Selasa, 23 Juli 2019

Aku Bukan Penulis Tapi Ingin Jadi Penggaris

gambar; diambil di
Griya Pelangi Sastra
Malang (akhmad)


Dalam sebuah peristiwa aku renungkan dalam gelapnya malam dan pada saat pagi bersama dengan matahari terbit. Setelah itu aku sudah tidak membicarakan tentang hari kemarin. Bagiku hari ini sesuatu hal paling pasti yang patut di gerogoti sampai nanti keadaan dan nadi memahami diri. 

Ia memang sudah tidak pernah menanyakan tentang kenyataan. Saya hanya menuliskan. Ketika berbicara tentang aku pada saat gelap bercerita, diriku pada saat ramai dengan keadaan paling sepi menuliskan beberapa sajak puisi. Bukan sekedar mengabadikan sebuah peristiwa namun nimbulkan cahaya baru dalam gelapnya peristiwa tersebut, jika memang masih menjadikan peristiwa hal paling istimewa. Menulis cara paling sunyi mengabdikan setiap kesepian pada kata yang dirangkai pada satu frase, klausa, kalimat, dan bahkan menjadi sebuah paragraf. Pada sebuah paragraf tidak berhenti terkadang masih terus mengabdi dan menjadi satu pembahasan luas, menjadi narasi aktif atau pasif semua bentuk dari tugasku merangkai menemukan peristiwa baru sebagai fiktif atau fakta dalam tulisan itu persembahkan. Untuk mencapai itu semua sebuah kerja keras bagiku karena merangkai kata tidak hanya perlu penguaasa huruf bahasa Indonesia yang terdiri dari 26 huruf. Membaca buku bukan hanya baca buku teori namun non teori yang diperlukan juga. Kalau bicarakan dari disiplin ilmunya bukan hanya dua yang harus menjadi dasar melainkan dari Sejarah, Filsafat, Sastra, dan bahkan ilmu alam dan saintek harus sedikit banyak tahu hal. 

Kehidupan bukan hanya hanya bisa ditangkap dengan disengaja atau bahkan tidak disengaja. Semua ada dalam naluri bukan ada pada logika. Logika ada kerana sebuah peristiwa materil dikesat mata. Memaksaku kadang berpikir panjang bagaimana sebuah peristiwa tejadi secara kesat mata ingin dicari pembuktiannya. Bagiku asumsi sederhana untuk bisa diterima dan menerima hal tersebut, hanya bagaimana manusia memaksa dan menggali dengan pisau galian itu sendiri. Sains akan tercipta dengan sebuah fakta lalu tercipta teorinya. Yang tidak lain dan tidak bukan harus di bukitan secara esperimen. 

Humaniora akan menjadi disiplin ilmu yang dapat kita klarifikasi dengan sebuah statis dan relativ. Realisme magis akan terjadi dari sebuah kehidupan yang tidak kita sengaja dan kadang hadir dengan sebuah peristiwa sederhana. Meminum susu tumpah dan tumpahnya itu memberikan sebab terjadinya peristiwa besar bagi kehidupan kita, semut yang pada musim kemarau sulit mendapatkan makanan simpanan sudah tidak ada maka dengan tumpahnya susu Itu seperti ada banjir hikamah Tuhan dilimpahkan tanpa disiasati. Peristiwa kedua kadang manusia jatuh gara-gara tumpahan susu itu, seorang bayi yang melintas tanpa sadar membuat ia terjatuh dan menjadi anak yang gagar otak, walaupun normal kwatir tidak sempurna dalam berpikir karena terjadi benturan. 

Bagiku hari ini hanya menjadi hari paling berarti bagi yang memaknai sunyi itu dengan sebuah tindakan keramaian. Memanjakan rasa dengan begitu sempurna menggali sebuah rasa untuk dijadikan puisi dan jika itu akan menjadi penghalusan diri mengenai pengabdian pada keabadian mungkin pikiran paling dangkal berbicara makna dan arti dari mana datangnya semua jika keabadian tidak memberi estetika pada masa. Terlalu muskil memberikan sebuah sublimasi yang menjadi transenden. Semua ada dalam jiwa dan laut, alam, dan langit. Tidak akan bisa kehabisan dalam satu peristiwa masih menyimpan banyak kearifan yang dapat dipersembahkan. 

Apa yang terjadi menjadi sebuah persembahan. Pada yang utama, kedua, dan ketiga. Semua itu ada pada cara bagaimana kita membawa dan mempersembahkan sebagai peluasan Imajinasi, inspirasi, dan Ilahi. Semua akan ada dalam sebuah peristiwa paling bahagia cita-cita dari cerita dalam lakon hidup yang tidak hanya ada dalam dinamika namun akan ada dalam kehidupan jiwa manusia.

Akhmad 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar