Jumat, 22 Oktober 2021

MEMBACA EPOS LA GALEGO, PUISI, DAN 13 PERTANYAAN MANURUNG


Untuk mengingat sastra Indonesia, entah lisan maupun tulisan tidak lepas dengan pengaruh letak geografi yang punya cerita berbeda-beda, mengenai karya sastra, atau pencipta karya sastra—yang secara umum sastra selalu menawarkan teknik baru, ataupun lama. Umumnya karya sastra seperti novel, cerpen, naskah drama, esai, dan puisi, atau istilah lain tidak dapat disebutkan satu persatu. Puisi dengan teknik berbeda-beda secara konsisten akan memberi tawaran kepada pembaca, bahwa penulis puisi tersebut berhasil memikat pembaca.

Dalam epos Mahabarata yang begitu dekat dengan konflik perseteruan persaudaraan, ditandai dengan adanya  perang baratayuda. Mula-mula ketika mendengar perang tersebut, yang melekat dalam ingatan yaitu, Pandawa dan Kurawa—yang tak kalah penting ada Krisna dan Sengkuni.

Pada abad 20,  kedua cerita di paragraf kedua dapat diakses dengan mudah bahkan bisa ditemukan dengan banyak versi; buku cerita anak fantasi, di televisi, dan bahkan buku-buku paket sekolah. Bahkan ada dalam bentuk teks seperti: buku, majalah, koran, dan bulletin. Akan tetapi, ada bentuk lain seperti visual yaitu: tradisi lisan, monolog di spotify, dan di film.  

Dalam karya sastra  puisi berjudul “Manurung 13 Pertanyaan Untuk 3 Nama,” Gramedia, (2017), karya Faisal Oddang.  Karya sastra jenis puisi yang unik dikemas. Selain unik menggunakan teknik penulisan narasi. Secara substansi, puisi yang dikemas puisi narasi hidup dalam nuansa puitis, tak lebay dan mendayu-dayu--yang tak penting.

Buku berjudul Manurung (2017), sebuah puisi yang tidak hanya berbicara tentang keindahan diksi, metafora, dan permainan bunyi, pada puisi. Tapi, ada semangat sejarah masa lampau yang ingin disampaikan secara puitis dengan penguasaan  imajinatif, yang kreatif. Sehingga komposisi puisi ini bukan hanya tentang pengarsipan nilai estetik, melainkan terkandung sejarah yang nyaris hilang dan dilupakan.

Sebuah upaya. Dengan puisi yang tidak hanya dikenal dengan memberi nilai estetik, melainkan puisi memiliki kekuatan narasi, yang memukau untuk dapat menyampaikan sesuatu hal penting, yang mudah diingat. Walaupun ini kedengarannya sangat menghakimi, dan memberi label, penulis berasumsi, bahwa puisi dapat dikategorikan sebagai puisi gelap dan terasa asing di mulut saat membacanya. Puisi garapan Faisal Oddang Manurung, secara garis besar berisi tentang pertanyaan-pertanyaan terhadap 3 nama—yang tidak akan lepas oleh waktu—selalu dikenal oleh masyarakat Bugis, yaitu La Galego.

La Galego, bukan hal baru dalam sejarah sastra Bugis. Pada pengantar bukunya, Faisal mengatakan, bahwa Jhon Leyden menempatkan sebagai representasi dari sastra Bugis yang mengandalkan irama.  Dalam buku  On The Languages And Literature Of The Indone Chinese Nations (1808), ada pendapat lain, yaitu Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java (1817), di tahun 1820, John Crawfurd meski tidak secara langsung menyebut La Galigo. Dalam konteks ini, ia memposisikan diri sebagai orang yang cinta akan budaya sendiri. Namun tidak memahami asal usul serta kepastian mengenai La Galigo. Sehingga puisi tersebut menawarkan semangat pertanyaan yang puitis.

Faisal ingin menawarkan dalam bentuk puisi. Ada 13 pertanyaan, dengan tiga nama, Ia ingin menyampaikan narasi sejarah yang hilang dalam bentuk puisi. Tiga tersebut terdiri dari Datu Palinge, Sawerigading, dan La Galigo. Dan 13 pertanyaan dibagi ke setiap nama yang telah disebutkan. Lima pertanyaan ke Datu Palange, Sawerigading lima pertanyaan, dan La Galigo tiga pertanyaan. Dari semua dirayakan dalam puisi berjudul Manurung.

Tiga nama tersebut akan selalu ada di ingatan masyarakat bugis berdampingan dengan kehidupan. perhatikan kutipan puisi sebagai berikut:“Cerita-cerita tentang kalian terus disampaikan dari waktu ke waktu semua sibuk membicarakan istana, pesta, perang, sabung ayam-tak ada kami di sana, kami hanya muncul ketika kalian butuh seorang sebagai tumbal untuk kesenangan yang kalian inginkan. Kalian butuh budak entah di dia kate entah albino, orosada atau orekelling (bait 12. Hal.21)

Faisal, Pertanyaan, dan 3 Nama  

Faisal Oddang memberi gambaran mengenai tokoh-tokoh yang dilontarkan pertanyaan dimulai dari Datu Palinge, Ia istri dari Datu Patotoe. Sang Penguasa Dunia Atas (Botting Langi) yang mengirim Batara Guru. Anaknya untuk mengisi Dunia Tengah (Ale Kawa) yang kemudian berpasangan dengan perempuan dari Dunia Bawah (Buri Liu). Selanjutnya ada Sawerigading keturunan ketiga dari Dunia Tengah yang perannya cukup penting dalam La Galigo. Dan yang ketiga, La Galigo, putra Sawerigading. Ketiga tokoh yang diberi pertanyaan dalam buku ini memiliki darah manurung. R. A. Kern menjelaskan bahwa manurung secara harfiah berarti “turun ke bawah” lebih luasnya lagi, bahwa manurung berarti “orang-orang atau benda-benda yang turun dari langit.” Pada akhirnya, Manurung kini tiba dalam bentuk yang lain, pertanyaan dikemas dengan puisi.

Datu Palinge 

Perhatikan, pertanyaan kepada Datu Palinge dalam puisi Manurung; 1, di bumi, ketika anakmu sebagai hamba setelah suami benar-benar menjadi Tuhan. Kesedihan macam yang telah disembunyikan di dadamu?,2. Sudahkah kau ajarkan kepadanya tentang wajah Kesedihan yang kelak datang kepadanya setelah dia selesai menciptakan Bumi dan isinya?, 3. Ada yang kamu pahami tentang Kesenian dan seseorang yang terasing karena kekuasaan?, 4. Seorang perempuan datang dari bawah laut, cukupkah itu bagimu untuk mengganti segala yang hilang dari dari Batara Guru?, 5. Ketiak cucumu mati lalu memakannya dan kau tak menegur mereka?. 

Sesuatu yang dipertanyakan akan memberikan pertanyaan besar, mengungkap-ungkap beberapa misteri. Apalagi berkaitan dengan peninggalan manusia dianggap sakral, dengan beberapa bukti pada literature yang telah berserakan membicarakan La Galigo dalam teks sejarah, dan Faisal mencoba menyajikan dalam bentuk teks puisi, yang memiliki kekuatan narasi sebagai bukti dalam menyajikan segala manusia berhubungan dengan dirinya dan tuhannya. Teks puisi menjadi media mempertajam dengan sebuah sifat dan kondisi yang menjadi pertanyaannya. 

Teks dan konteks dalam puisi mengenai pertanyaan kepada Datu Palinge dalam puisi berjudul “Di Bumi, ketika anakmu terasing sebagai hamba setelah suamimu benar-benar menjadi Tuhan, kesedihan macam apa yang telah kamu sembunyikan di dadamu?, “apalah arti Tuhan bila tak ada manusia yang menyembah?” langit sungguh riuh tetapi suamimu bersedih atas nama sepi-sesorang yang ia percaya telah melubangi hatinya dengan pertanyaan yang susah payah ia jawab. (bait. 1. Hal.27)

Sebuah keharusan manusia memahami tentang kematian dalam hidup. Minimal mengetahui nama dari kematian itu sendiri, jika perlu mengenal kematian lalu menjadikan bagian dari hidupnya. Ketika bisa menjadikan bagiannya akan senantiasa mempersembahkan pada dunia untuk bisa memberi nilai guna. Selayaknya Datu Palinge selama hidup. Pada bait puisi ”Manusia harus mengenalnya meski tidak pernah Kematian mengulurkan tangan untuk dijabat atau mengucapkan nama untuk dikenang. Sama sekali tak pernah.(bait.26.hal.64)

Sawerigading

Adakah penyesalan dalam hidup Sawerigading, ketika dilontarkan lima pertanyaan bentuk puisi. Bahwa ketika semasa hidup hanya bisa tersenyum bersama dengan keindahan alam semesta?, memakan, makananan enak di bumi, mencintai dengan begitu agresif,  ketika dalam sadarnya setiap langkah hidupnya masih belum bisa mengenali dirinya sendiri. Kenal memahami serta mencari ketidak lengkapan untuk melengkapinya: 1. Apakah kau menatap sepasang matanya sebelum cinta membuatmu buta dan bahan tak mampu melihat dirimu sendiri?, 2. Apa yang kau kenang dari tubuh-tubuh tak bersalah yang kau siksa dan dibunuh demi berahi dan selangkangan yang basa?, 3. Masihkah kau kenali amis lumuran darah budak di batang pohon Welenreng itu?, 4. Bagaimana mungkin kau berbahagia dengan We Cubai jika cinta telah kau curangi, telah kau rebut dengan dusta-dengan menciptakan sungai darah dari leher orang-orang tak bersalah yang kau tebas?, 5. Masih bisakah kau tersenyum jika kelak mengenang sejumlah perang yang telah kau lalui?.

Apa yang akan disesali dalam peristiwa besar semasa hidup? Pertanyaan akan dibalas dengan pertanyaan. Bahwa penyesalan ketika hidup, pasca-kehidupan. Hal ini, ketika hanya bisa memandangi bumi dan isinya, merasakan bahwa memiliki dan sebagai manusia hanya bisa memakan serta membuat tumbuhan tumbuh subur, dan itu hanya untuk dinikmati sendiri. Apa harus segera tiada meninggalkan dunia?

Dan pertanyaan itu masih bisa menjadi sumber pengetahuan baru dan besar dalam kehidupan di abad ini. Jika di benturkan. Bahwa apa yang hilang tentunya akan menjadi keinginan besar untuk menemukan sebuah kebahagiaan. “Apakah kau menatap sepasang matanya sebelum cinta membuatmu buta dan bahkan tak mampu melihat dirimu sendiri?, Waktumu telah tiba, matahari yang terbit dan matahari terbenam bukan hanya memindahkan peristiwa, diam-diam malam menciptakan satu demi satu perkara yang kumiliki, termasuk sisa hidupmu. “siapa yang telah menyembunyikannya dariku?”Pitotoe menciptakan cermin untuk di tubuh seorang perempuan, kau tak ingin menikahi dirimu sendiri, kau percaya bahwa surga tak pernah jauh darimu, bukan di Langit atau di Bawah laut. (hal.73)

La Galigo 

Tokoh ketiga termasuk yang terpenting dalam karya sastra puisi berjudul Manurung ini. La Galigo hanya terbagi tiga pertanyaan. Namun tidak kalah misterinya; 1. Untuk kematian-kematian yang menjemput hidupmu yang baru, perkabungan macam apa yang telah kau lakukan, 2. Siapa yang telah mengajarimu bertahan hidup tanpa cinta dari seorang ibu, ibu yang justru ingin menjadikanmu umpan ikan-ikan yang kelaparan?, 3. Kenapa kau, dan dua orang sebelum dirimu tidak juga menjawab pertanyaanku? Apakah menuntut kebenaran melalui sejumlah pertanyaan hanya akan berakhir dengan pertanyaan itu sendiri?.

Sebuah pertanyaan sebelum-sebelumnya itu hanya menjadi pertanyaan pula, namun tetaplah sebuah pertanyaan dalam intelektual sebuah kegelisahan pribadi atau semua orang yang belum bisa memahami hal-hal tertentu, peninggalan hanya menjadi kenangan dan peristiwa besar ketika bahasa hanya menjadi alat dan lisan sebagai penyampai. Dan puisi sebuah pertanyaan ulang untuk menemukan pencerahan, namun teks sebagai alat atau pisau analisis menemukan jawaban. Kebenaran dan kebingungan diciptakan agar semua orang merasakan keduanya. Kebenaran menjawab setiap perkara, dan kebingungan akan menjawab sebuah skeptis. Keduanya akan ada pada semua prasasti yang ada; La Galigo dilontarkan pertanyaan dalam bentuk puisi;

“Untuk kematian-kematian yang menjemput hidupmu yang baru, perkabungan macam apa yang telah kau lakukan?” (hal.109)

Semua terlahir ke dunia, di langit Tuhan hanya memberikan sebuah fasilitas. Kebutuhan manusia telah diberikan. Manusia ketika melahirkan campur  tangan-Nya. Sampai kematian hanya menentukannya, bagaimana hidup bisa menentukan pada pencipta padahal manusia itu sendiri akan mengurusi semua kelahiran, kehidupan, dan kematian. Apa akan menyalahkan Pencipta yang rata-rata ada, belum tentu benar dan belum tentu salah. Namun apakah akan memberikan penderitaan kepada orang lain, terkhusus pada orang tua sendiri, sanak keluarga, dan apakah akan memberikan sebuah kerugian kepada orang-orang disekelilingnya.

“Tak ada ketuban yang pecah, bahkan setelah ibumu bosan mendengar talu lesung yang datang dari arah Mario.

Yang pecah hanya langit, pecah seperti rekah bunga anggrek berwarna abu-abu, sebelum kelopaknya tanggal satu demi satu.

Kau menyiksa ibumu dengan rasa sakit yang tak mampu ia tanggung,

Langit tidak terlalu campur tangan  untuk rasa sakit meski sejumlah hadiah dikirim untuk menawarnya.

Meski telah mereka kirim paying untuk tadungmu.

Budak-budak kate dan albino disembelih sebagai tumbal agar gumpal darah di selangkangan ibumu mencair dan mengalir. (hal. 109)

Faisal Oddang kelahiran 1991, dapat dikatakan penulis muda dengan karya yang selalu menawarkan narasi lokal, Ia berhasil karena telah dapat banyak penghargaan, salah satunya anugerah penulis Cerpen terbaik koran Kompas 2014. Karya-karya yang berseliweran di media cetak maupun daring. Ia memberikan tawaran yang sangat segar dan bergizi serta aman untuk sastra Indonesia. Serta sastra akan menjadi jalan lain mengenalkan serta dapat lebih mudah memahami budaya lokal, bahkan sejarah.

Kehadiran puisi ini menghidupkan kembali cerita epos sejarah Bugis. Substansi puisi yang detail. Puisi yang nyaris deskripsinya unik dan baik, karena digarap begitu serius. Membaca Manurung, butuh ketekunan membaca, teliti, dan mencari makna diksi tidak familiar. Dan memaknai bait,  frasa, dan klausa—untuk menemukan intisari dari karya sastra puisi—yang berisis 13 pertanyaan untuk tiga nama. Puisi bukan sekedar puisi, tapi imajinasi sejarah sastra Bugis.

 

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar