Selasa, 09 Juli 2019

Lokalitas Karya Raudal Tanjung Banua


gambar:Antonsusanto/Kompas

Cerpen Terbaik Kompas 2019 Raudal Tanjung Benua berjudul Aroma Doa Bilal Jawad

Cerpen ini merupakan karya yang dapat anugerah terpilih cerpen terbaik versi Kompas. Pengumuman yang beberapa hari lalu telah ditetapkan. Raudal Tanjung menyabet penghargaan pemenang versi Kompas nomor satu dan diposisi dua ada Penulis asal Makasar Faisal Oddang.

Kajian ini akan mendalam cerpen karya penulis yang juga aktiv menuliskan karya di media massa. Apakah akan ada pembeda karya yang di media dengan yang tidak. "Tentu beda", sebab yang paling sederhana pembeda dari kata yang dibatasi oleh redaksi, tentunya akan diberi batasan dalam mengesplorasi cerita.

Dalam dunia cerpenis atau Kesusastraan di Indonesia karya mereka tidak asing bagi kita, di media atau di luar media. Karya yang memiliki kelebihan dan kekurangan,  dengan perspektif penilaian tersendiri. Namun pada pembahasan kajian rutinan setiap Senin di 'mengaji kata' kali ini kita membahas karya Raudal Tanjung Benua terlebih dulu, bukan pilih kasih dan membedakan karya terbaik dan yang tidak, tentunya hanya ingin mengawal kali ini dengan karya tersebut, dan untuk selanjutnya akan bahasa punya Faisal Oddang.

Karya yang berjudul 'Aroma Doa Bilal Jawad' hasil pembacaan ini, merupakan karya paling kesekian banyak karya Raudal, walau tidak begitu banyak saya baca salah satunya pernah baca 'Carita Kecil tentang Jalan Masa Kecilku' dalam Kumcer terbaik Tempo 2017. Sebenarnya tidak asing ketika seorang Raudal menulis tentang lokalitas.

Karya dibuka dengan sebuah narasi yang begitu memukau di paragraf awal berbunyi: "Apakah doa punya aroma? Setiap kali pertanyaan ini datang menggoda, aku akan teringat seorang tukang doa yang setia di masa kecilku. Entah mengapa, tiap kali mengingatnya, lafaz doa serasa bangkit bersama aroma yang membubung dari hidung ke dalam batin".

Paragraf kedua bercerita tentang sosok tokoh, yang dijelaskan dengan tokoh memiliki peran aktiv di masyarakat sebagai seorang pendoa. Dan memiliki  kedudukan posisi paling sentral dalam menghidupkan penceritaan dalam cerpen Ini. Dan sekaligus bisa menjadi seorang penggerak cerita, meminjam bahasanya Mario Vargas Ilosa paling sentral narator yang menghidupkan narasi dan sebagai penjaga cerita.

Cerita yang sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari diangkat dalam cerpen Ini, tidak lain tidak bukan mengenai seorang tokoh masyarakat yang menjadi seorang pendoa. Cerita ini menjadi aroma baru bagi yang hidup di kota, bagi yang hidup di pedesaan tidak akan menjadi hal baru karena hal tersebut sangat dekat khususnya bagi kuam yang suka membakar kemenyan setiap malam jumat, dan mempercayai dengan makhluk yang sudah meninggal masih ada di dalam kehidupan kita walau tidak kesat mata.

Namanya 'arebbe' dalam Bahasa Indonesia sesaji yang dikhususkan pada arwah yang sudah meninggal, namun tidak hanya menyajikan tapi juga diiringi dengan doa-doa yang begitu baik, bagi islam yang merokok dan sholat shubuh gunakan kunut, bagi yang tidak mungkin hal tersebut menjadi asing. Cerita yang ada di masyarakat sangat kental ini tidak hanya ada dalam suatu daerah tertentu, bukan hanya ada di Madura, Jawa, Makasar, Kalimantan, dll. Digambarkan oleh Raudal tidak hanya pada sebuah wilayah tertentu namun ini menjadi hal lama tapi sekarang seperti baru bagi kehidupan sekarang, bagi yang mengenal namanya 'Rebbe'. Namun rebbe berbeda dengan sesaji yang biasanya diletakkan di tempat-tempat angker yang dipercayai oleh masyarakat tempat ada penunggu di sebuah pohon besar, rumah kosong, dan bahkan laut selatan terkenal dengan penunggunya.

'Rebbe', akan disandingkan dengan doa tujuan yang mulia bedampak kebajikan, tidak ada keburukan. Nilai kebaikan akan terpancar melalui doa sebagai dasar manusia berbicara dengan sebuah nilai akan materialnya. Esensi darinya ada pada metafisika lokalitas pengangkatan tentang doa seorang Jawad dititahkan oleh masyarakat diakui, bukan mengakui.

Tokoh seorang jawad bentuk representasi dari kehidupan tokoh masyarakat yang senantiasa mengabdikan diri pada rakyat yang mengambri doanya. Hal ini dibuktikan pada paragraf ke-2, dalam teksnya berbunyi "Iya setia mendatangi kami pada hari baik bulan baik". Kepercayaan itu dijaga olehnya sehingga ia diberi kepercayaan titah sebagai pendoa di kampung.

***

Kritik dari kehidupan sekarang ketika mencoba dalami titimangsa dari cerita ini, merupakan kritik terhadap hal sepele yang akhir-akhir ini tidak digunakan lagi di lingkungan kita. Realitas menjadi kekuatan di era sekarang sehingga logika menjadi penentu hakim paling bijaksana, hal itu tidak akan ada dalam cerita ini secara gamblang menemukan meterialnya kecuali praktik kemanusian atas pemberian kepada Bilal Jawad bentuk hidangan kepada orang yang berdoa. Jika menelisik lebih dalam bentuk paling segnifikan hanya terletak pada silaturohmi mengenai kedekatan masyarakat dengan para kiyai yang tidak memiliki sekat begitu tinggi stratanya.

Kiritikan yang kedua Raudal Tanjung Banua ada pada era modernisasi, mengenai kiayi-kiyai yang baru dibuat bahkan ditokohkan oleh banyak orang mengenai kemampuan menguasai hadist dan popular. Namu tidak melihat apa yang menjadika dirinya seorang kiyai atas titah rakyat atau dari Youtube yang banyak mengikuti atau pemutaran ceramahnya begitu banyak yang menonton, hal itu menjadi hal kebajikan dalam konteks paling sederhana, dalam konteks mahiran dan orang-orang dulu mengutakan tirakat begitu serius sehingga bukan hanya kemampuan berdakwah dengan menebarkan kebaikan, namun juga dengan spritualitas tingkatan beragama menjadi baromiter ada dalam jiwa besar yang bijaksana. Memahami agama islam bukan hanya terletak pada syariat yang bisa dikatakan bentuk dasar agama Islam. Namun kita kenal yang namanya empat tingkatan: 1. Syariat, 2. Tarikat, 3. Hakikat, dan 4. Ma'rifat. Sehingga dalam praktik beragama memiliki kelihaian menjadikan setiap moment bukan gerak dirinya. Hal ini dibuktikan dengan seorang Bilal Jawad selalu membawa keminyan karena dalam narinya mengatakan selalu mengantisipasi ketika tuan rumah lupa akan membakar pewangian ia membakarnya sendiri apa yang dibawa itu (kemenyan). Bagi saya itu bentuk dari seorang tokoh Bilal Jawad.


Akhmad 2019
Gasebo FKIP Unisma diskusi rutinan 'mengaji kata' setiap Senin. Mari diskusikan karena ini bukan menjadi pemahaman utama yang dibenarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar