Sabtu, 06 November 2021

LUKISAN

 Cerpen ini

Nominasi pertama

 Di LPM Display FILKOM Uviversitas Brwawijaya Malang 

Sumber gambar grafiti-gogle: Simone De Beauvoir 


Ia melukis. Tidak pernah menjawab kalau ditanya arti dari lukisan-lukisannya. Kalau dibanding-bandingkan malah marah, bahkan tak segan-segan melukai orang yang membanding-bandingkan. Hanya tersisa satu lukisan di rumahnya, lukisan saat ia mengikuti lomba saat masih sekolah.

Lukisan di depan ruang tamu. Satu-satunya lukisan yang pernah dibuat oleh dia, semasa mudanya. Masa muda yang berapi-apinya menggeluti seni lukis, sebelum memutuskan menjadi seorang guru. Tak ada yang tahu lukisan perempuan itu siapa. Dan tak ada yang bisa menjelaskan. Begitupun semua keluarganya.

Memang, semasa muda ia selalu merantau. Keluar dari rumah, bukan tuk bisa lebih ramah tentang banyak hal. Setelah lulus Sekolah Menengah Atas, ia langsung memutuskan tuk jauh dengan keluarga, terutama ayahnya. Kekecewaan terbesar, ketika pernah melontarkan pertanyaan kepada bapaknya,yang belum sempat dijawab olehnya. Selalu membekas di hatinya, merah dan selalu bikin resah saat diingat.

Saat ia berumur delapan tahun. Bapaknya pulang dari perantauan yaitu Jakarta, sudah biasa di daerah itu. Merantau jadi pilihan hidup –tak merantau tak berkembang- nyaris pemuda di daerah tersebut berumur 20-an banyak keluar rumah untuk merantau. Katanya mencari rezeki dengan menjemputnya. Mondar mandir pulang ke rumah menjadi rutinitas, walaupun tak lama. Setiap pulang dari perantau hewan-hewan semakin bertambah banyak seperti; burung dara, ayam, dan burung ketitir. Di rumah itu kecuali macan, monyet, dan ular tidak ada. Satu dua dengan kebun binatang. Waktu itu bapaknya bukan hanya hewan dibawa pulang, tapi juga istri barunya.

Sebagai orang tua, akan terus memantau perkembangan anaknya, baik ataupun buruk, terurus atau tak terurus selalu di lihat. Dari pola hidup dan sikap kesehariannya. Sebagai orang desa tak begitu memahami tentang kelebihan yang baik, kecuali membanding-bandingkannya, hidup dia dengan anak bosnya, yang di Jakarta. Namun perbedaan mencolok dari anaknya.

Saat ia, melihat gambar kaligrafi di masjid Baiturrahman, hatinya berbunga-bunga dan berpikir positif.  Kalau anaknya punya kelebihan, yaitu melukis. Dan keperluan sudah selesai. Lalu berangkat lagi ke perantauan.

***

Ia Sekolah Menengah Atas (SMA). Sebagaimana anak pada umumnya. Tak ada hobi lagi kecuali menggambar. Bahkan di sekolah dengan terpaksa mengikuti ekstrakulikuler membuat batik. Lantaran tak ada lagi ekstra yang mendekati dengan hobinya. Setahun kemudian setelah naik ke kelas XI, ada guru baru alumni sekolah tersebut menjadi guru seni di mata pelajaran Mulok. Secara cepat guru tersebut  menawarkan diri sebagai guru belajar melukis. Ia sebagai siswa yang ingin mengembangkan skill yang menjadi hobi dibidang tersebut, akhirnya ada wadahnya.

Dengan berjalannya waktu… Guru baru itu, masih muda, selalu berinovasi. Saat melihat ada perkembangan selama mengajar melukis. Saat itu melihat perkembangan satu anak tersebut. Guru baru yang muda selalu dituntut mengembangkan potensi anak didiknya, sehingga inovasinya itu mengajak siswanya ikut  lomba. Melihat anak-anak didiknya yang punya potensi di ikutkanlah lomba tingkat kabupaten. Saat ditawari ke Ia, sebagai murid tidak dapat menolaknya. Lomba itu, tema melukis bebas. Ia selalu punya pandangan yang akan dilukis.

“Minggu depan perlombaan akan dimulai, kamu siap ya?”

“Iya baik, siap pak.” Dengan bahasa ibu yang halus, ia menjawabnya.

Tawaran tersebut membuat berpikir. Ia selalu mencari objek yang akan digambar, semua isi rumahnya tak ada yang menarik. Semua seperti biasa saja, kecuali satu-satunya yang berharga sobekan foto, yang ditemukan di plastik berisi sampah. Ia menyimpan di tempat yang aman.

Ternyata mendekati perlombaan dimulai. Sebelum perlombaan dimulai. ia pergi ke dukun sebagai bentuk ritual bisa tenang dan menang. Dari dukun ternyata dapat bungkusan permen, disuruh disimpan di dompetnya. Tanpa berpikir panjang apa yang telah dikatakan olehnya langsung dilakukan. Lalu bersalaman memakai amplop.

Lomba besoknya sudah dimulai. Ia sudah memiliki kepercayaan lebih. Saat ia berpikir dan memulai untuk melukis. Canvas serta peralatan lainnya sudah siap, begitupun peserta lainnya. Waktu telah berjalan dan ide masih belum berkembang, namun terus saja Ia memulai tanpa memikirkan hasilnya.

Tanpa memandang perbedaan dengan peserta lain, ia mampu menyelesaikannya. Lomba telah selesai hasil pembuatannya sangat tidak stabil. Gambar yang dibuat hanya dapat dipandang dari satu sisi, tak ada nilai lebih baginya. Kekecewaan saat mencoba masuk ke dalam gambar yang memang telah jadi harapan akan terjadi dan berjalan sebagaimana mestinya kuas melukis wajahnya. Setelah selesai ia berkata.

“Maaf pak tidak maksimal.” Dengan wajah menunduk, ia berkata.

“Tidak apa-apa nak, tunggu saja nilai dari para dewan juri dulu. Terpenting kamu sudah usaha maksimal, hasilnya diterima saja. Apa ada kesulitan tadi?”

“Wajah yang kuharapkan itu sebenarnya sudah muncul, saya melukis wajah pak. Tapi semakin ku menyempurnakan  sketsa rautnya, tidak bisa sempurna pak.” Dengan wajah serius… raut wajah kecewa terpancar darinya.

“Tidak apa, hasilnya sudah bagus kok, nanti kamu ambil bawa pulang itu lukisan wajahnya, bapak akan urus pengambilan lukisanmu”

“Iya pak, terima kasih.”

Ia menunduk sambil berjalan menuju ke guru satunya, bersalaman. Terpancar wajah dan jalannya tak seimbang karena kecewa. Ia hanya bisa menerima, dari apa yang diusahakan—dan hasil didapatkan tak pernah terlalu diperhatikan, namun tetap menatap dengan senyum ke semua yang memandangnya. “Selamat, semoga lancar…” seperti ada suara dari salah satu teman dekatnya dari jarak jauh.

***

Setelah pulang dari tempat lomba, langit seperti akan menjanjikan hujan. Ketika sampai di rumahnya.  Saat ceritakan proses melukis saat di lokasi lomba, neneknya hanya tersenyum.

“Saya sudah selesai lombanya nek, tapi sepertinya tidak menang.” Wajah kecewa dengan bahasa ibu yang lembut ia berkata.

“Wes Lah… Nak, sudah. Terpenting kan sudah selesai. Senang, berarti jimat dari dukun manjur. Sini makan dulu”

“Saat perlombaan itu, saya mencoba melukiskan wajah  ibu yang di foto, tapi kenapa semakin usaha menggambarkan wajhnya semakin gelap, tambah gak jelas, seperti bingung sendiri. Dan jimat itu tak berfungsi Nek!”

“Sudah nak, lupakan!” Dengan nada tidak pernah memberi dukungan kepadanya, untuk mengetahui lebih jelas, apalagi mengingat.

Tak ada cara lain untuk membuktikan. Bahwa seorang yang sangat sayang dirindukan dengan cara sederhana itu bisa dipersembahkan, karena hanya gambar dapat dilakukan. Kalau tidak memandang fotonya yang sudah buram, apalagi.

Tiba-tiba tanpa diberitahu kalau pulang, Ia datang. Bapaknya menghampiri lalu bersalaman. Dan anaknya menyampaikan kalau pernah mengikuti lomba, di luar sekolahnya. Tanpa antusias lebih, hanya berkata,

“Juara berapa nak?”

“Masih tahap penjurian, tak tahu juara berapa. Saingannya banyak.

“Kata guru, tak perlu berpikir menang untuk awal mengikuti lomba, jadikan pengalaman. Karena saingannya banyak- mungkin untuk menang sangat kecil.” Sambil meletakkan baju seragamnya di belakang pintu, untuk dipakai lagi besok.

“Untuk jadi pelukis handal, harus sabar nak!” perkataan itu menutup pembahasaan tentang lomba. Bapaknya langsung menyuruh ia melepas burung dara dan ambil ayam sabung.

***

Sebelum berangkat mencari rumput ke ladang, Ramli kerap datang ke rumahnya. Sangat beruntung saat bertamu ke orang baru datang dari perantauan.

“Beh, kapan datang bung?”

“Tadi, ikut ojek dari terminal, tak bawa apa-apa, hanya ini rokok buat kamu bung!’.

“Ya, harus kalau rokok. Sampoerna kretek ini kesukaanku”

“Wess… tahu, kamu suka rokok itu!”

Tak lama kemudian, ia melanjutkan aktivitasnya. Sambil menyalakan rokoknya, dan asap rokok yang menggulung-gulung ke udara. Asapnya masih tersisa di teras rumahnya, serta baunya yang kental.

Sepulang dari aktivitasnya, Ramli datang lagi. Seperti rumah sendiri. Masuk ke dapur lalu mengambil nasi untuk sarapan. Tak ada masalah baginya dan keluarga di situ. Ia makan dengan nyaman. Lalu ia menyapa,

“Ke mana bapakmu?”

“Tadi bawa ayam yang di samping kandang depan pak, lalu keluar” sudah biasa ia memanggil bapak, sejak kecil yang sering menemani Ia, dan menganggap itu bapaknya juga.

“Wah, kalau bapakmu ini sibuk terus, paling ke sabung ayam itu, tak pernah berubah dari zaman Soeharto hingga sekarang Presiden Jokowi. Kelakuannya tetap. Masih suka datang ke tempat sabung. Padahal anaknya sudah besar!”

“Tidak tahu pak, tadi hanya bilang mau keluar.”

“Yowes, aku pulang dulu. Paling bapakmu langsung berangkat ke Jakarta, kalau ba’da magrib gak pulang.” Setelah makan lalu bergegas pulang.

Hanya lukisan yang dilukis saat mengikuti lomba itu, masih tersisa. Lukisan yang dibawa pulang dan dipajang di depan ruang tamu. Walaupun lukisan itu, tak enak dipandang—raut wajah tak jelas, ia terus berpikir—dan menganggap kalau dukun itu, tidak dapat menjamin hidupnya masa itu. Hasilnya belum tahu, pengumuman masih ditunggu tak ada kejelasan. Di rumah hanya melakukan latihan melukis dan membenahi hidup lebih baik.  




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar