Rabu, 01 Desember 2021

RASA DAN PUISI

pertemuan ke VI bukan sekedar ngopi

Foto: Deri/kopi tuwo



Adalah rasa merupakan esensi, atau puisi bentuk eksistensi. Jadi, penulis puisi punya kedua hal yang perlu dikoreksi serta di dalami lagi. Apakah esensi masuk ke eksistensi atau sebaliknya, eksistensi mendahului esensi. Begitulah hemat saya. 


Untuk menulis puisi memang perlu latihan. Umi Latifah dan Liyya Muttimatud Deroini selalu menulis dengan bahasa sederhana mereka selalu menulis, puisi. Sambil merasakan kondisi dan kondisi orang lain, selalu dituliskan. Baik atau buruk tidak peduli. Sebagai pembaca senang saja melihat proses, sehingga terpacu serta senang saling belajar. Bahkan lebih tepatnya menanggung luka dan tawa dalam puisinya, tersampaikan. Terasa beban, mungkin karena tak bisa menahan.

Puisi memang sebagai bentuk representasi diri. Rasa itu, sepertinya jalan paling adil untuk mengatasi masalah, tidak pernah peduli yang terjadi dapat diilhami dari realitas pengalaman atau bahkan sekedar apa yang dipandang. Begitulah ketangkasan penulis puisi, menangkap apa yang dekat dari kehidupan dan di luarnya. 

Apakah masih percaya kepada penulis puisi--yang pandai memanipulasi keadaan diri lebih buruk atau lebih baik. Jika pandai mempermainkan diksi jadi puisi akan bisa mengubah luka menjadi tawa. Namun kesunyian menjadi jaminan bagi penulis puisi dan kaki-kaki mereka yang luka di dalam puisi akan menjadi tawa. Begitulah penulis puisi, perlu hati-hati menghadapi sebab kalau dilukai akan abadi dalam puisi. 

Memahami sastra dengan membaca seperti memasuki relung-relung peradaban serta kehidupan manusia, baik atau buruk akan diterima. Yusri Fajar, ia dosen Sastra Inggris Universitas Brawijaya Malang dalam pengantar buku yang diberikan kepada saya, dituliskan di dalam buku "Jalan Kritik Sastra Aplikasi  Teori Poskolonial hingga Ekokritik" Intrans Publishing 2019. 

Seorang penulis puisi kadang tidak memahami makna yang ditulisnya sendiri. Hal itu, jadi wajar bagi seorang penulis sastra khususnya puisi. Rasa dan puisi memang sangat dekat setipis kulit bawang, kehidupan, psikologis, dan bahasa. Dan ada pembaca serta kondisi jadi jalan. 

Namun psikologis sebenarnya punya tafsir berbeda dari kehidupan seorang. Bisa saja seseorang bisa memahami psikis tapi itu tidak sesuai dengan  apa yang dilakukan. Begitupun puisi yang bisa dikalahkan seorang "Bilang Begini Maksudnya Begitu" Gramedia (2019), kalau di buku esai apresiasi Alm. Sapardi Djoko Damono. Buku yang begitu detail memberi apresiasi puisi-puisi Indonesia dan penulis luar Indonesia. 

Puisi pada dasarnya representasi diri. Biasanya pencipta bisa memposisikan seorang bisa berupa rasa, pengalaman, hasil pengalaman dilihat, dan pengetahuan. Semua terbalut bentuk diksi-diksi indah lalu dinamakanlah "puisi" yang selalu dibaca indah didengar. Sehingga seorang pembaca atau pengedar mampu menemukan intisari puisi bukan sekedar isi melainkan keindahan saat didengar. 

Mereka duduk berempat. Semua yang duduk manis serta rapi sambil menikmati kopi, teh, dan susu. Di warung kopi bernama "Kopi Tuwo" Malang. Kita ini punya nama grup "Bukan Sekedar Ngopi" grup dibuat tanpa disengaja, tapi selalu usaha tetap memberikan makna terhadap sesama, minimal ke teman dekat sendiri, terpenting bahagia tanpa melalui hal-hal besar. 

Puisi yang dibicarakan sore itu, ditulis oleh Liyya Mutimatud Daroini dan Umi Latifah. Karena mereka memang punya ambisi menulis puisi, semangat menerbitkan selalu berapi-api. Sebelum itu selalu menyodorkan puisi yang ditulis tangan atau dikirimkan yang sudah diketikkan lalu dikirim ke pesan whatsapp untuk dipindah ke word, mereka rajin dan sangat produktif. 

Saya sebagai pembaca yang amatiran bahkan masih dangkal pengetahun  puisi, tapi tetap mencoba merasuk ke relung-relung teks ciptaannya. Maka teks tersebut dilucuti secara substansi diksi, kepiawaian memainkan pola, dan teknik menulis puisi. Mereka tanpa itu dengan jujur menulis puisi. Proses tersebut salah dua dari cara menulis puisi yang biasa-biasa untuk menjadi obat diri dan berkarya. 

Setiap perkumpulan yang tidak hanya kumpul minimal ada nilai perjuangan menulis buku untuk berkarya. Menulis puisi yang tidak hanya bicara tentang rasa tapi merupakan cara paling sederhana membuka cara-cara baru membangun kultur baik. Saat ada pandangan lain dari setiap perjalanan hidup seorang membangun peradaban. 

Pertemuan kali ini seperti menjadi pertemuan produktif. Tidak hanya bicara tugas, tapi juga bicara tentang cara bertahan hidup atau mengembangkan hidup. Secara tidak langsung perkumpulan bukan sekedar ngopi ini jadi pertemuan mengesankan, baik atau buruk tetap saja dilakukan. Bukan hanya tentang hidup sendiri tapi orang lain. 

Dalam pemaparan puisi seorang bisa saja melakukan tindakan lebih absurd. Bahkan juga lebih bijak menghidupkan kehidupan orang lain. Puisi, merupakan hidup yang bisa dijadikan paling bijak. Karena kita sebagai penulis puisi hujan menggurui tapi juga memberikan nilai reflektif. Secara subjektif akan punya cara imajinasi sehingga puisi jadi bentuk menemukan rasa. 

Memahami puisi seperti halnya memperhalus perasaan. Sebab mencoba mengiris-iris puisi isi. Sehingga puisi akan menjadi jalan sunyi sekaligus memperhalus diri memahami hati dan psikologi. Puisi sebagai objek menemukan relung-relung isi dan manfaatnya lebih memasuki hati memperhalus puisi. Begitulah. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar