Rabu, 03 November 2021

BICARA MISTIS, BUDAYA, DAN CINTA: YANG MEMBEKAS

 CATATAN PERTEMUAN KE II 

:ngopi bukan sekadar ngopi, tapi tukar tangkap inspirasi 

foto:Umi Latifah/Kolebri 


"Kita duduk di sofa dengan bermalas-malasan. Saat tugas kuliah begitu banyak, saat deadline tugas besok harus selesai, saat bersama dan berkumpul agar bisa saling bersemangat, melakukan kebaikan bersama. Tapi, kita berlima saling berbicara banyak hal. Pada akhirnya, pengumuman deadline pengumpulan tugas diundur. Tentu senang! Deri yang meminum kopi dan Umi minum es maca, sambil berbicara." 

Saya memandang keluar dengan riuh motor mondar mandir. Sambil lalu mengetik di laptop tanpa semangat menggebu. Memandang wajah-wajah semangat kawan-kawan belajar, berharap saat nanti pulang terngiang di kepala mengambil hikmah dari setiap pertemuan yang disengaja atau tidak ini. 

Setiap perkumpulan selalu ada hal menarik, saat berkumpul tidak habis tenaga dan bicara kita dengan bicarakan orang lain, rasan-rasan. Hal ini yang akan membuat kita bisa banyak belajar dari banyak kepala orang-orang. Bahkan teman sendiri yang beragam dari latar belakang kultur dan budaya. 

Mengingat dengan pandangan Al-Ghazali, kalau tidak salah. Salah satu filosof Islam mengatakan seperti ini, "Dalam perkumpulan manusia yang baik dan positif saat bubar dari perkumpulan tersebut ada di kepala kita terngiang-ngiang terpikirkan, dan menimbulkan sebuah pertanyaan atas apa yang dipikirkan, itulah baiknya dalam sebuah perkumpulan," begitulah yang dirasakan oleh penulis mengenai setiap pertemuan, entah baik atau buruk perlu dalam ingatan dibawa pulang. Tentu ini berbeda dengan yang lain. 

Mula-mula awal mula pertemuan hanya sekedar mengajarkan tugas-tugas tanggungjawab di kampus. Namun tidak hanya demikian saat berkumpul dan sekedar bicara ke sana-kemari tentang dunia mereka dan kultur budaya, bahkan pengalaman luka. Jika direduksi ke dalam pikiran paling dalam lalu diambil hikmahnya, melahirkan sebuah pengalaman luar biasa dari yang awalnya di awal hanya 'sekedar kumpul, sibuk, tapi produktif'--yang bagi penulis merasa ada banyak hal diambil hikmahnya. Dan itu, jalan paling sederhana dalam belajar. Saat otak tak diam dan berhenti mencari solusi atau sekedar membagikan kondisi: luka dan tawa. 

Cerita awalnya dilakukan oleh teman-teman perempuan yang memang selalu membuka dengan pandangan secara subjektif. Bagi Lacan, berpendapat itu adalah gejala-gejala dalam formasi alam bawah sadar yang tinggal dalam diri hasrat tersembunyi di alam bawah sadar, pada no satu "Gejala-gejala," sebuah gejala wanita dalam bab satu yang mempunya phobia tempat terbuka dan umum berkhayal jatuh di jalan. Dalam proses analisis tampak bahwa ia menderita rasa bersalah dan malu, sebagai akibat kegiatan seksualnya, dan ia tidak mau "terlihat sebagai wanita terjatuh." Hasrat yang tak disadari wanita ini "berbicara" dengan gejala yang mengambil bentuk suatu ungkapan, bahasa (2002:34-35). 

Pandangan di atas menggambarkan jika perempuan dalam forum seringkali akan selalu mendominasi saat bicara pengalaman "yang terjatuh atau bicara tentang deep wound." Asumsi atau fakta tapi ini merupakan  kisah sederhana saat berkumpul berbincang, saat itu bersama secara tidak teratur dan sistematis dirancang saling melakukan kisah satu sama lain. Entah awal mula dibuka dengan sebuah budaya lokal dari daerah masing-masing. 

Dalam perkumpulan tersebut kami terdiri dari lima anak. Sebagai penulis satu yang dari Cilacap blasteran Madura, ada Deri Wildianto (Kalbar-Kayong), Ayu (Kaltar), Umi (Gersik), Liya (Banyuwangi), dan Tri Syafaan (Malang). Mula-mula tidak sengaja mereka berbicara dimulai dari kaum hawa. Perkataan Lacan dan Freud di atas mengenai 'Empat Formasi Alam Bawah Sadar' dominan dari konsep diatas fokus pada gejala-gejala, yang mana itu akan dibuka oleh kisah luka teman perempuan, bernama Ayu dari  Kalimantan Utara. Mula-mula dibuka dengan pengalaman apriori bahkan ke pengalaman aposteori tentang banyak hal budaya dan masa lalu yang membekas: baik atau buruk diceritakan, sebagai pengalaman--yang bertujuan tidak dapat dialami oleh teman sekitarnya, yang baik. Kurang lebih demikian. 

Selanjutnya, seorang yang banyak bercerita tentang kisah mistis di daerahnya, dapat ditebak. Yaitu Liya yang dari Banyuwangi. Dia sudah menegaskan tidak percaya awal mulanya narasi yang dibuat oleh masyarakat daerahnya, mengenai dunia magis dan mistis. Sebagai mahasiswa yang merantau hidup di luar daerahnya terkontaminasi budaya luar--yang mempengaruhi tapi tetap perlu menyadari lingkungan keluarga yang sangat kental dengan dunia mistis--yang perlu dipercayai, lambat laun perlu adaptasi dengan tradisi tersebut. Berkisah panjang lebar tentang mistis yang terjadi dari kecil hingga dewasa. Bahkan hingga sekarang membekas memori masa lalu yang masih bocah, dia ingat harus melakukan ritual keselamatan bersama keluarga di tengah malam di salah satu tempat di tengah hutan tengah malam mengaji dan mandi, bunga serta--hal yang tak wajar daerah lain ditemukan, di situ ingatan ia kuat. Dari Banyuwangi sebagai tempat tinggal bersama keluarga dan keluarga berdarah madura, ia selalu bertanya tentang watak keras atau tidaknya, wilayah tersebut. Selain itu, ia juga sedikit menceritakan hal yang berkaitan dengan indigo. Kerap kali menemukan dan terjadi hal aneh dalam hidup mengenai hantu dan hal mistis lainnya. 

Adapun sedikit berseliweran pembicaraannya dibumbui dengan bahas tentang makanan. Jadi lengkap dari pembicaraan mistis, budaya, dan kuliner. Disampaikan olehnya, dengan singkat dan lambat juga, saat kopi dan minuman kita sudah pada mau habis. 

Dilanjutkan oleh Deri dari Kalimantan Barat, ia menceritakan tentang hal-hal lokal budaya. Bukan hanya budaya melainkan kuyang. Selain itu, ia juga memberikan sebuah pandangan yang subjektif mengenai anggapan miring sinyal internet tidak maksimal "padahal tidak demikian," ujarnya. 

Ia juga melanjutkan kisah-kisah kecil bermain serta keyakinan orang-orang sana mengenai weton pernikahan. Secara pribadi ia tidak percaya akan hal tersebut karena terlalu ribet. Karena nalar yang ada tidak dapat dijelaskan secara baik dan benar kalau dipandang secara kasat mata. Begitulah hidup, simple. Tidak perlu adanya asumsi kalau weton tidak cocok rejeki dan jodoh itu tidak bisa diatasi "terlalu ribet" katan, dalam bahasa sederhana dan lugas, membantah statemen berlaku di daerah di luar daerahnya. 

Adalah Umi Latifah, perempuan yang sangat meyakini weton dan hitung-hitungan istilah jawa; sandang, pangan, gedong, lara, dan pati. sedikit hafal. Walaupun sedikit belepotan saat menyebutkan. Tapi usahanya menjelaskan dapat diterima. Ia meyakini budaya jawa ini memang benar-benar ada dan perlu dipercaya. 

Ia melontarkan adagium jawa dengan bahasa ibunya berkata "emben onok wakul pasar seng dalan dewe!" Dengan mengutip dari petuah para petuahnya, dilontarkan sebagai penjelasan kalau budaya jawa juga perlu dipercaya, tidak semua itu semu. Secara dewasa menggunakan bahasa Indonesia berkata. Lalu ia juga berstatmen lagi, "waton jawa itu, semestinya jadi kekuatan bagi diri sendiri dan melindungi kelemahan sendiri." Begutulah disampaikan olehnya. 

Mas Aan, dari Malang. Sepertinya ia seorang yang pandai memilah baik dan buruknya, untuk memetakan weton jawa yang perlu dipikirkan oleh kita, "ada weton yang cocok dan tetap berlaku di kalangan kita seperti; weton pernikahan dan pindahan rumah, sisanya tidak diyakininya!" Serunya dia menyampaikan dengan santai dan membuat berpikir. Sambil tersenyum bercerita panjang lebar. Selain itu juga bicara tentang buku yang dituliskan dikisahkan ke Umi. 

Pandangan tersebut menyerempet ke arah pernikahan dan batalnya seorang teman di lingkaran itu, batal tunangan dengan orang jawa. Kisah itu membekas sangat kuat. Dan suasana penceritaan ke arah serius. Walaupun penceritaan dengan santai dan sambil tersenyum sederhana, yang menghibur. 

Terakhir saya. Sebagai seorang yang tidak begitu banyak hal yang disampaikan. Namun, perlu juga menyampaikan apa-apa yang telah teman lain sampaikan. Dengan santai menjawab pertanyaan serta menceritakan mindset miring di daerah latar belakang saya hidup. Selain itu, saya hanya menceritakan tentang kesalahpahaman tafsir ayat suci dalam penerapan. Bahwa tradisi carok yang dasarnya, salah. 

Contoh yang dapat sedikit sampaikan yaitu, kalau di daerah madura tentang carok yaitu; ada tiga yang wajib dibunuh 1. Perempuan yang selingkuh, 2. Agama yang direndahkan, 3. Harta. Tiga hal tersebut seringkali salah tafsir dalam hemat sederhana terjadi salah tafsir. Pada dasarnya kita tidak boleh melakukan pembunuhan kalau masalah tersebut masih dapat dirundingkan terdahulu. Tidak perlu penghakiman dianggap benar. 

Namun, tradisi tersebut dalam pandangan sekarang sudah berbeda. Jika pernah baca buku Kuntowijoyo berjudul "Madura" terbit 2002. Sejarah tersebut dibuka dengan periodisasi madura di abad ke XIX. Yang mana mana secara tradisi sudah banyak bergeser. Paling terasa pernikahan dini dan carok yang seperti setiap minggu dulu ada saja, kini sudah tidak ada. Hal ini ditandai dengan majunya pendidikan dan para anak-anak masyarakat di madura memiliki pendidikan tinggi. Pendidikan sangat memberi dapat sangat signifikan. 

Terakhir, saat bicara tentang jodoh dan idealnya pasangan. Tidak ada yang ideal dalam paras mata yang hanya mengandalkan logika dan hal material, untuk pasangan. Simpulan panjang lebar dibahas. Bahwa pasangan ideal bagi perempuan, lelaki, dan waria, hanya bisa ideal kalau kita bisa menemukan pasangan yang karakternya itu cocok dengan dirinya. Karena selain itu cinta hanya bicara tentang hasrat dan nafsu--yang saat sudah tercapai tersisa bekas baik buruk memperlakukan dengan memuliakan rasa. Begitulah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar