Selasa, 09 November 2021

TANAH LIAT DAN SUARA PEDALAMAN

  

Kita berjalan dengan pelan sambil lalu berbicara ceria agar setiap sengsara tak terasa. Begitupun cara-cara bahagia saat melangkah bersama, hanya suka bisa ditawarkan kepada mereka tuk bisa hadirkan; tawa dan sedikit merawankan cerita bahagia. Dan kaki-kaki yang kecapean dari bawah, kuat menahan licinnya tanah yang melekat. 

Saat tiba, kita dihadapkan dengan sosok yang tegar dan kuat. Sambutan mereka kepada mereka kepada kita, antusias. Ya, walaupun saat itu berita kita kepadanya sekedar berita berisi informasi dan pengetahuan, bukan bisa menyelesaikan. Mereka yang sibuk di ladang, pulang ketika kita datang. Kita merasa menggangu atau sekedar membuat mereka tanpa cemas sebab kedatangan kita. 

Dalam hal ini ternyata, ia punya adat menyambut orang asing dengan cara berbeda, yaitu menghormati. Saat mereka menganggap kita luar biasa dari raut wajah dan kita, mahasiswa, dianggap menjanjikan. Padahal kita hanya ingin menawarkan cara menyembuhkan luka lama mereka--yang telah lama menjadikan ia lebih merdeka, dan tanah mereka dapat dijadikan tanah milik. Mungkin saja pandangan mereka sangat berlebihan, sebelum mengetahui lebih dalam kita hanya bisa bersuara dan menawarkan cara, untuk menyelesaikan kembalikan kepadanya. 

Ibarat seorang pejalan kaki di rimbun gunung tanpa ada jalan alternatif, saat itu kita memberikan peta kepadanya. Dengan pandangan  serta arah secara teoritis dan praktik. Baik atau buruk selalu saja diberikan secara arah yang diusahakan mendekati ke arah kebenaran, yaitu pembebasan lahan tanah--yang pada saat itu telah ingin diakuisisi lantaran dulu tempat tinggal merupakan gunung tidak ada penghuni, pada 2002 ada salah satu orang, yang awal mula membawa mereka ke tempat tersebut untuk bisa bertani dan bercocok tanam tujuan keberhasilan. 

Alasan mereka tetap mengambil dan mau menempati sederhana. Mereka ingin menempati tempat tersebut lantaran sudah bingung akan bertahan hidup di mana lagi, saat itu mereka mendengar informasi di chanel televisi. Perkataan yang mengasah pada pengelolaan lahan, yaitu presiden keempat Indonesia Gus Dur, yang kurang lebih punya statement di forum "jika masyarakat bingung dengan semuanya mengenai penghasilan masyarakat Indonesia, maka lahan kosong boleh dimanfaatkan." Perkataan tersebut menuai kontroversi, baik secara umum dan tidak dibenarkan secara praktik di lapangan, bahkan saat ditanyakan ke perangkat desa setempat tidak diamini, masih perlu adanya kebebasan yang terikat. Contohnya saat disuruh menanam padi di tempat tersebut, boleh. Akan tetapi, perlu bagi laba penghasilan dengan perangkat desa terdekat. 

Namun, masyarakat ada yang menerima dan juga tidak. Mereka bisa menerima saat ada jaminan bahwa alas atau ladang yang dulu telah dibenahi. alasannya bisa jadi hak milik resmi olehnya, ini soalnya tempat (tanah yang dikelola oleh diri sendiri di hutan itu). Akan tetapi, itu  berbanding terbalik dengan aparatur di daerah tersebut tidak bisa melakukan atau membantu. 

Mengambil hikmah kisah cerita tersebut. Ternyata kita bisa banyak belajar hidup sederhana mereka hidup dari keramaian tapi sunyi dan sepi dari sistem, masih dapat pertanyaan saja bagi masyarakat kepada desa--yang awalnya disuruh tempati, tapi malah responsif berdampak negatif, yaitu masyarakat harus tetap bayar berupa upah  dan separuh hasil diberikan  kepadanya. Inilah yang tidak diharapkan masyarakat di Wonogoro, Malang Kabupaten. Mungkin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar