Hipersastra merupakan pandangan yang
memberikan tanda mengenai sesuatu yang berlebihan mengenai sesuatu. Walaupun
kadang berlebihan dampaknya, positif atau negatif selalu eksis. Apalagi
membicarakan sastra, yang setiap zaman selalu asik dan penting dikaji dalam
culture studies.
Saat membaca majalah Bobo, yang terbit
tahun XXVI, 14, Januari 1999, dengan topik utama “Keriput Empuk” secara umum,
majalah tersebut berisi cerita anak, berita anak, cergam, dan puisi anak.
bahkan secara kebahasaan yang kental dengan bahasa--yang sangat kental secara
substansi ini, fokus pada pembahasan karya khusus anak.
Relevan karya sastra tersebut, masuk ke
pembahasaan nilai-nilai sastra anak. Akan tetapi, substansi isi majalah
tersebut beragam mengenai isi. Jika diperhatikan dari setiap penulis di
dalamnya, tidak hanya anak-anak yang mengisi rubrik-rubrik dalam majalah
tersebut, namun ada juga orang dewasa bahkan orang tua. Hal ini tentu akan
menjadi sebuah problem kacil. Karena anak tidak ingin digurui melalui lisan
maupun tulisan, karya sastra sebagai wadah paling ideal.
Memaknai sastra, tentu akan mengingat
dengan empat konsep; realitas sosial, pembaca, teks, dan penulis. Batasan
tersebut secara fokus membahas sastra secara luas—yang perlu dispesifikkan.
Bahwa empat konsep tersebut akan menentukan konvensi mengenai jenis-jenis
sastra. Sastra anak pun, akan menjadi pembahasan paling menarik di masa-masa
sekarang ini. Sebab sudah terlalu banyak karya sastra anak.
Sastra selalu menjadi perbincangan yang
menarik di setiap zaman, apalagi diperluas lagi dengan kata “sastra”
disandingkan dengan kata “anak.” Jadi frasa “sastra anak,” bahkan ada pula
jenis gabungan dengan kata lain, sastra menjadi beragam bergabung seperti kata “dewasa”
akan menjadi frasa “sastra dewasa.” Apakah semua itu dapat
diklasifikasikan dalam bentuk kategori yang paten. .
Sastra menurut Lukens (2003:9)
menawarkan pandangan yaitu, ada dua hal utama; kesenangan dan pemahaman. Di
tangan pembaca, karya sastra paling sederhana memberikan hiburan yang
menyenangkan. Sehingga sastra akan menawarkan cerita menarik, mengajak ke dunia
fantasi, membawa pembaca suatu alur kehidupan yang penuh dengan daya suspense,
daya menarik bagi pembaca untuk ingin tahu dan merasa terikat karenanya,
“karena memainkan” emosi pembaca sehingga larut ke dalam arus cerita, dan
semuanya dikemas dengan bahasa yang dimainkan sehingga menarik.
Adapun, dalam sastra anak tentu
berfokus dengan pada penciptaan karya. Serta apa yang akan disampaikan atau
dapat dikaji dari segi kebahasaan seorang dewasa membuat karya sastra. Karya
sastra anak yang dibuat oleh orang dewasa apakah akan bisa memfungsikan karya
sastra anak sebagai media paling baik memberikan dedikasi kepada anak-anak
melalui sastra.
Sastra anak, secara etimologi dapat
dikatakan hyper sastra. Sebab secara bahasa yang digunakan secara dalam
teks memperhatikan pada bahasa. Bahkan untuk masuk ke ruang lebih luas lagi
penggunaan bahasa berlebihan. Bagaimana sastra sebagai alat semata, isinya
terletak pada ide penulis karya sastra, menjadi sempit dengan sebutan “sastra
anak.”
Menurut Stewig (1980:18-20) menegaskan
mengapa anak diberikan buku bacaan sastra adalah agar mereka mendapatkan
kesenangan. Sehingga anak-anak pada dasarnya memerlukan banyak hiburan. Bukan
hanya pemahaman-pemahaman--yang diterima, melainkan sebuah tempat bermain yang
nyaman: di sekolah.
Makna kata “sastra” dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kata-kata, gaya bahasa yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan
bahasa sehari-hari). Makna tersebut dapat dikatakan sangat sempit dalam sastra.
Karena sastra tidak hanya membicarakan tentang keindahan pada teks kita, tapi
akan ada nilai lebih dari itu semua terdapat karya sastra, terkandung.
Hipersastra dapat diartikan dari suatu
hal yang berlebihan dalam makna bahasa Indonesia. Sehingga berlebihan
dari sastra akan punya dampak positif dan negatif secara makna. Jika selalu
berlebih akan sastra akan memiliki ruang sempit, sehingga perlu adanya
patokan-patokan yang objektif dari setiap tokoh yang berpendapat mengenai
pendekatan karya sastra.
Jika, hipersastra ini dipandang dari
segi kata “kesusastraan” tentu bersyukur Indonesia jika kata tersebut digunakan
akan punya makna lebih luas. Karena tidak hanya membicarakan tentang gaya
bahasa melainkan sebuah teks yang mengandung nilai instruksi atau pedoman. Maka
sastra yang berasal dari kata dasar śās- atau asas- yang berarti
mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi, dan tra yang berarti
alat atau sarana. Sangat penting serta perlu diajarkan sastra anak sejak dini.
Penulis menulis cerita anak--yang dapat diterima oleh setiap kalangan.
Sastra anak merupakan simbol yang lahir
sebagai nama, karena dapat dikatakan simbol di bumi salah satu dari kerja
bahasa “berlebihan,” yang dibangun oleh konstruksi masyarakat untuk menyuarakan
sastra anak. Sehingga secara tidak langsung berulang-ulang, menjadi sastra
anak: dan ternyata eksis dan dibutuhkan.
Dalam membahas sastra anak, tentu
berfokus pada bahasa pada penciptaan karya. Jika nilai-nilai terkandung di
dalamnya punya nilai yang berbeda dengan apa yang ada di dasar karya. Dengan
bahasa yang sederhana tersebut kita dapat memberikan pandangan lain, mengemas
sastra dengan dasar-dasar yang khusus. Sastra anak, akan punya nilai: 1)
kebahasaan heterogen (tanpa ada bahasa istilah-istilah). 2) menentukan
nilai-nilai yang akan dikemas ke dalamnya.
Jika sastra anak menampilkan
nilai-nilai karakter disampaikan dengan jenis-jenis sastra berbeda. Maka akan
memilih sastra novel, cerpen, dan puisi. Jenis tersebut juga direduksi kembali,
menjadi jenis; novela, cergam, dan puisi pentigraf. Ragam ini menjadi wadah
atau kendaran menampung ide penulis untuk dilemparkan kepada pembaca.
Seorang bocah-bocah ketika membaca
karya orang dewasa secara nuansa serta cara menyampaikannya terkadang
keluar dari konteks hidup mereka, itu sepertinya menjadi problematik pada anak
sebagai pembaca. Hingga batasan paling signifikan akan sastra anak itu, tidak
akan punya batasan secara luas yang ditulis oleh orang dewasa. Hal tersebut
akan senantiasa dirasa oleh anak, secara tidak tersirat maupun tersurat.
Pada judul cerita berjudul
“Laguna Sihir” karya Lena D. kelahiran 1984 menulis cerita yang dapat dinikmati
oleh orang dewasa. Cerita yang diambil potret masyarakat yang tidak hanya
kehidupan manusia perlu diperhatikan, tapi perlu manusia memperhatikan makhluk
hidup lainya, seperti hewan di sekitarnya. Dalam hal tersebut tentu perlu
ditawarkan kepada anak sejak dini.
Maka secara tidak langsung sastra akan
tetap menjadi media alternatif untuk menanamkan nilai-nilai karakter kepada
anak sejak dini. Dengan karya-karya sastra--yang menarik serta unik akan lebih
baik jika penulis menyisipi nilai-nilai agama, budaya, tradisi, dan sosial.
Dimunculkan dalam karya sastra baik secara narari maupun secara dialog
tokoh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar