umum dan luas di sini, selain masyarakat memaknai bahwa  bercakap-cakap ini adalah kebiasaan masyarakat dilakukan secara luas akan menjadi budaya, maka apapun yang memiliki nilai atau pedoman keseharian-harian ini. Secara lisan maupun tulisan terkandung dalam dunia nyata dan dekat dengan realita.

Kehadiran budaya salah satunya merupakan kerja kesenian manusia yang dibentuk manusia dalam berkembang di sebuah sastra. Di masyarakat kita akan menghadirkan kebiasaan manusia untuk bisa melakukan secara terbiasa untuk bisa dilakukannya. Sehingga dunia pendidikan formal (dunia pendidikan) dan pendidikan non-formal (pesantren), melakukan praktik-praktik berkesenian. Salah satu contohnya wadah paling baik di dunia pendidikan wahad kebudayaan, bisa dilakukan oleh siswa dan mahasiswa.

Praktik-praktik ini bisa dilakukan oleh dunia pendidikan di kembangkan secara baik dan maksimal terus menerus oleh kita. Karena kita yang mampu membuka diri untuk bisa mempertahankan serta merawat. Sebab hanya dunia pendidikan punya kekuatan paling penting dalam kehidupan kita. Walaupun tidak dipungkiri selain itu ada para pegiat serta pembaca karya sastra akan menghidupi sekaligus melestarikan. Tidak mungkin kebudayaan berkembang secara baik dan bisa menjalankan kehidupan kalau pendidikan peran sentral di dalam kehidupan berkebudayaan. Mengapa sastra di masa lalu di zaman lalu kita sangat dikenal. Karena sastra ini akan hidup jika dunia pendidikan ini. Sehingga peran pendidikan di sini lebih kreativitas untuk mengembangkan kebudayaan secara kreatif.

Foto bersama panitia Teater Awan Al-Itihad 


Di lingkungan sekolah selain peran seorang guru, khususnya  guru Bahasa Indonesia—yang sangat memiliki peran paling ideal untuk bisa aktif berperan untuk mendorong melakukan apresiasi sastra dan bahasa sangat penting dengan membaca buku sastra dan ekstra sastra atau berkesenian lainnya. Pada tahun 1945, seorang budayawan dan tokoh nasional, Ki Mangunsarkoro, menyampaikan sebuah perasaan yang berjudul “Pendidikan Kebudayaan dalam Masyarakat Sekolah”[4]  …. Pendidikan di sekolah itu ditunjukkan kepada waktu yang akan datang, dan oleh karenanya pendidikan kebudayaan ditunjukkan pada keadaan dan kemungkinan-kemungkinan di waktu yang akan datang. Kalau tidak, maka pendidikan itu adalah pendidikan yang salah masa dan akhirnya menimbulkan kekuatan anakronisme[5] yang mau tidak mau merupakan kekuatan destruktif[6] reaksioner di waktu yang akan datang.   

Di pesantren sangat memiliki peran aktif pula dalam dunia sastra dan bahasa. Salah satu contoh ini dapat diambil yaitu, pengambangan yang ada di Pondok Annuqoah[7] kesusastraan di sana sangat berkembang sangat baik dan bagus, pemilihan seorang sastra untuk ekstrakulikuler: deklamasi puisi, penulis sastra,  jurnalistik, dan teater. Kalau kita menyadari akan hal tersebut merupakan sebuah jalan untuk bisa mengmbangkan kreativitas diri, atau skill akan kesusastraan yang ada di dalam dunia sastra. sehingga dapat kita cermati santri-sasntri yang alumni di sana banyak menyukai bahkan melakukan praktik-praktik di masyarakat luas di dunia kampus dan luar memiliki peran sangat baik di dunia kesusastraan.

Dalam hal sastra peran paling sentral yaitu bahasa, entah bahasa secara lisan maupun tulisan. Sehingga kalau kita perhatikan secara ilmiah. Peran bahasa dalam kehidupan sangat sentral, maka bahasa merupakan bentuk paling penting. Sehingga dunia pendidikan praktik-praktik mengarah ke dalam bahasa akan bisa melakukan kehidupan yang kental di kehidupan sehari-hari.

Selain itu, di dunia sastra juga berkaitan dengan dunia jurnalistik. Kalau kita ketahui bahwa ada yaitu jurnalisme sastrawi. Sastra yang memiliki daya tulisan peran bahasa tulisan dan lisan. Disana ada latihan sangat konkrit. Selain berperan secara fungsi media menjadi salah satu media paling sentral dalam dunia  bahasa dan sastra. karena tidak mungkin tulisan kita dapat dibaca oleh orang  kalau tidak  memiliki media (ruang ekspresi). Bahkan Charles Dicken (51: 2001), Dari  sudut pandang ini, surat kabar hanyalah ‘bentuk ekstrem’ dari buku, atau buku yang dijual dalam skala kolosal, tanpa disertai sifat awet-kekar, dan kepopuleran hanya sekejap mata. Mungkinkah bisa kita katakan: (surat kabar adalah) buku laris satu hari)[8]. Sehingga peran media di era sekarang sangat sentral, tanpa  media tidak akan memiliki ruang luas. Bahkan secara fungsi masyarakat memiliki peran di masyarakat luas dengan adanya media jurnalistik.

Peran Dunia pendidikan, kesusastraan, bahasa, media, dan pendidikan non-formal (pesantren), ini akan memiliki peran penting dalam peradaban serta kehidupan manusia. Terkhusus dalam dunia sastra—yang memang sangat berkesinambungan untuk tetap menjaga dan merawat nilai-nilai kebaikan kita—yang ada dalam dunia sastra atau kebudayaan. Karangan sastra akan memiliki ruang lebih luas karena kebenarannya dapat ditentukan oleh pembaca. Roland Barthes (1965), mengatakan pengarang dan karya sastranya harus terpisah, jika ada seseorang bisa melakukan pengamatan karya dan tidak sesuai dengan pembaca maka tidak masalah, karena makna ada pada pembaca, ini yang disebut dengan interteks[9]. Sehingga peran tersebut sangat menjamin akan kehidupan berbudaya kita ini.
 
 
Foto bersama panitia Teater Awan Al-Itihad 


kau 18+
 
mencintai peristiwa terbesar dalam hidup,
kukenali engkau di sepertiga malam
dan  merangkai puisi untuk Tuhanmu
tuk  merayunya, dan memohon
kau yang mengungsi di hati
berharap abadi
 
malang 2022


Catatan kaki: 

[1] Menumbuhkan Kembali Semangat Berbahasa dan Bersastra di Kalangan Remaja 17, Februari 2022
[2] Sapardi Djokko Damono,  2021. Pendidikan dan Sastra Pabrik Tulisan Jl. Dersono, Sleman, Yogyakarta
[3] Pandangan secara umum akan hal kesusastraan.
[4] Perasaan dalam rangka Kongres Keduayaan III yang diselenggarakan di Solo. Diambil dari esai Sapardi Djoko Damono, 2021. Berjudul “Pendidikan dan Sastra”.
[5] Hal yang tidak kecocokan dengan zaman tertentu.
[6] Merusak dalam arti kamus besar Bahasa Indonesia.
[7] Pondok pesantren di Sumenep pengasuh itu M. Faizi. Penulis buku “Merusak Bumi dari Meja Makan” 2020.  Basabasi. Yogyakarta.
[8] Dikutip dari buku Imagined Community 2001. Penerbit Insist. Yogyakarta.
[9] Esai Sapardi Djoko Damono 1965 Interteks dan Teks, kurang lebih narasi yang ingin disampaikan di atas demikian, kurang lebih—yang akan disampaikan oleh Roland Barthes, peneliti sastra asal Perancis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar