Rabu, 27 Oktober 2021

SEMANGAT SASTRA PESANTREN DAN SEMINARI


Di akun facebook tempo hari lalu yang ditulis oleh salah tiga, yaitu Mashuri dengan akun facebook bernama Mashuri Alhamdulillah, Binhad Nurrohmat, dan Raedu Basha. Mereka memiliki semangat dunia sastra. Saat itu, sebagai anak kemarin sore belajar merangkak mengenai sastra, kaget. Ketika mereka membahas sastra pesantren. Setelah dibaca sambil lalu berpikir mengenai itu, terngingang-ngiang di kepala. Apa benar ada atau tidak, saat itu mencoba mencarinya.

Di Majalah Tempo Edisi 5-11 Agustus 2013, dalam liputan khusus ‘Sastra Religi’ berjudul "Pada Mulanya Kata". Liputan panjang tersebut menguraikan beberapa kehidupan sastrawan yang lahir dari pesantren. Namun, tidak hanya dari pesantren yang diangkat melainkan juga sastrawan yang berproses dari Seminari--yang mana, keduanya melakukan proses serta cara-cara 'nyaris' sama." "Pesantren dan Seminari tidak hanya melahirkan kyai dan pastor yang pandai berkhotbah serta bergiat mengurusi dakwah dan tanah misi. Dari sana, lahir pula sejumlah sastrawan yang memperkaya khazanah sastra Indonesia." 

Adapun, tokoh-tokoh sastra yang pernah mencicipi atau menikmati dunia Pesantren dan Seminari. Bahkan sastrawan yang diperhitungkan di Indonesia, lahir dari lembaga pendidikan keagamaan. Dari Seminari ada, Jokpin, Romo Mangun, Remy Suka di, Mario F. Kawi, serta pastor Leo Kleden, SVD adalah sederet sastrawan dengan latar belakang yang sama. Dari Pesantren, mengenal Mustofa Bisri (Gus Mus), Zawawi Imron, dan Acep Zamzam Noor, beserta Abidah El Khalieqy dan Ahmad Fuadi dari generasi baru. Tempo (hal 51, 2013). 

Di akun facebook itu, saya sebagai anak kemarin baru lahir sambil belajar merangkak terseok-seok, mengenai sastra. Mereka itu, salah tiganya yang sebatas diketahui, yaitu; Mashuri dengan akun facebook bernama Mashuri Alhamdulillah, Binhad Nurrohmat akun facebook nama asli, yang ketiga Raedu Basha. Mereka saling sahut menyaut melempar gagasannya sangat enak didengar, sebab mereka dengan bijaksana, menggunakan bahasa.

Mereka menulis sangat nyaring sekali di mata dan telinga saat membacanya. Mereka tidak bertengkar dan tidak membenarkan baik buruknya kategori “sastra pesantren” benar atau tidak, karena secara sadar kalau dipandang secara harfiah kata “sastra” yang tidak sedikitpun punya makna saklek secara fungsi, saat digabungkan dengan kata lain. Namun kata “sastra” dalam arti Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kita, bukan bahasa sehari-hari). Jadi, semua karya manusia berupa “kata/teks’ di bumi, jika hanya memaknai sastra begitu. Kata sastra,  pesantren, serta seminari, secara mereka bermula dari bahasa--yang secara manusia sebagai subjek, manusia sebagai peran aktif pasifnya. 

Dalam konteks kategori ini, hemat penulis tentang sastra pesantren atau non pesantren. Mungkin bagi seorang penulis karya sastra yang tidak ingin ramai dan ingin damai tapi ramai. Mereka akan menunduk fokus menulis dan bagaimana membawa semangat membalut dengan karya sastra sebagai alat saja. Sehingga penciptaan karya akan membawa semangat apa-apa yang akan disampaikan di dalamnya, oleh seorang penulis. Penulis menciptakan berfokus pada bagaimana mengemasnya. Mengenai dikotomi kritikus dan akademis akan mengkaji dari hasil karya. Mungkin begitulah kerja sederhana sastra. Tentang semangat sastra dan membawa nilai estetika apa di dalam karya.

Sebagai awam dan baru kemarin sore tahu sastra, yang terseok-seok masih berusaha memahami relung-relung untuk mendalami. Dengan membaca, diskusi, atau mendengar berita di media sosial, di spotify, dan youtube, bahkan dari para pegiat yang dianggap sudah di luar kepala paham mengenai dunia sastra. Namun, tidak semua yang didengar direkam lalu disimpan dalam ingatan. Ternyata mereka berbicara ada yang layaknya ada pula yang tidak, perlu dimasukkan di telinga, untuk disaring dan dikaji.

Dalam hal ini, penulis tidak ingin memberikan pandangan yang sebenar-benarnya, atau membenarkan. Tapi, ini sebagai usaha spesifik sastra pesantren seperti apa yang menjadi fokus pembahasan. Tentu, hal tersebut perlu diluruskan bila itu perlu agar tidak ada kesangsian bagi yang awam atau sudah berpengalaman. 

Pembahasan akan berfokus pada sebuah pandangan umum. Bahwa setiap karya sastra akan punya genre yang dibentuk oleh khalayak umum--yang disepakati. Kalaupun akan punya pandangan lain agar menyempurnakan yang telah ada (umum). Itu bagian dari proses kesusastraan. Siapa yang menemukan atau yang memulai akan jadi orang diperhitungkan oleh para penikmat sastra atau yang punya kebijakan mengakui karya, lalu disebut ia sebagai sastrawan, penulis,penyair, novelis, esais, dan jurnalis. Ya, minimal sastrawan bagi dirinya sendiri yang berkarya tidak untuk dikenalkan dan dikenang, cukup di lingkungan bernilai: baik dan karyanya. 

Semangat Proses Berkarya

Secara proses, sastra pesantren memiliki proses yang sama, atau sama dengan seorang non-pesantren menggarap atau membuat karya sastra dengan cara-cara umum, prosesnya. Dengan membaca, diskusi, banyak cari pengalaman, banyak ngopi, dan merenungi sesuatu di ruang sepi, itu sama saja. Yang jelas tidak hanya menjadi seorang suci yang tahu banyak hal, berada di menara gading.

Sastra pesantren dalam hemat penulis hanya wadah penampungan ilmu, sebagaimana sekolah tempat belajar banyak orang. Tidak punya nilai kalau penghuni sekolah tak mencerminkan manusia terdidik. Begitupun di Seminari. Bahwa sastra tetap sebagai alatnya, alat yang dapat menyampaikan sesuatu--dari gagasan, nilai, dan tujuan. Sastra sebagai lapis dari ketiganya. Hal ini dapat dipandang kalau isi dalam karya sastra sastra membawa semangat apa. Penulis yang ingin bawa semangat nilai agama, nilai budaya, HAM, sejarah, dan nilai-nilai lokal, atau sekadar membagi kisah tragis atau senang kehidupan orang lain atau diri sendiri dan banyak lagi. Setiap penulis akan membawa semangat berbeda-beda dalam berkarya, khususnya karya sastra. 

Mereka, pada dasarnya manusia yang pada umumnya, sama. Memakan, meminum, serta berak. Namun, mereka punya semangat besar berkarya di bidang kesusastraan. Hingga pada akhirnya dapat diakui dalam karya atau secara kepribadiannya--yang bisa membawa semangat berbeda-beda--dan sastra seperti wadah netral tanpa tendensi. Atau tidak membuat chaos dengan saling membenarkan karya sastra. Dan sastra memang tidak memiliki agama, kecuali yang penulis karya sastra punya keyakinan.

Pada dasarnya esensi sastra dan bahasa tidak dapat dipisahkan. Sebab bahasa menjadi media sastra, sastra menjadi pembalut dari ide dan bahasa jadi alat pembeda (representasi) mencipta keindahan. Hal tersebut selalu jadi kelebihan karya sastra. Maka, bahasa dalam karya sastra selalu membuat manusia hidup seperti tak punya agama tapi punya Tuhan. Seperti seorang bocah yang iman kepada Pencipta alam, yang mendahului alam semesta ini, diyakininya. 

Manusia jenis tersebut termasuk manusia yang gandrung akan keindahan bukan perkelahian dan perpecahan. Mengupas puisi Soe Hok Gie (1961) "aku tak ingin berbicara tentang nilai dan cinta, melainkan tentang keindahan," kurang lebih demikian kutipannya. Interpretasi makna tersebut punya kekuatan nilai puncak dari hidup manusia dapat mencapai ma'rifat keindahan. 

Kalau dicermati manusia yang menggemari sastra yang lahir dari Pesantren dan Seminari, secara laku ataupun karya selalu bersentuhan dengan hati. Terkontaminasi pada ideologi atau agama yang digandrungi--yang diamati sebagai keyakinan akan membawa keselamatan. Makrifat indah dalam hidup Tuhan. Sastra sebagai jalan penyatuan bermula dari kata. Dan di luar orang-orang membuat dikotomi serta ajang pengangkatan. Mungkin. 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar