Minggu, 30 Juni 2019

Percakapan di Kota Dingin


Puisi kota dingin

terkadang aku bermimpi ingin menjadi awan yang putih tinggi di atas kepala tak memiliki sandaran tapi tetap ada
terkadang aku ingin seperti batu yang di lempar dan diinjak tak tahu menahu rasa sakitnya; bahkan ingin menjadi batu yang di lempar ke laut menyelam dan bernaung di dasar hingga tak tahu desir angin di atas dasar sungai; diam berdamai bersemai berkembang

terkadang tidak memiliki mimpi apapun; kecuali menikmati dingin lalu menanyakan hukum apa yang paling damai menanggapi yang terjadi; kesepian yang ramai damai atau keramaian yang semai menanyakan kedamaian

berdamai dengan dingin dan menanyakan dengan arif tidak hanya diam.

***
Saya pernah berbicara tentang banyak hal dengan teman baru sebut saja namanya Usman. Ia Mahasiswa yang selalu menanyakan sesuatu padaku, sehingga dengan seperti itu akan sering kali membuatku membuka buku. Saya pernah dengan seorang ilmuan Albert Eisten, ia bukan penjual kopi di samping kampus. Ia pernah menuliskan, lebih baik banyak hal dipertanyakan kepadanya, agar kau menjadi manusia yang selalu menggali. Dari seperti itu sepertinya aku sebagai teman barunya mencoba mencari tahu apa yang sesuai bisa dijawab. Lebih postifnya secara tidak sadar menuntutku bisa buka buku, walauku tidak terlalu banyak buku, tapi ada buku, tapi masih banyak yang belum dibaca dan masih begitu rapi di rak buku hehe.

Mula-mula membicarakan hal receh saling menanyakan tentang 'dingin'. Mengapa akhir-akhir ini kota begitu dingin. Tempat kita menimbah ilmu kata orang-orang bijak. Kita sama-sama menjadi warga pendatang ke kota Pendidikan dan sebutan lain juga kota dingin.

Pada akhir kuliah tepatnya kuliah Itu hari jumat. Kita kuliah bersama berganung di kelasnya. Kita tidak terlalu rajin dan juga terlalu sering menitip absen. Saat saya tersenyum di dalam kelas C303 tepatnya. Ada yang ingin ku senyumkan sebenarnya dan berharap senyumnya juga darinya. Seorang dosen yang kadang membuatku bosen memberi pembalajaran tentang sastra namun tidak terlalu memberi dedikasi yang detail tentang Sastra. Kadang sekedar teori, bagi saya dan yang lain pasti juga merasakan kebosasanan, mungkin perlu juga ada evaluasi atas dirinya yang harus meminta kepada mahasiswa dan mahasiswi. Sebagaimana kita saling merasakan kenyamanan, bukan sekedar menunggu kosioner atau angket dari Fakultas yang diberikan biasa setelah ujian selesai. Secara pribadi hal itu kurang efektif.

Senyum mahasiswi yang kedua waktu itu mengnatkanku kembali apalagi pas ingin menulis tentang hasil diskusi ini. Ia berkerdung coklat dan berparas sawo mateng. Seperti tidak ada kekosongan pada dirinya. Usman bergumam terus,

"Saya hanya berkata kalau itu sudah ada yang punya, weslah jangan mikirkan itu kita fokus saja dengan kuliah dulu!".
"Kita juga harus memikirkan diri kita juga untuk bisa membagi rasa pada sesama agar kita juga bisa berguna, kalau dia punya pacar kan kita hanya mencintai dan itu tidak harus memiliki memuliakan paling penting dalam cinta, agar kesucian wanita itu tetap terjaga, walau ia tidak mampu menjaga kita". Sangat bijaksana Usman menjawab.
" Siap benar memang. Memang kita jangan terlalu ekstrime ya, idealis kita juga harus dijaga karena kadang wanita tidak mengerti perjuangan kita, bukan ia mendukung, tapi kadang menjadi penghalang. Ektrimnya lagi mengubur setiap masa depan kita, tanpa disadari kita disibukan dengan satu perempuan, padahal rasa kita jangan hanya disitakan pada satu saja, kita mahluk sosial harus bisa membagi rasa cinta kita pada teman, orang pinggir jalan, pengemis, dan orang-orang yang membutuhkan kita hehe". Maja tersenyum dan merangkul Usman dari belakang.

Langkah menuju ngopi sudah mampir sampai. Gini giliran saya mentraktirnya. Pesan kopi dua dan gorengan 6biji. Kebersamaan terbentuk dengan dua kopi dan gorengan yang tidak dusta diantar kita. Seandainya ada luka hati hanya dengan secangkir kopi dan gorengan akan terobati. Kopi membuka kita untuk berbicara tentang hal kecil, dingin di kota Malang. Kota yang sebenarnya Sudah tidak bisa dibahas lagi apa lagi dipermasalahkan. Mungkin lebih baik membicarakan kausalitas alam kalau di Sastra ada hukum kausalitas sastra. Di Malang dingin tidak wajar hal ini menandakan akan ada Mahasiswa(i), baru masuk ke Malang. Asumsi saya bahwa alam memperkenalkan bahwa inilah kota Malang yang juga dingin, dan juga harus hati-hati sebagai pendatang baru berhuni di kota Malang 'Selamat datang'. Perkenalan seperti akan menjadi hal yang sakral tanpa harus bersentuhan langsung, kecuali dengan rasa akan lebih manis.

***
Sebuah pembicaraan akan lebih luas kala semua mata saling bertatap dalam satu atap dalam diskusi di temani kopi. Maja yang sebenarnya tidak biasa ngopi walau seorang pekerja kopi sebut saja barista kalau malam. Mahasiswa kalau siang. Barista itu pekerja kopi ya, tahunya ngaduk kopi. Sebanarnya agar kedengaran agak keren saja 'barista'. Ia menanyakan tentang ektrim kanan dan ektrim kiri. Seperti Usman test Maja, yang memang dia tidak begitu tahu, walau kadang hanya menjawab ngawur dan diterima juga lucunya.

"Apa bedanya ekstrim kiri dan kanan, sepaham Abang?" Usman lontar pertanyaan ke Maja.
"Ektrim kanan dan kiri sebenarnya dalam kehidupan kita tidak, memang kanan dan kiri itu sebuah belok kanan dan belok kiri kok, masih ada istilah seperti itu. Zaman dulu Nenek, Kakek, dan para pendiri bangsa yang kolot tidak tahu tentang itu, sekarang aja orang-orang pinter dan memberi bahkan membuat sebuah krangka berpikir yang begitu sempit bagiku, tanpa disadari membuat dikotomi kelompok sendiri, walau padahal tidak ada. Ektrim kalau dalam arti umum melalui batas yang umum, untuk menjadi tidak umum. Esktrim kiri terlalu sosialis sehingga kadang tidak bisa dikontrol menjadi ateis, karena akan senantiasa memperhatikan dunia secara gamblang dan rasionalitas serta melahirkan sebuah pola pikir moralitas yang sangat sempit hanya paham kebaikan Yang tanpak dan keburukan yang tanpak. Sosial juga penting,  tapi tidak lupa akan bentuk lain dari yang tidak tanpak itu sendiri, yang diistilahkan ektrim kanan itu sepemahaman saya, ekstrim kanan selalu berpatokan pada Agama yang tidak membuka diri untuk memperluas ajaran Agama dengan cara baru yang mudah diterima oleh masyarakat. Sehingga menjadi konservatif. Logika tidak digunakan sebagai jalan paling baik untuk merelevansikan ajaran Agama mudah diterima, sehingga kreatifitas beragama menjadi jalan baik dalam peradapan kehidupan. Hablumminanas dan hablumnialloh harus seimbang, semua yang berlebihan tidak baik hehe". Begitu panjang penjelasan Maja dengan ragu ia menjawab.

Semua yang dilakukan kala diskusi siang itu membuka diri lebih luas tentang pemahaman dan pengalaman, tentang beragama yang seperti apa harus memposisikan. Fungsi beragama sebagai bukti menyusun peristiwa dan bisa memperbaiki hal yang tidak baik. Agama sebagai landasan hidup dengan baik yang diajarkan banyak hukum sebabagai bukti hidup yang baik memenuhi aturan yang ditentukan, dan bisa memahami segala sesuatu dengan konteks. Dan pengetahuan sebagai menjadi makhluk hidup di dalam diri kita.

Cerita sudah berakhir. Mungkin bisa kembali ke Air laut yang berfungsi bagi ikan dan batu krikil menyelam menghilangkan  diri dari tuk tidak diinjak dan angin yang tak dirasa olehnya; hal itu menghilangkan dari kudrotnya dan lari dari yang mencarinya butuh padanya.

Akhmad 2019
Tulisan cerita pendek ini rangkuman diskusi di warung kopi belakang Pascasarjana Unisma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar