Senin, 12 Maret 2018

Berbahasa Dengan Budidaya Jawa

budaya jawa.com


Di dalam berbahasa di Jawa memiliki edukasi yang berharga, serta memiliki pembeda dengan Negara-negara lain, tatakrama dalam berbahasa memiliki nilai moral estetika dan etika yang harus dilestarikan, karena sebagai kearifan lokal budaya Jawa dalam aktualisasi berbahasa Indonesia, sebaiknya mencoba melakukan hal yang benar, pada saat yang benar.
Ferdinand De Saussure Mengemukakan bahasa sebagai ciri pembeda yang sangat menonjol, karena dengan bahasa setiap kelompok sosial merasa dirinya sebagai satu kesatuan yang berbeda dari kelompok yang lainnya. Bahasa sebagai kata yang mudah bagi manusia dewasa, namun harus dipelajari, karena tanpa mempelajari tidak akan bisa manusia berbahasa, katika manusia tidak memfungsikan bahasa, maka manusia akan sulit berinteraksi dengan manusia, serta akan diasingkan dari kelompok manusia, karena bahasa sebagai pembeda dari makhluk hidup yang lain berada di bumi. Karena bahasa bukan warisan, sifat bahasa non-instingtif, maka manusia perlu mempelajari bahasa, agar menjadi manusia yang berbudi dalam berbahasa. Untuk mengaktualisasi dalam bentuk etika berestetika. Serta bisa menjadikan bahasa sebahgai pelajaran berharga untuk membentuk karakter diri kita sebagai manusia, sebelum masuk ke dalam ranah moral yang beretika manusia yang dapat diterima oleh manusia, membenahi bahasa itu penting untuk berinteraksi ketika menggunakan bahasa.
Plato Menjelaskan bahwa bahasa pada hakikatnya ialah suatu pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan nama benda atau sesuatu dan ucapan yang merupakan cermin dari ide seseorang dalam arus udara lewat mulutnya. Sebenarnya sangat mudah manusia melakukan berbahasa terutama dalam bahasa lisan, penggunaan lebih simple serta lugas, ringkas dalam mengaktualisasikan bahasa. Lebih sulit dalam berbahasa tulisan lebih sistematis dan gramatik. Serta mengerti konteks dalam berbahasa itu penting, perlu dalam berbahasa membiasakan berpikir terlebih dahulu, untuk dapat memahami terlebih dulu budidaya lawan bicara,. untuk bisa menjadi manusia yang selalu hati-hati untuk serta bijaksana dalam menempatkan dirinya. Ada istilah pribahasa kuno yang sangat memberikan edukasi sangat berarti ketika sebagai manusia mampu mengaktualisasikan, dalam kehidupan kesehariannya. Mulutmu adalah harimaumu.
Maka jagalah bahasamu dalam setiap berucap. Karena bahasa dapat memberikan konflik besar dalam kehidupan kita, ketika berbicara tidak miliki penalaran visioner, maka terkadang yang datang akan mengandung ambiguitas dan menimbulkan fitnah (bohong), sedangkan fitnah bukan hanya berupa tindakan radikal yang merugikannya, dengan ilat (mulut), kadang alat ujar menjerumuskan manusia pada jurang-jurang kegelapan yang membahayakan, yang kadang lahir yang namanya fitnah, dalam Al-qur’an diperjelaskan bahwa fitnah itu lebih kejam, daripada membunuh (Al-Baqaroh:191).
Refleksi patut kita arahkan pada darma-darma kebudayaan Jawa, yang dapat diteladani segi berbahasa dalam mengaktualisasikan bahasa. Bahwa dalam berbahasa juga memiliki adat, berbahasa di jawa khususnya, ketika berbahasa dengan orang yang lebih dewasa, ada etika untuk menujukkan rasa hormat kepada sesama manusia yang lebih dewasa, maka akan ada bahasa-bahasa kromo inggil untuk berbahasa dengan etika untuk melahirkan estetika berbahasa. Ketika berkontemplasi sejenak, edukasi besar dari segi moral, beretika, estetika berbahasa lebih mulia melahirkan etika pada tindakannya. Sesungguhnya penerapan konteks berbahasa sangat indah jika hingga akhir-akhir zaman ini masih diterapkan oleh kaum-kaum muda khususnya, di jawa dan warga Indonesia dengan harapan setidaknya budaya sendiri tidak luntur. Latihan diri untuk saling menghormati dan mengahargai sesama manusia, karena secara signifikasi budaya jawa masih relevan dalam aktualisasi berbahasa, walau terjadi pencampuran budaya, dengan aktualisasi budidaya dengan bahasa yang terus dilestarikan, maka budaya sendiri akan tak akan tercerai dari kebiasaan kita, Dengan cara membiasakan sesuatu hal baik, ketika biasa dilatih, maka akan melahirkan sesuatu kebiasaan yang baik pula, begitupun sebaliknya.!
Metode merawat kearifan lokal, bisa belajar ke Negara Jepang dalam bukunya Joy Hendri Wrapping Culture, menjelaskan dalam melakukan segala sesuatu di Jepang membiasakan segala sesuatu dengan yang sederhana. Contoh dalam kebiasaan warga Jepang dalam aktivitas yang tidak sakral pun, atau yang sakral, dalam kegiatan formal atau non-formal, pada saat meminum Teh, Pertemuan antar teman, Belajar Mengajar, dalam acara-acara sederhana, dalam menyambut tamu resmi, serta cara memberikan kado. Dalam hal itu semua tidak semerta-merta meninggal, kehidupan social, tidak asal-asalan, untuk melakukannya. Walaupun hal itu termasuk hal yang biasa, dalam hal itu di Jepang tidak meremehkan membiasakan hal kebaikan, sebelum melakukan kegiatan membiasakan bagaimana kelayakan, kesopanan, serta tradisi itu semua dapat dilakukan terlebih dahulu. Ketiga itu sebagai simbolis saling menghargai, menghormati, serta membiasakan diri dengan tradisinya, membudayakan dalam rutinitas sederhana. Maka kesadaran warga Indonesia masih belum terbuka dirinya untuk membudayakan kearifan lokal kita yang menjadi jati diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar