Minggu, 14 November 2021

CERITA YANG TAK PELU DIPIKIR

 BAB I 

"Luka kaki yang beda dengan luka hati, saat seorang anak dibanding-bandingkan dengan anak tetangga lebih baik, lihat itu..." 

Perkataan itu membekas dalam hati dan dadanya gemetar saat mengingat, seperti besitan pering bambu ke punggung betisnya. Saat itu, ia tak pernah kecewa kepada dirinya, maka ia terus saja berjalan dengan santai bahkan kadang berlari, terus saja berjalan. Sunyi atau ramai ia seperti seorang yang selalu berdamai dengan dirinya. 

Maja selalu memakai kaos oblong pemberian neneknya. Kaos yang awal mulanya itu kaos partai PKS berwarna putih, ia sering memakai kaos itu saat pergi mencari rumput. Kini warna kaos itu seperti berwarna putih kecoklatan. Tapi, suatu ketika ia pergi dari rumahnya, memakai koas itu. 

Katanya, saat ia di dalam bus ketemu dengan seorang kondektur yang berkepala tajam. Sambil lalu bertanya kepadanya,

"kamu mau ke mana dek?" Tanyanya dengan bahasa ibu sederhana. 

"Ke Probolinggo Pak." Dengan bahasa ibu campuran bahasa Indonesia, sederhana menjawab dan wajah sangat tegang. 

"Iya, nak duduk di belakang masih jauh, ini...!" 

Setelah itu, langsung ke belakang mencari kursi. Selanjutnya itu, ia istirahat menikmati perjalanan. Bagaimana seorang anak ketakutan. 

Di perjalanan yang sangat jauh. Memang bukan perjalanan awal dilakukannya. Tapi, sebagai anak yang merasa takut setiap perjalanan. Biasanya yang muntah di dalam bus 'mabook', sekarang tidak. Kepanikan selalu bergetar dalam dirinya. 

Perjalanan jauh paling panjang sebelum ada jembatan dikenal di Jawa Timur. Sore yang menjelang magrib dengan senja. Ia memandang sekeliling kota dengan gemerlap lampu-lampu menghiasi kota.

Dalam benaknya Ia berpikir, "tak perlu berpikir panjang, orang rumah yang hanya tahu rasa masakan selalu enak bagi anaknya, tapi tidak merasakan keinginan anak." 

Kekecewaan itu, terus teringat yang tertanam dan tumbuh berkembang di dalam perjalanan di dalam bus. Seperti perjalanan yang jauh dan panjang. Perjalan itu, akan punya cara sendiri dengan kesan dan pesan. Dan lampu-lampu kota begitu indah dan ramai gemerlap. 

Ia, selalu diam terus membaca lingkungan sekitar. Mulai membaca karakter sopir, kernit, dan penjual asongan di dalam bus. Tidak pernah secara tunggal berjalan jauh bahkan akan tinggal sendiri, kecuali--yang selalu punya cara mengingat nenek yang ditinggal. 

*

Kota pertama sudah dilewati. Pasar galis yang pengap saat dirasa dari dalam bus. Tidak berpikir kalau daerah itu ditinggal dengan dada yang sangat pengap lantaran kekecewaan dari seorang bapak. Ia tidak berpikir resiko buruk, di pikirannya hanya positif sampai nanti kembali lagi.

Daerah itu, bagi Ia punya kisah sendiri saat masih kelas XI SMA. Bersama temannya yang ditilang polisi waktu itu hanya punya uang 25rb, tetap saja diambil oleh polisnya. Bahkan nama polisinya masih diingat.

Ingatan yang selalu pekat itu, berulang-ulang di pikirannya. Secara sederhana memandang keluar samping kiri jalan, pohon-pohon jati itu membuat pusing sebab silih berganti dari pandangan, Ia merasa makin lemas. Ingatan itu kembali mengenai kekecewaan. Ingat, saat disuruh pergi ke pasar, saat sudah rapi berganti baju malah dibatalkan. Itu yang membekas jadi luka, kecewa memuncak. 

Sambil lalu, Ia mengingat semua kebaikan keluarga yang ditinggalkan. Semakin sulit sepertinya dirasakan olehnya, luka hati sangat dalam dengan  perkataan dan satu sikap. Luka kaki tak terasa kecuali luka hati. Baginya setiap luka tubuh ringan tidak dengan hati, melainkan dengan logika yang terus berkembang di atas ingatan. 

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar