Jumat, 17 Mei 2019

Bahasa dan Sastra: Mengajarkan Bercerita dan Berkarya

Foto:Akhmad

Bahasa dan Sastra

"Bahasa mengajarkan kita bercerita dan sastra mengajarkan berkarya"
Istilah tersebut bentuk perspektif subjektif penulis. Mengambarkan setiap peristiwa dan menceritakan segala peristiwa dengan cara sederhana kita apa yang ditangkap.
Bahasa sebagai alat bercerita manusia selain alat komunikasi. Ketika manusia sudah menceritakan akan lebih tenang dalam menghadapi masalah hal itu sebenarnya subjektif.

Seno Gumira Adjidarma pernah menulis tentang seorang Penulis seorang yang senantiasa pandai menangkap peristiwa untuk ditulisnya.

Hal tersebut sebagai dasar manusia jika kita pandai menangkap peristiwa menangkap peristiwa dalam sekala besar atau kecil maka mencobalah menulis dengan seperti itu akan merasakan bahwa hal penting dalam hidup yang kecil akan dijadikan sebuah harga, harga manusia dalam memaknai kemanusian (hablumminans) atau bisa lebih membangun rasa humanis lebih tinggi. Hal itu Perspektif dari rasa kemanusian, namun kita juga perlu tahu dampak baik dari kegemaran mencintai bahasa akan senantiasa mempererarat jiwa nasionalis kita bernegara.

Menulis akan selalu berkaitan dengan bahasa; setiap menulis akan selalu menemukan peristiwa bahasa menyusun kata, menjadi frasa, menjadi sebuah klausa, dan kalimat serta paragraf bersambung. Hal itu akan dirasakan oleh penulis menumukan peristiwa cinta pada bahasa, khususnya kita orang Indonesia bahasa Indonesia menjadi pertemuan paling sakral untuk menangkap diksi hasil dari kajian jiwa serta bendahara jiwa kala menjalanlan sebuah narasi dan cerita dalam teks itu.
Bagaimana katika ada sebuah peristiwa penulis itu menghasilkan sebuah teks dan tidak memahami apa yang ditulis dan hal itu mendapat pertangungjawaban tentang makna, karena pembaca hanya paham tentang apa yang dibaca (aku dalam teks)

Rolan Bartes seorang peneliti sastra dari Prancis pernah mendeklarasikan pada tahun 1960 bahwa kematian seorang penulis ketika karyanya sudah selesai maka karya sudah melanglang buana dalam diri pembaca dan siapa yang membacanya. Lenyapnya penulis ketika karyanya sudah dibaca.

Lye (2001) memperkuat mengenai pengaran telah mati. Contoh Willian Faulkner dia menghasilkan buku As I Lay Dying: karya itu tidak dapat dkbantah lagi. Tetapi dalam kaitan interpretasi, seorang kritikus bekerja sesuai dengan kesadaran bahwa Faulkner sudah tidak mengawasi kala kritis mencoba mengintrepetasi dan menulisnya. Ia bebas mengahadapi teks seolah-oleh pemgarang sudah tidak ada, dengan seperti itu akan melakukan kebebasan ketika membaca. Lebih jauh lagi apakah pengarang akan tahu dengan apa yang ditulisnya ketika karya telah dibaca? Dan ketika interpretasi pembaca beda ketika ditanyakan sedangkan apa yang diterma pembaca adalah teks yang mencipta makna dalam teks itu bukan bahasa mencipta teks. Dan jika pertanyaan ada pada pengarang kita tidak perlu percaya kepadanya apa yang kita tanyakan itu. Untuk apa kita menurut padanya seorang kritikus tidak ada fungsinya katika hanya mempercayainya.

Persembahan pembaca dan penulis bagaimana karya bisa memberi fungsi pada dirinya. Penulis tak ada niat apa-apa kecuali mencoba membongkar realitas sosial untuk bisa dipahami pembaca bahwa dalam Objek pembaca bukan tujuan utama yang utama tetap pada keberpihakan jiwa bisa menampung ide kepada siapa teks dipersebahkan untuk bisa dirasakan mengenai ide yang dihidupkan; ketika ide menyatu pada pembaca akan tercipta kehidupan baru.

***
Sastra ialah bentuk lain dari kebudayaan tapi esensi sastra akan selalu memberikan keindahan. Kebudayaan ciptaan manusia sastra sebagai alat manusia mencipta sebagai nama (seandainya tidak ada nama sastra akan diberi nama "karya keindahan") hasil dari proses dinamika manusia berinteraksi. Sastra sebagai jenis tulisan yang memilik arti atau keindahan dalam pengertian secara harfianya berasal bahasa sansekerta "sastra" menjadi "kesusataraan", beratikan teks mengandung intruksi atau pedoman. Makna lain dikenal dalam bahasa Indonesia " Kesusataraan: keindahan tertentu".
Maka sastrawan, penulis, novelis, cerpenis, dan bahkan esay-is akan selalu berusaha membaca sebagai pondasi untuk mencapai kedua hal di atas itu.

Pada akhirnya masyarakat tidak mau tahu apa asasl usul bahasa dan sastra mereka hanya ingin menerima teks apa yang telah dicipta seorang penulis. Serta menginterpretasi karya untuk menemukan makna, dan walau pada akhirnya kalau pembaca tidak menemukan makna dari teks maknai sendiri karena pembaca harus lebih cerdas dari penulis. Jangan hanya membaca sambil memasukkan tangan pada saku dan geleleng ketika tahu ketidak penulis disalahkan.

Mari mengaji dibulan suci agar kepeduliannya tidak hanya menimbulkan caci maki media masa sudah berjiwa suci setiap mau buka puasa status kolak dengan selogan "berbukalah dengan yang manis-manis" selogan ini tidak akan diterima bagi yang memiliki penyakit kencing manis. Ramadan apa yang kau dapat, menangkap dari ramadan kenangan mokel hanya ingin merokok tapi tidak makan: jika dituliskan apa yang bernilai dalam bahasa dan satra inilah kedua ilmu saling berkesinambungan.


Akhmad 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar