Sabtu, 04 Desember 2021

KELUARGA, RUMAH, DAN PERANTAU

 Rumah tempat singgah paling indah,

saat minggu dan sabtu masih sangat gelisah 

Rumah dan keluarga jadi surga sederhana walaupun terbuat dari lempung cinta, di meja makan.

Malang, 2021 

Petikan puisi di atas memberi gambaran bahwa hidup sangat butuh keindahan di keluarga. Representasi puisi memberi pandangan jika keluarga tempat paling tenang, jika mampu menampung segala sedih secara bersama. Terpenting solusi mampu ditawari.

Banyak hal yang perlu kita tahu tentang bahagia. Khususnya keluarga, sebab memang tidak diajarkan di ruang akademik dan keluarga hanya punya peraga dan cara memberi ajaran bahagia. Sederhana tapi jarang kita pahami secara baik. Rumah dan keluarga sangat dekat. 

Bahagia dan duka menjadi warna. Ada yang sengaja diterima ada pula yang tak disengaja, yaitu saat kita tak dapat menikmati apa yang diajarkan secara tersurat dan  tersirat oleh orang didekat kita. Mengapa cara-cara hidup bahagia di keluarga tidak diajarkan, padahal puncak hidup manusia mencapai bahagia. Bahkan tidak ada fakultas atau jurusan (FPKH) Fakultas Penemuan Kebahagiaan Hidup. 

Dalam hematku hidup ini demikian dan perlu pemahaman sejak dini. Puncak hidup bahagia. Jika diajarkan sejak dini dan sejak dimulai keluarga. Mungkin ini dari abad ke abad akan selalu dibutuhkan manusia, yaitu bahagia.

etiap pulang ke rumah di situ ada ketenangan yang berbeda jika dibandingkan pulang ke kos, saat di perantauan. Apakah jalan baik paling tenang adalah jalan pulang: pulang sesungguhnya atau pulang ke rumah tempat singgah. Begitulah definisi keluarga paling sederhana, perihal kenyamanan di luar dan hal lainnya. 

Saat kecil dulu. Saat itu, pola pikir masih jauh dari kata nyaman dan tenang bersanding dengan teman sejati dan lingkungan sejati (orang tua dan rumah), sebagai tempat paling nyaman. Tanpa disadari kini menjadi lukisan serta gambaran saat jauh bersama mereka. Jika dicermati satu persatu, dinamika yang mampu mengatasi masalah-masalah baik kecil maupun besar, banyak ditemukan cara-cara lama saat di masa kecil diajarkan. 

Pandangan perihal menyelesaikan masalah mungkin ini sifatnya subjektif. Tapi, tidak dipungkiri ini menjadi referensi dari kalian semua yang sama mengalami hal serupa. Kalau tidak mengalami saya rasa beruntung, patut bersyukur kepada Pencipta. Karena hal lain yang kamu hadapi, mungkin lebih berat. Walaupun orang lain anggap itu sederhana. 

Saat kecil itu. Saat saya mendengarkan kisah dari seorang bapak, diceritakan secara baik dan sederhana. Ternyata beliau menceritakan banyak hal saat masih muda, saat ia merantau selama 7 tahun tidak pulang ke rumah sama sekali lantaran masih mencari banyak hal di masa muda. Cepat atau tidak ternyata langsung saja, dilanjutkan cerita oleh paman. Saat itu, bapak harus pergi ke ladang menyelesaikan lèdèng (penampung air). 

"Bapakmu dulu, selama tidak pulang disangka sudah tiada dianggap meninggal, setiap tahun diadakan haul kepadanya. Karena masa itu berbeda dengan sekarang, di tahun 1987-an ia merantau, mencari banyak hal, rejeki, pengalaman, pengetahuan, dan bukan hanya itu tapi bagaimana mencintai seorang perempuan." Begitulah yang paman sampaikan secara singkat. 

Namun, hidup bukan tentang diagonalistik hitam dan putih. Sehingga apa yang diharapkan dan kejadian penuh dengan kaitan a dan b, melainkan masih perlu ada keduanya menjadi satu. Jika terjadi itu akan ada sisi lain dari bahagia seorang tidak hanya di dunia akan tetapi, di luar itu pasti ada. Beruntunglah yang memiliki kesadaran itu dan kita semua bisa memiliki cara. 

Itu di keluarga. Ada saat kita di luar. Saat jauh dengan keluarga membicarakan tentang peristiwa banyak hal. Ketika ditemukan saat-saat masa studi. Tentu, tidak hanya bicara tentang hidup ideal sesuai harapan. Namun saat kita akan menemukan beragam hidup, bukan hanya baik dan buruk, dari keduanya campur aduk (gado-gado). Sehingga bisa memiliki apa sesuai harapan yang penuh cinta. 

Di perantauan kehidupan yang tidak hanya menahan emosi dengan orang baru lantaran tidak biasa ditemukan sebelumnya. Apalagi ada tidak mengerti kondisi saat-saat sulit dihadapinya, jika itu terjadi pada kita rasa itu perlu dikoreksi. Perlu refleksi diri dengan cinta atau hanya logika yang mendominasi diri. 

Pernahkah jika kita pernah merasakan saat di perantauan tidak ingin melakukan kebaikan, tapi sangat sulit berbuat baik. Saat-saat seorang teman butuh pada kita, tapi kita tidak bantu. Lalu ia harus mencari uang di pinggir jalan untuk sekedar membeli mie kuah untuk dimakan saat siang. Apakah itu menjadi masalah, bagi Ia yang peduli sangat merasakan hidup sangat indah saat bisa membantu teman. Mungkin. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar