Rabu, 02 Februari 2022

KULTUR, STEREOTIP, FALSAFAH MADURA DAN DEKONTRUKSI

Foto: pemotongan tumpeng 

…“jujur, pasabber, pabennyak kancah, paloman. Reng madureh paste eperhitungagin teros ben esenggani, mon ghellem ebebenah orang, benni rende abe; tape’ rende  ateh…” Adagium berbahasa madura memiliki nilai dedikasi kehidupan berkarakter atas hidup masyarakat madura—yang dikenal sebagai orang perantau, dan perlu mempraktikkan, yang di atas—yang penuh dengan nilai filosofis.


Sebagai seorang perantau yang menimba ilmu di luar daerah sendiri, kita akan punya semangat tinggi untuk melakukan cara bertahan hidup semangat paling dasar, serta cara menjalani hidup, yang berbeda. Semangat etos kerja yang sangat dibutuhkan sangat ekstra akan membukakan pola pikir dan bertindak berbeda. narasi di atas menunjukkan pola hidup kita semua sebagai masyarakat—yang berposisi sebagai mahasiswa mencari ilmu sebagai tujuan utama. Selain itu juga perlu membangun relasi atau  nyareh’ kancah sebanyak, ghebey kebutuhan odik. Kalau filsuf Yunani Aristoteles pernah menuliskan, kita sebagai zoon politicon (makhluk sosial). Jauh sebelum itu masyarakat Madura sudah mengenal bahkan menjunjung tinggi kekerabatan sebagai tujuan utama “settong dhere” representasi dari makhluk yang butuh sosial.


Dalam hemat saya secara subjektif dan sifatnya adalah asumsi. Kata Madura secara etimologi, merupakan terdiri dari kata ‘madu’ dan ‘ara-ara’, kalau dipadukan dua kata tersebut jadi ‘Madura’. Kata ‘Madura’ tidak hanya berfungsi sebagai nama saja. Akan tetapi, lebih dari sekedar nama—Madura punya makna secara filosofis—yang sangat menggambarkan pola hidup serta bagaimana masyarakat Madura hidup di perantauan. Jika direduksi secara fenomenologi sangat jelas secara praktik-praktik dilakukan masyarakat kita.[2]


Pada konteks di atas, akan diambil dulu makna sacara semantik bahasa. Kata “madu” memiliki interpretasi sebuah benda yang manis atau bahan alami yang memiliki rasa manis. Secara fungsi akan banyak manfaat serta punya unsur menjadi obat. Jika kita reduksi kata ini dalam pandangan filosofis untuk cara hidup kita sehari-hari tentu akan sangat bisa kalau kita orang Madura ini akan menjadi orang yang bermanfaat dan menjadi obat. Sesuai dengan interpretasi kata ‘madu’. Sedangkan kalau kata ‘ara-ara’ dalam bahasa sederhana ditemukan dalam pemahaman sederhana ada dua interpretasi; 1) berupa tempat yang gersang, 2) ara pohon jenis fikus yang banyak getahnya, banyak macamnya, ada yang berupa pohon, tumbuhan perdu, tumbuhan memanjat, seperti; akar, batu, dan burung. Memandang makna secara semantik tersebut, sesuai kita dalam praktik-praktik dalam kehidupan. Kalau memilih untuk hidup seperti ‘ara-ara’ dengan definisi di atas sudah jelas kita akan menganut dari dua pengertian di atas: menjadi orang kasar sebagai representasi dari tanah gersang, dan menjadi orang yang keras kepala mendahului ego.


Asumsi di atas bukan kita amini, ini bentuk fenomenologi saja secara reflektif dan kajian secara analisis sosial secara sederhana. Kalau dikaji bentuk kajian analitik secara sekunder, karena buku yang mendukung masih belum ditemukan secara spesifik. Namun penting kita renungkan akan kebenaran serta apa hanya mendekati kebenaran serta bersifat cocok-cocoklogi. Walaupun nanti secara trivial dibuktikan akan siap dikoreksi serta dicari lagi  kebenarannya.


MADURA, MASYARAKAT, DAN STEREOTIP  


Madura bukan hanya bicara tentang letak geografis, namun juga bicara secara masyarakat yang sangat penuh hirarkis. Masyarakat Madura penuh dengan nilai-nilai sangat signifikan seperti: agamis, etos semangat kerja, dan pantang menyerah semangat menggapai tujuan. Dalam penelitian Rahmana (47: 2012)[3] mengatakan  hubungan sosial orang Madura, tindak ekotipe tegalan sebagai basis ekonomi orang Madura melahirkan masyarakat yang unik. Keunikan yang perlu dicatat sistem hubungan sosial masyarakat Madura dapat diukur dengan taniyan lanjeng.[4]


Pandangan di atas akan menjadi cerminan kepada kita semua sebagai generasi muda. Hal paling sederhana untuk dilakukan yaitu tetap menjaga silaturahmi antar wilayah sesama dari Madura khususnya Masyarakat Bangkalan. Hal itulah yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan  kita sehari-hari dalam sebagai seorang perantau dan pemuda dari Bangkalan. Guyup rukun di perantauan perlu dilakukan secara maksimal, serta membuktikan kepada masyarakat di luar Madura terhadap stereotip buruk: arogan, semena-mena dan suka berkelahi. Striptipe ini kita buktikan dengan hal postif seperti penjalinan persaudaraan yang sangat solid serta sangat agamis dan ramah menjadi ramah selalu diperhitungkan.


LETAK GEOGRAFI DAN KARAKTER PERANTAU


Menurut Geertz (12: 1983)[5] Pulau Madura sebagai ‘Indonesia Luar’ , yang dibedakan dengan Jawa dikatakan sebagai ‘Indonesia Dalam’. keduanya dibedakan dari sudut ekologi , di mana Madura sebagai masyarakat yang berbasis tegalan, sedangkan Jawa berbasis ekologi sawah. Ciri dari tegalan akan bergantung pada curah hujan, varietas tanaman lebih banyak meskipun produktivitasnya rendah, dan resiko gagal panen lebih besar karena  faktor musim tidak menentu.


Jika di atas merupakan sumber penghasilan yang akan berpotensi dan telah dipaparkan oleh penelitian. Hal tersebut dapat ditarik kesimpulan mengapa orang-orang kita sering merantau dan besar di luar? Pertanyaan tersebut, akan dijawab dengan faktor letak geografi—yang sangat memiliki potensi kecil untuk mengembangkan sumber daya alam di Madura. Walaupun tidak semua masyarakat Madura gagal dalam sektor pertanian, namun tolok ukur karakter masyarakat kita disebabkan karena faktor lingkungan. Sehingga potensi untuk merantau dan besar serta berkembang di luar Madura sangat banyak. Ditandai dengan serangan Sultan Agung di Abad ke-17 kalah dari kerajaan Mataram  Islam sehingga Raden Prasena(pewaris kerajaan tengah) dengan pengikut diboyong ke kerajaan Mataram yang ada di Plered ( Jorge, 1989).[6] Sejak itulah tanda bahwa masyarakat Madura senantiasa menjadi perantau ulung.


FILSAFAT ORANG MADURA


Filsafat orang Madura sangat religius, yang berunyi “Abental syahadat, apajung Allah, asapho’ shalawat.” Yang memiliki arti secara  semantik,”sejak bayi orang Madura telah berbantalkan syahadat, berpayungkan pelindung Allah, dan berselimutkan shalawat. Falsafat ini secara asumsi masuk ke ranah religius.


Tidak dipungkiri memang, kalau masyarakat Madura sangat kental dengan beragama. Bahkan sangat dominasi masyarakat menganut Agama Islam. Secara, nenek moyang sangat kental dengan masyarakat yang beragama, tidak mungkin tidak beragama kalau masyarakat Madura. Sehingga nilai-nilai filosofis mengarah ke nilai spiritualisme Agama Islam, dapat diasumsikan sejak nenek moyang kita orang  beragama Islam. Sehingga dapat dinilai, bahwa sudah sewajarnya masyarakat Madura kental dengan Agama Islam.


Pergeseran pola pikir masyarakat yang sekarang sudah sangat kecil sekali masyarakat Madura melakukan carok. Hal tersebut banyak faktor yang menjadi kendala salah satunya yaitu faktor kemajuan pendidikan di Madura, dikit demi sedikit berkembang pesat dan masyarakat sadar akan pola pikir yang tidak hanya memiliki pengetahuan melainkan berdampak ke pola pikir dan tindakan. Pola pikir yang sumbu pendek dan konservatif.


Sekarang dapat dilihat mengenai lingkungan kita, bahwa secara tidak langsung ada pergeseran signifikan. Hal tersebut disebabkan karena kesadaran masyarakat akan hal budaya—yang mewarisi hidup kurang mendidik merugikan. Kalau kita melihat menggunakan kacamata kecil. Sudah begitu banyak anak-anak para bajing, blater, dan kepala desa disekolahkan dan dipondokkan. Faktor itu mendukung perkembangan budaya yang lebih baik.


Ketika kita menyadari bahwa kita semua menjadi seorang terdidik.  Maka tidak dapat dipungkiri kalau pola pikir konservatif bahkan kurang baik akan direkonstruksi disesuaikan dengan zaman. Sesuai dengan perkataannya Sayyidina Ali “Didiklah anakmu sesuai dengan zamanmu…” itu bukti kalau masyarakat Madura perlu menyadari zaman sekarang butuh skill otak menjadi orang bermartabat, bukan mental otot lagi yang jadi kebutuhan era sekarang. Banyak faktor kriminalitas terjadi, salah satunya karena rendahnya pola pikir, kemiskinan, dan lemah menjadikan agama sebagai dasar ilmu pengetahuan.


 


 


Selamat membaca!


*Esai di atas merupakan bentuk reflektif saja, jika ada yang tidak sesuai penulis akan siap merevisi kembali. Mator sakalangkong.




[1]  Kegiatan Pelantikan Ikatan Mahasiswa Bangkalan Malang Raya (IMABA) Distrik Universitas Islam Malang (Unisma) tempat di KNPI Malang, 2, Februari 2022


[2]  Pandangan ini sangat personal dan ini memang menjadi  kajian paling sederhana dalam lingistik dan sosiolinguistik secara universal.


 


[3] Rochana, Totok. 2012.  Orang Madura: Suatu Tinjauan Antropologis. Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah


[4] Taniyan lanjeng: Halaman /emper, halaman rumah yang luas dan panjang representasi dari masyarakat Madura punya kultur serta menjalin kekerabatan sangat erat.


[5] Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi Indonesia. Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara.


[6] De Jorge. 1989. Dalam artikel Zulaihah Sitti. 2020. Orang Madura Di Yogyakarta (study tentang migrasi penjual sate Madura di Yogyakarta). Universitas Jember. 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar