budaya jawa.com |
Di dalam
berbahasa di Jawa memiliki edukasi yang berharga, serta memiliki pembeda dengan
Negara-negara lain, tatakrama dalam berbahasa memiliki nilai moral estetika dan
etika yang harus dilestarikan, karena sebagai kearifan lokal budaya Jawa dalam
aktualisasi berbahasa Indonesia, sebaiknya mencoba melakukan hal yang benar, pada saat yang benar.
Ferdinand
De Saussure Mengemukakan
bahasa sebagai ciri pembeda yang sangat menonjol, karena dengan bahasa setiap
kelompok sosial merasa dirinya sebagai satu kesatuan yang berbeda dari kelompok
yang lainnya. Bahasa sebagai kata
yang mudah bagi manusia dewasa, namun harus dipelajari, karena tanpa
mempelajari tidak akan bisa manusia berbahasa, katika manusia tidak
memfungsikan bahasa, maka manusia akan sulit berinteraksi dengan manusia, serta
akan diasingkan dari kelompok manusia, karena bahasa sebagai pembeda dari
makhluk hidup yang lain berada di bumi. Karena
bahasa bukan warisan, sifat bahasa non-instingtif, maka manusia perlu
mempelajari bahasa, agar menjadi manusia yang berbudi dalam berbahasa. Untuk
mengaktualisasi dalam bentuk etika berestetika. Serta bisa menjadikan bahasa
sebahgai pelajaran berharga untuk membentuk karakter diri kita sebagai manusia,
sebelum masuk ke dalam ranah moral yang beretika manusia yang dapat diterima
oleh manusia, membenahi bahasa itu penting untuk berinteraksi ketika
menggunakan bahasa.
Plato Menjelaskan
bahwa bahasa pada hakikatnya ialah suatu pernyataan pikiran seseorang dengan
perantaraan nama benda atau sesuatu dan ucapan yang merupakan cermin dari ide
seseorang dalam arus udara lewat mulutnya. Sebenarnya sangat mudah manusia
melakukan berbahasa terutama dalam bahasa lisan, penggunaan lebih simple serta
lugas, ringkas dalam mengaktualisasikan bahasa. Lebih sulit dalam berbahasa
tulisan lebih sistematis dan gramatik. Serta mengerti konteks dalam berbahasa
itu penting, perlu dalam berbahasa membiasakan berpikir terlebih dahulu, untuk
dapat memahami terlebih dulu budidaya lawan bicara,. untuk bisa menjadi manusia
yang selalu hati-hati untuk serta bijaksana dalam menempatkan dirinya. Ada
istilah pribahasa kuno yang sangat memberikan edukasi sangat berarti ketika
sebagai manusia mampu mengaktualisasikan, dalam kehidupan kesehariannya.
Mulutmu adalah harimaumu.
Maka jagalah bahasamu dalam setiap berucap. Karena bahasa
dapat memberikan konflik besar dalam kehidupan kita, ketika berbicara tidak
miliki penalaran visioner, maka terkadang yang datang akan mengandung
ambiguitas dan menimbulkan fitnah (bohong),
sedangkan fitnah bukan hanya berupa
tindakan radikal yang merugikannya, dengan ilat
(mulut), kadang alat ujar menjerumuskan manusia pada jurang-jurang
kegelapan yang membahayakan, yang kadang lahir yang namanya fitnah, dalam
Al-qur’an diperjelaskan bahwa fitnah itu lebih kejam, daripada membunuh
(Al-Baqaroh:191).
Refleksi patut kita arahkan pada darma-darma kebudayaan Jawa,
yang dapat diteladani segi berbahasa dalam mengaktualisasikan bahasa. Bahwa
dalam berbahasa juga memiliki adat, berbahasa di jawa khususnya, ketika
berbahasa dengan orang yang lebih dewasa, ada etika untuk menujukkan rasa hormat
kepada sesama manusia yang lebih dewasa, maka akan ada bahasa-bahasa kromo
inggil untuk berbahasa dengan etika untuk melahirkan estetika berbahasa. Ketika
berkontemplasi sejenak, edukasi besar dari segi moral, beretika, estetika
berbahasa lebih mulia melahirkan etika pada tindakannya. Sesungguhnya penerapan
konteks berbahasa sangat indah jika hingga akhir-akhir zaman ini masih
diterapkan oleh kaum-kaum muda khususnya, di jawa dan warga Indonesia dengan
harapan setidaknya budaya sendiri tidak luntur. Latihan diri untuk saling
menghormati dan mengahargai sesama manusia, karena secara signifikasi budaya
jawa masih relevan dalam aktualisasi berbahasa, walau terjadi pencampuran
budaya, dengan aktualisasi budidaya dengan bahasa yang terus dilestarikan, maka
budaya sendiri akan tak akan tercerai dari kebiasaan kita, Dengan cara
membiasakan sesuatu hal baik, ketika biasa dilatih, maka akan melahirkan
sesuatu kebiasaan yang baik pula, begitupun sebaliknya.!
Metode merawat kearifan lokal, bisa belajar ke Negara Jepang
dalam bukunya Joy Hendri Wrapping
Culture, menjelaskan dalam melakukan segala sesuatu di Jepang membiasakan
segala sesuatu dengan yang sederhana. Contoh dalam kebiasaan warga Jepang dalam
aktivitas yang tidak sakral pun, atau yang sakral, dalam kegiatan formal atau
non-formal, pada saat meminum Teh, Pertemuan antar teman, Belajar Mengajar,
dalam acara-acara sederhana, dalam menyambut tamu resmi, serta cara memberikan
kado. Dalam hal itu semua tidak semerta-merta meninggal, kehidupan social,
tidak asal-asalan, untuk melakukannya. Walaupun hal itu termasuk hal yang
biasa, dalam hal itu di Jepang tidak meremehkan membiasakan hal kebaikan,
sebelum melakukan kegiatan membiasakan bagaimana kelayakan, kesopanan, serta tradisi itu semua dapat dilakukan terlebih
dahulu. Ketiga itu sebagai simbolis saling menghargai,
menghormati, serta membiasakan diri dengan tradisinya, membudayakan dalam
rutinitas sederhana. Maka kesadaran warga
Indonesia masih belum terbuka dirinya untuk membudayakan kearifan lokal kita
yang menjadi jati diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar