Selasa, 16 November 2021

BAHASA, HUMOR, DAN KESERIUSAN: PERSPEKTIF PSIKOLOGIS LACAN

bukan sekedar ngopi IV 

Foto: Deri/Botani. 


Tulisan ini akan dimulai dari pembahasan umum, lalu ke khusus, pembahasan 'bukan sekedar ngopi.' Yang diinisiasi tanpa disengaja dari mahasiswa (i), pura-pura rajin. Tepatnya pertemuan kali ini, saya hanya mengikuti sesi yang seru pembahasan simbol cinta--yang dijadikan topik belum selesai-selesai hingga pertemuan kesekian ini. Mungkin ada opsi baik, untuk idealnya cinta hingga dapat menemukan benang merah: dalam perspektif pria, perempuan, dan waria. Bagi penulis "cinta" merupakan hipersemiotika yang perlu direkonstruksi dengan banyak pendekatan teori. 


Akhir-akhir ini fenomena bahasa bukan hal baru jika mundur kebelakang, sebab di beberapa tahun silam para ilmuwan Yunani seperti Aristoteles telah membahasnya, ditandai dengan buku berjudul Retorika Arietoteles. Sebab di Yunani saat itu Filsafat tidak berkembang jika hanya berpikir tanpa ada ilmu bahasa yang dapat disampaikan dengan baik. sudah lebih dulu membahas. Kini kita perlu penguasaan linguistik. Sebab dalam urusan cinta perlu analisis kata "cinta" bukan hanya sekedar lambang, tapi konsep ilmu pengetahuan. Sederhananya, jika mampu menguasai linguistik maka skeptis terhadap penerimaan cinta yang hanya sekedar permainan simbol untuk mengelabui. 

Jacques Marie Emile Lacan, dalam buku berjudul " Lacan untuk Sang Pemula" (Kanisius, 2002), mengatakan kalau psikoanalisis harus menjadi ilmu bahasa, yang dihuni oleh subjek... manusia adalah subjek yang ditangkap dan tersiksa oleh bahasa. 

Pendapat di atas akan punya kaitan dengan hubungan manusia yang atas nama cinta yang kadang hanya direduksi sangat sempit, yaitu bahagia yang menjadi objek tunggal. Padahal manusia sebagai subjek tidak hanya bicara tentang bahagia tentang cinta, walaupun cinta selalu jadi pembahasan utama urusan  dunia. Karena cinta tak punya jenis kelamin serta agama. Mengapa pembahasan cinta selalu menyentuh hati, karena seorang (subjek) telah diqudroti rasa, dan kata "cinta" dicipta manusia yang telah dikonvensikan secara luas. Padahal cinta itu kosong hanya pantulan (tiruan dari objek yang dicinta). Semestinya yang perlu diperhatikan saat masuk ke dalam relung cinta mencari tiruan itu dan kuasai, agar kegagalan menjalin hubungan dasar kata "cinta" tak sekedar melahirkan kecewa dan bahagia saja, tapi mencipta sesuatu di masa akan datang. 


Eksistensi Humor 

Pada pembelajaran bahasa Indonesia kelas X masih ingat dengan kata humor. Yang melekat kalau jujur secara definisi serampangan kurang lebih; humor hanya menghadirkan tawa (kesenangan) saja tanpa ada isi yang berbobot berupa kritik atau dedikasi di dalamnya, beda dengan anekdot berupa sindiran yang punya tujuan tertentu.  

Tapi, bahasa humor yang selalu relevan di setiap zaman, orang tua, dewasa, bahkan anak usia dini, bahasa humor punya nilai tawar. Di era yang berkelimpahan, khusus di masa pandemi, masyarakat merasa jenuh dengan hal-hal berat hal sederhana dikemas dalam bahasa berat, padahal pembahasannya ringan. 

Setiap orang pasti punya cara sendiri dalam menjalani hidup. Ada yang suka menghabiskan waktu dengan membaca untuk mencari kesenangan atau mengobati kejenuhan, bahkan ada juga dengan diskusi dengan kawan bahas ide, dan sekedar mencari inspirasi dengan memesan segelas kopi. Semua itu dapat dipandang dari tujuan serta keinginan ngopinya--yang ingin menghilangkan kejenuhan atau hilangkan rasa masa dengan banyaknya masalah. 

Di masa depan, menjelang Abad 21 ini. Masyarakat selalu dihadapkan dengan hal serius sudah tidak bisa, padahal paling sederhana masyarakat suka dengan hal lucu; permainan bahasa melahir kan bahagia. Dapat dicek di sosial media banyak yang lucu digemari daripada yang serius tapi buat mumet. Banyak di antara kita ingin mencapai hidup sederhana. Jika dilihat buku-buku yang sering dibaca akhir-akhir ini berupa buku stokisme, tentang filsafat yang berfokus kepada urusan hati atau bersentuhan dengan perasaan. Itu sebagai bukti masa sekarang, masa sumpek dengan hal yang berseliweran di muka umum, sia-sia. 

Masyarakat Indonesia khususnya yang kini seperti dilihat di sosial media, tontonan yang punya nilai senang. Walaupun ini subjektif tapi sepertinya nilai itulah yang masyarakat harapkan sekelumit diharapkan. Bahkan, terkadang karya ilmiah tidak punya kekuatan yang memadai kepada masyarakat luas seperti punya sekat (batas) kalau karya ilmiah hanya bersifat khusus orang akademisi. Bahkan secara khusus secara penggunaan bahasa terlalu homogen, tidak heterogen. 


Bukan Sekedar Ngopi IV 

Foto: Deri/Botani 
Mereka berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, walaupun kadang menggunakan bahasa jawa sebagai bahasa ibu, dominannya. Dan setiap perkumpulan yang dominan selalu punya pengaruh bahasa dominan pula, hal paling kecil dominan bahasa, yaitu bahasa jawa. Di perkumpulan tersebut. 

Namanya Mas Aan, Iqbal, Deri, Liya, dan Umi Latifah. Mereka duduk dengan santai dengan tujuan awal menyelesaikan tugas kuliah, dan seperti biasa ada pembahasan yang remeh sebagian orang, tapi sangat dekat dengan kehidupan dan sepertinya perlu pembahasan dan dipecahkan. Seperti Quarter Life Crisis, percintaan, dan budaya yang sering kali salah kaprah di masyarakat, kita obrolkan, ya antisipasi tidak hanya bicarakan orang (rasan-rasan). Tepatnya bicara ide dan realitas yang tanpa batas-luas. 

Dalam hal ini saya punya pandangan subjektif yang dibahas oleh mereka. Terutama perihal hipersemiotik bahasa, simbol, kata, dan fenomena dekonstruksi kata "cinta" yang dibuka oleh salah dua teman sangat pengalaman perihal cinta. Bahkan mereka secara apriori dan aposteriori. Maka tesis dalam pembahasan mereka berdua; Umi dan Liya sangat kuat referensinya. Namun saya tetap beranggapan, itu masih berada pada tatanan pemaknaan kata yang belum tuntas kalau sudah tuntas tidak ada kata kegagalan dalam urusan perasaan, mereka menguasai cara dan sudut pandang penyelesaian dengan  cara paling baik dan bijak. 

Meminjam perkataan Lacan (2002), ini masih psikologis yang berfokus pada jouissance (penikmatan), gejala, fantasi, kebutuhan, permintaan, keinginan, dan ayah simbolis. Jelas pandangan manusia atau terapan dalam hidup manusia tidak lepas dengan perkataan Lacan di atas. 

Mereka mempermainkan bahasa. Seperti biasa humor bahasa yang digunakan oleh Umi Latifah dan Liya, bahkan kita semua. Tapi kini fokus ke simbol "cinta" yang lahir dari tesis apriori dan aposteriori. Geertz (dalam Sobur, 2006: 178) mengatakan bahwa kebudayaan adalah sebuah pola dari makna yang tertuang dalam simbol yang diwariskan melalui sejarah. Proses komunikasi.

Selaras apa yang dipermasalahkan mereka berdua  itu, berupa kekecewaannya yang dapat dikategorikan Impes; sesuatu kesulitan yang seolah-olah tak dapat dipecahkan (Jassin 1967). Dalam psikologis Lacan (2002), itu merupakan histeria: keinginan utama yang tidak diakui atau dikenali dengan semestinya si penderita. Contoh seperti wanita jatuh sebagai permintaan dan keinginan orang lain. Padahal yang perlu diketahui itu apakah mereka jatuh karena sadar kebutuhan dirinya, terkadang itu tidak dikuasai. 

Teks dan bahasa lisan punya unsur makna berbeda dalam hidup kita, khususnya dalam masyarakat. Kajian ini dapat dimasukkan ke pragmatik; konteks dan konteks. Sebagaimana mestinya, 'konteks' yang punya makna sesuai dengan letak dan kapan bahasa digunakan. 'Koteks' berupa teks secara makna leksikal maupun secara simbol, morfologis, dan semantik punya makna objektif. 

Maka dapat disimpulkan bahasa humor, dan keseriusan dapat dipandang dari sudut pandang psikologis. Begitupun dengan bahasa yang sering dilontarkan perlu kajian secara psikologi linguistik dan sosiolinguistik. Perlu manusia hati-hati dalam menggunakan simbol (bahasa) karena punya pengaruh terhadap psikologis; baik atau buruk. Jika perkataan diulang-ulang di muka umum khawatir itu bukan lahir dari dalam diri, melainkan dari luar diri berupa: nafsu, kelebihan, dan sekedar membual. 

Jeans Paul Sartre (1951), mengatakan kurang lebih begini, jika seseorang tidak dapat mengungkapkan sesuatu dengan terus terang akan jadi masalah diri. Kurang lebih perkataan ini akan membantu menutup dari urusan perasaan yang berkaitan dengan cinta. Dan bisa ambil hikmah dari perjalanan di dunia, karena di dunia ini hanya seperti numpang status. Begitulah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar