Selasa, 16 Juli 2019

Literasi dan Revolusi

Foto: pada saat diskusi pagi
 toreh maos sambil menikmati kopi
(Gambar: akhmad)


Tadi ada teman menanyakan dan sekaligus seperti bahasa menyalahkan.  "Mengapa kamu lakukan hal seperti ini membuka baca gratis, yang kurang bermanfaat setiap senin. Tidak capek atau seperti apa kok seperti tidak pernah peduli dengan dirinya."

Saya hanya menjawab pertanyaanmu membuatku tambah menemukan arti cinta dalam literasi; bagiku ini caraku memperhalus perjuangan. Bukan sekedar membawa dan mendapatkan upah, atau ingin dipuji, bagiku belum ada yang memuji seperti pertanyaan dan ungkapan salah satu mahasiswa mengenai apa yang saya lakukan. Bagiku hal ini bentuk kesengan pembeda dari pekerjaan lainya."
"Kamu malukan hal yang kurang bermanfaat setiap senin membuka wahana Baca Gratis. Tidak capek atau seperti apa kok seperti tidak pernah peduli dengan dirinya."
Saya tidak akan mengulang menjawab pertanyaan itu lagi. Bagiku hanya dengan seperti ini bisa berkumpul dan setidaknya ada dedikasi dalam diskusi tanpa disengaja di meja tanpa arti bagi ia yang selalu menanyakan manfaat materil.

M. Aan Mansur penyair dan penulis dari Makasar. Dalam esainya bahwa literasi itu kerjaan manusia yang memanusiakan manusia (humanis), maka untuk berbicara mengenai revolusi kita harus simpan terlebih dulu ketika kita sudah bisa membuka kata literasi. Literasi dan revolusi dua kegiatan Imajinasi dan aksi.

Dari mana akan memulai hal ini mengenai kedua ranah tersebut tidak lain tidak bukan ini salah satu bentuk kodrot yang ada dalam diri manusia sadar akan intelektual sebagaimana bisa membawa pada ranah-ranah paling sublim ketika bisa menulis. Walau ada yang mengatakan kalau karya bentuk sampah dari hasil pemikiran yang kadang menjadi pembohong dari sebuah pemikiran paling luas dan mulia. Paling penting yaitu membuka ruang baru dari apa yang dicari ditemukan dalam tindakan paling nyata bukan hanya hadir dalam sebuah karya terkadang lebih mulia daripada sebuah realita.

Membaca bentuk tugas bagi manusia menemukan segala peristiwa, jika membaca Kitab Suci akan memperdalam aqidah akhlak, keyakin terhadap Tuhan, dan menjadi manusia yang rahmatallilalamin. Karena dalam surat Al-alak memberi tugas kepada untuk membaca, dan ketika tarik lebih dalam interpretasi dari surat perintah itu. Membaca tidak ada kejelasan apa yang harus dibaca, namun anjuran ummat untuk baca. Ketika berbicara mengenai kata 'baca' tentunya banyak ketika ingin pahami. Bagi yang kaum nyinyir mengenai baca semua yang ditangkap oleh mata itu proses membaca juga katanya. Paling menjenggelkan katanya baca status WA bagian dari Ikrok. Secara harfiah mungkin ia benar, tapi secara esensi tarik lebih dalam bukan hanya terletak pada baca tapi lebih pada hasil dari baca dan menemukan tindakan signifikan dalam positivistik diranah sosial, paling sederhana dalam diri untuk lebih mulia akan kemanusian, ke-Tuhanan, dan Isi alam lainnya.

Karena tugas manusia hanya baca jadi untuk menulis tidak menjadi bagian kewajiban kita. Menulis hanya bonus dari membaca dan untuk bisa membuka kebaruan melebur ke dunia tulis itu akan menjadi peradapan baru baginya. Sebab proses ini bukan sekedar memahami tapi mendalami apa yang terjadi dan menggugah kesadaran serta kekuatan memperhalus perasaan. Ketika logika sederhana ketika kita mencoba masuk pada apa yang kita tulis disitulah ada nilai yang tidak akan ditemukan oleh para kreatifitas lainnya. Menyadarkan diri sendiri dengan menulis jalan paling baik bukan menjadi followers mashab kebaikan, dalam taraf sederhana tidak masalah hal itu kita diamalkan, namun pada taraf selanjutnya mungkin bukan hanya terletak serta stagnan di sana membuat sempurna mengikuti namun menemukan sebuah transenden yang sublim.

***
Katika berbicara mengenai literasi bukan hanya mengacu apa yang dicari bahkan dalam tulisan Aan Mansur mengetakan bahwa dalam proses ini manusia melakukan kekerasan bukan untuk merebahkan kehidupan yang enak, atau sebuah kebahagian. Bicara literasi kata revolusi disingkirkan lebih dulu agar tidak mengganggu apa yang menjadi kerja hati.

Dari mana revolusi terjadi dari bacaan yang telah hidup dalam kebiasaan. Membuka buku memahami segala teks yang dipersembahkan penulis pada setiap pembaca, bahkan pembaca kadang membedakan mana yang moralitas dan kreatifitas mengenai isi buku. Rovolusi terjadi Karena tingkat Literasi manusia kuat. Revolusi tanpa literasi seperti merebahkan badan di halaman luas yang panas. Bahkan paling berbahaya seperti mata pisau tanpa pelindung tutupannya berada di punggung sebagai (sekeb) dalam bahasa madura, yang memiliki arti bahasa Indonesia pisau sebagai lapisan keberanian diri ketika berjalan sendiri. Soekarno, Hatta, Syahir, dan bahkan Tan Malaka. Mereka membuka hati mencipta revolusi terjadi sebelumnya para pendiri bangsa tidak meninggalkan budaya kedua itu yang disebut dengan "Literasi". Retorika mereka bukan belajar berbicara ketika mendengar mereka bicara namun mendakatkan jiwanya pada proses serta praktik-praktik literasi, khususnya pada baca. Menjadi kewajiban.

Membaca bukan sebuah kebanggaan bagi bagian orang bahkan menggap akan menjauhkan dari peradapan. Jika hal itu memang bisa dirasakan dan bahkan menjadikan kita yang biasa orang asingkan atau mengasingkan untuk menyelesaikan buku bacaan. Peradapan besar karena para penduduknya akan senentiasa membaca mengembara pada setiap teks yang berkisah tentang sejarah, ilmu pengetahuan, dan tentang nilai keagamaan. Sehingga membaca membuka ruang apa yang menjadi kebutuhan diri. Untuk memakan tidak semua harus dimakan kecuali makanan itu jamu dan membuat kita sehat. Buku pun seperti itu baca kala hal itu membuat kita lebih bijaksama.

Semoga bukan hanya berhenti ditulisan dengan kata-kata estetik namun kramat menjadi antik dalam laku bagi calon penulis bahkan yang masih belajar menulis dan mencoba mencintai baca.

Akhmad
Gasebo Unisma pada saat di toreh maos tanggal 15, Juli 2019 tentunya pada saat UAS Unisma baru pertama kali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar