Sabtu, 29 Juni 2019

Kenapa Ngopi Pagi "Usman"

foto: huawei

"Kopi dicipta Tuhan sebagai penyambung, pengikat, dan pembuka Persaudaraan, bahkan juga pengobat luka paling berarti bagi para kaum jomblo. Kopi sebagai teman sepi dan sebagai obat sepi."

"Ayo ngopi Bang. Aku merasa malu karena tulisanku dibahas di depan kelas, mata kuliah ini membingungkan disuruh buat cerita malah tidak diberi kebebasan, kita kan masih belajar!"
"Ayo, ngopi di mana?, sudahlah ia memang dosen yang kurang mendalami Sastra, bersyukur toh tulisanmu dibahas dan bisa tahu letak keselahanya."
"Kantin ajalah Bang, gimana?"
"Ehh, jangan di kantin terlalu ramai, di belakang Pascasarjana, tempat ngopinya orang kecil, harganya juga tidak mahal hehe,"
"Oke,,, ayo. Gimana pendapat Abang dosen tadi itu, yang gondol." sambil berjalan menuju ke belakang yang namanya kecewa Usman bergumam terus, seperti sudah tertempel dalam hatinya, diwajah Bapak Dosen itu ada silang merah.
"Sudahlah Man, ia itu dosen bahasa tidak terlalu tahu tentang Sastra bermaklumlah, karena kita ini mahasiswa dan kita harus tahu pula kita ini murid, boleh tidak suka tapi jangan sampai berlarutlah membenci, terpenting kita ngopi sekarang." bahasa yang mencoba dingin tidak terlalu lama membenci. Sambil senyum Maja padanya.

Kuliah sudah selesai ternyata ada yang berkensan, ketika berbicara tentang koreksi tulisan seorang mahasiswa bernama Usman. Mata kuliah yang mengajarkan kita kewirausahaan. Kadang kalau dipikirkan ada kejanggalan dengan mata kuliah yang satu ini, namun namanya juga sistem sebagai mahasiswa mengikuti saja alur asal berdampak kebaikan. Semua mahasiswa dan mahasiswi sudah berpencar tentunya ada yang mencari makan ada pula yang pulang. Kita berdua berbeda karena untuk mereda kedaan Usma emosi ngopi itu satu-satunya cara, Yang mungkin bisa membuat mendingan ataupun tidak sama sekali memberi efek.

Dari wajah yang tadi terlihat ketika menolek berbicara dengan temannya mahasiswi itu seperti tidak kosong memandangku, begitu pun sebaliknya. Usman berkata itu. Semua asumsi sudah melampaui batas imajinasi, mahasiswi itu seperti ada yang aneh, keluar lagi dal ingatannya dan hilang ketika kopi sudah di pesan dan memulai menyeruputnya.

"Enaaakkk, hanya seperti ini buatku lebih tenang." Senyum sambil memandang Maja.
Dari raut wajahnya terpancar sudah tidak ada rasa benci, kepada dosen tadi itu. Dan seperti biasa kembali lagi meminta pendapat kepada Maja. Ketika di depan tadi itu di permasalahkan, menapa bukan punya Maja. Maja merasa beruntung karena pas dikoreksi laptopnya tidak bisa menyambungkan ke proyektor. Dengan sruputan kopi dan gorengan itu dikira akan lupa akan semua, karena sadar kalau kopi dan gorengan sebagai teman paling setia dalal perut untung pengganjal. Berharap juga Usman lupa karena kopi dan gorengan merayu kita untuk meghilangkan rasa, kecuali rasa benci masih belum berdamai.

Butuh beberapa lama untuk bisa menghilangkan rasa benci Usman. Maja mencari cara, terik matahari karena waktu telah menunjuk pada pukul 9:46Wib. Atab langit di bawah bumi seperti tempat ini sangat begitu sempit. Duduk sambil berdiri di dapan roling dor toko sebelah, berdiri sambil berdiskusi mengiringi. Dari mana datangnya ide, tentunya dari Usman juga, walau emosi tapi selalu membuka diri untuk ada pembahasan ketika sudah ngopi. Kebiasaan itu seperti telah menjadi tradisi Ia yang memang banyak teman kontrakannya gemar berdiskusi dan membaca buku.
"Bagaimana pendapat Abang, tentang kebebasan Sastra?"
"Kebebasan Sastra ada pada pembaca dan pengaran atau penulis."
"Pendapat Abang bagaimana dengan Sastra yang dibatasi, seperti tadi kita suruh bercerita tapi cerita kita dibatasi dengan syarat-syarat tertentu, bahasa harus baku, baik, logis ddl. Lalu di mana kebebasan Sastra."
"Kekebasan itu, kalau ngutip apa yang istilahkan Kall Mark, kebebasan itu kebebasan yang harus kreatif, bukan kebebasan tanpa dasar dan tidak melakukan apa-apa, intinya kita bebes tapi juga bisa melakukan apa yang bermanfaat, itu istilah Mark. Mengenai tentang Sastra yang bebas, kita kaitkan pula Sastra memang bebes tapi harus memahami konteks kebebasan itu, keliaran berpikir positif atau negativ itu harus kita tahu. Dalam berpikir kita sangat boleh bebas, kebebasan berpikir terletak pada mana hasil kita melakukan atau menciptakan, kalau kita bahas Sastra kita luaskan dulu krangka berpikir, dalam berbarka kita bebas tapi hal itu kita harus tahu hukum kausalitas, sehingga ketika itu bisa diketahui maka akan lahirlah estetika yang terlahir dari esensi Sastra itu sendiri. Itu kita bahas kebebasan dalam Sastra, kita harus paham ranah apa yang menjadi relevansi hasil pemikiran kita ketika menjadi karya dan dibaca. Dalam Sastra juga kenal namanya struktur karena membahas tentang teks sangat sulit untuk bisa menceritakan melalui teks karena butuh memahami banyak kata agar terpadunya logis, maka kita perlu namanya bagaimana bisa menyusun kata menjadi frasa, klausa, dan kalimat panjang sehingga melebihi dari tiga kaliamat dan itu sah akan menjadi paragraf. Semua orang bisa berbicara cerita dengan penguasaan retorik yang baik akan bisa diterima oleh pendengar. Beda dengan menceritakan sebuah peristiwa melalui teks. Perlu penguasaan ilmu bahasa setidaknya paham menyusun kalimat sederhana dan menjadi kalimat panjang sebagai deskrripsi cerita, sehingga ada narasi yang suspensinya sangat membuat pembaca tidak hanya menangkap makna tapi bisa menemukan kata yang dianggap istimewa. Dan menjadi masalah ketika tadi dosen itu bahas tentang batasan menulis cerpen yang masih bahasanya dibatasi, kita sadar semua karya sastra malah lebih bebas tapi bebas dalam sturuktur penyusunan kata dan bahasa yang digunakan kita itu harus memperhatikan juga, agar apa yang ingin kita tulis mudah dipahami dan diterima oleh pembaca. Bagaimana kita bisa menjadi penulis hebat ketika kita tidak bisa menguasai penyusunan kata, itu yang kadang menjadi masalah kita yang ada dalam diri terkadang itu masalah tidak dianggap masalah, tapi kita ingin tahu ketika disalahkan tidak mau, bagaimana akan menjadi seorang yang bisa, kalau kebisaannya (kemampuan) tidak bisa diterima oleh banyak orang. Tetap kaidah kepenulisan dalam cerita digunakan agar ide cemerlang kita bisa diterima apa yang kita maksud pada karya kita, gitu Man."
"Iya Bang, tapi dengan seperti tadi itu aku donw, merasa malu." Dengan termangu sambil menghisap rokok Usman lebih tenag.

Wajah itu sudah hilang kencian melebur dalam kata dan bahasa panjang. Kopi serta rokok itu emosi seperti melabur ke dalam lalu hilang seperti kosong. Gorengan yang masih hangat sudah mendingin cerita panjang dari Maja seperti sedikit menunda. Dari mana datangnya inspirasi, kopi yang pahit atau rokok dengan asap putih yang mengebul lalu menghampiri otak keluar menjadi ide, lalu mencipta sebuah sesuatu yang berguna, guna dinikmati keindahannya atau sebaliknya. Semua bukan kita yang merasa tapi mereka yang mencipta makna tentang manusia, bahkan kita atau saya ini.

***
Dosen bahasa dan Sastra Indonesia seharusnya bisa lebih bijaksana. Bijaksana memberikan penilaian sebagaimana tidak bisa menyinggung hati dan mencipta luka, seperti halnya yang terjadi pada teman saya. Walaupu aku sadar kalau semua itu tidak patut juga meyalahkan dosen, mahasiswa pun perlu kita ketahui tidak semena-mena mejustifikasi, sebagai mahasiswa bahasa Sastra juga bisa lebih peka seharusnya karena sudah banyak membaca karya sastra. Tapi maklumi juga kita jiwa muda cara pandang berpikir seperti masih berapi-api memaknai tentang apa yang terjadi hanya rasio menghakimi dan coba menyelesaikan, naluri seperti jauh dari teman-teman Sastra.

Banyak dari teman Sastra namun ia hanya sebutan saja. Karena ketika bicara tentang sastra tidak bwrtanggungjawab atas dirinya. Buku Sastra yang seharusnya dibaca seperti sudah tidak diharaukan. Maka dosen yang selalu menganjurkan baca buku sesuai dengan kebutuhan kita, bagiku dosen terbaik. Apalagi ada yang sampe memberikan bukunya. Dosen itu sangat mendedikasi. Ketika Sastra sudah tidak disampaikan dengan baik oleh dosen kita, maka perlu kita membuka diri dengan membaca sendiri.

"Banyak teman Sastra tapi meninggalkan Sastra, contohnya ia tidak mau membaca karya Sastra, jan

Jangankan buku teori kadang karya sastra sedikit yang masih kita punya.

***

Usman kembali lagi membuat pertanyaan kepada Maja. Mahasiswa semester IV dan Maja yang tergabung di kelasnya karena harus mengulangnya, ia juga merendahkan kakak tingkat yang mengulang mata kuliah, menggap bahwa ia orang paling tidak baik. Walau nyata bisa dikatakan iya, tapi  tidak juga harus kita benarkan. Maja berpikir mengapa Usman mengajak ngopi ternyata ia ingin mengetahui latar belakangnya. Karena ia sendiri aktiv di Organisasi Ektra Kampus (Omek), ternyata ia juga kader terpenguruh di dalamnya. Serta teman-temannya juga menjadi kebanggaan Maja dalam pemikiraannya, serta kuatnya menekuni literasi baca tulisanya. Maja seperti tidak ada batasannya dalam menimbah air di sumur orang manapun asal itu air keluar dari sumber yang tidak bahasmya dan terutama jelas. Tidak segan untuk meminumnya jika membuat ia tidak haus. Sebab segala sumber dari segala sumber dari yang Satu. Kita manusia yang memiliki jiwa dan bisa membuka segala cakrawala dunia.

Ia menbuka pertanyaan lagi kepa Maja. Asumsi atas bukan fakta tapi masih asumsi tapi patut kita anggap postif karena hanya menyebutkan lembaga tanpa mencemari. Usman membuka dengan pertanyaan.
"Mengapa Abang suka Sastra?"
"Sastra ialah kehidupan yang memang harus kita pahami dan kita pelajari, mungkin kita bisa mengemas pemikiran kita, pengetahuan kita dengan puisi, Cerpen, Novel, Prosa, tembang, dan kesiaan lainnya. Tidak lain tidak bukan sebagai kebutuhan manusia dan bisa difungsikan manusia sesuai kebutuhannya, ketika kita paham Sastra akan menemukan tiga hal, pengetahuan, pengalaman, sejarah, kepakaan, dan keindahan."



Akhmad 2019.
Tempat Unisma, Warung Kopi Ploretar.

Tulisan ini hasil dari diskusi dengan salah satu teman dari Kalimantan Kayong. Saya jadikan cerita pendek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar