Selasa, 19 Oktober 2021

BAHASA, SASTRA, DAN PRAGMATIK


Bahasa dan sastra tidak hanya berbicara tentang apa yang dapat dipahami secara definisi, lepas dari itu, keduanya punya porsi jika dipandang  secara fungsi. Jika sastra punya peran secara definisi “teks yang punya kata Indah, tertuang dalam karya” hal tersebut sesuai dengan yang  ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia dari dulu hingga kini belum berubah. Namun, arti kata tersebut sengat sempit jika ditafsirkan secara harfiah dan dipraktikkan mengikuti kamus bahasa Indonesia. Sedangkan bahasa sebenarnya punya ruang serta kesempatan lebih luas dari definisi yang di atas.

Prof Djoko Saryono guru besar Universitas Negeri Malang menuliskan di akun facebook (11/10/2021), bahwa akhir-akhir ini bahasa Indonesia novel terjemahan sering lebih bersih, rapi, dan ajek daripada Indonesia karya Ilmiah. Ada benarnya dari sisi sistematika penulisan kedua jenis penulis berbeda, tapi bahasa tetap menjadi tolok ukur untuk menentukan elektabilitas: ilmiah atau tidak bahasa digunakan.

Konteks di atas, merupakan rujukan paling baik untuk jadikan tolok ukur bahasa dan sastra. Jika kata sastra ditelusuri tidak hanya membicarakan tentang hal ini, namun ada kata (terkandung dalam bahasa). Tentu, untuk menyusun karya sastra—yang baik dan dapat dinikmati perlu penguasaan bahasa. Sehingga bahasa yang dapat disampaikan secara sederhana mampu menjelaskan  sesuatu yang berat menjadi sederhana; baik atau buruk, tersampaikan dengan menggunakan bahasa.

Karya sastra dalam bentuk teks ini tidak akan keluar dari konteks bahasa yang ada pada diri penulis dengan latar belakang penulis, entah penulis dengan menggunakan bahasa kedua bukan bahasa ibu. Apakah bahasa Indonesia merupakan bahasa Ibu. Hemat penulis bukan, bahasa ibu—itu terletak pada bahasa daerah yang ditepati—yang jarang seseorang melakukan kerja-kerja kebasahan tersebut dihadirkan dalam karya. Kalaupun ada terkadang wadah menerima karya tersebut tidak ada. Penulis kadang mengalami kesulitan dalam konteks mengarahkan ke mana tulisannya.

Sebagai masyarakat yang terperangkap dalam penggunaan bahasa Indonesia, itu dianggap bahasa Indonesia merupakan bahasa ibu. Sehingga dalam penggunaan bahasa seringkali terjadi sebagai ruang paling luas. Padahal  kalau digunakan bahasa daerah awal, akan lebih memudah cara berbicara tentang banyak hal akan lebih mudah mengungkapkannya. Apalagi dalam karya seseorang bisa menggunakan bahasa sederhana akan lebih baik, tentunya.

Namun seorang penulis karya sastra kadang terperangkap dengan keindahan dan lupa dengan nilai keindahan. Sehingga setiap karya sastra seorang bisa saja mereduksi dari bahasa ibunya terdahulu lalu memulai kembali menuliskan menggunakan bahasa Indonesia.  Kedua cara tersebut akan menjadi kesulitan untuk membuka ruang paling luas kembali. Maka terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dapat diukur kadarnya.

Contoh: bahasa se pantes  eyang guy pedih karya toles, ilmiah otabeh tak-ilmiah, koduh sedih bik bahasa kelahirrennah.  Lerres seedebuawain bik Alm. Budi Darma, penoles sebegus jiah penoles jiah noles sesuai cara abentanah dibik, jek norok apah se-caeeng oreng, ben rok norok!

Terjemahannya: bahasa yang pantas digunakan buat karya tulis, ilmiah atau bukan ilmiah, perlu menggunakan bahasa sesuai dengan bahasa kelahirannya. Sesuai apa yang dikatakan oleh Alm. Budi Darma, penulis yang baik itu, menulis sesuai dengan penggunaan bahasa (penutur), jangan ikutan apa yang dibicarakan orang, ikut-ikutan.

Kedua bahasa di atas, bahasa Madura diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Mengapa orang-orang kita jarang menulis karya dengan penggunaan bahasa ibu, kalaupun ingin dikembangkan ke ranah lebih luas. Kalaupun dalam bahasa daerah digunakan serta punya wadah lebih luas pembacanya.

Bahasa dan sastra akan menjadi umum dan akan memberikan sebuah keluasan dalam memiliki pasangan menggunakan bahasa. Bahkan arsip untuk mengawetkan sebuah karya lisan akan punya kekuatan membuka ruang hidup lebih luas. Sehingga bahasa akan menjadi medium paling ideal menampilkan hidup sederhana.

Secara fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, komunikasi yang nanti bisa dijadikan sebuah kajian sebagai representasi dari apa yang ada diamal; hati atau raga. Namun tidak akan punya cara paling ideal dalam penggunaannya kecuali si pengguna mampu mengaplikasikan konteks penggunaan maksim bahasa. Atau seorang pandai dengan ilmu pragmatik dalam linguistic. Mungkin. 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar