Sabtu, 25 Mei 2019

Hati Penentu untuk Berdamai

Kerja Hati: Berdamai dengan Keadaan

Beberapa hari lalu saya menuliskan tentang otak, atau kerja otak; saya mencoba untuk membahas kerja hati juga, agar organ tubuh yang disebut tidak iri. Bahwa ada hati lebih dalam daripada otak kalau otak logika dan kalau hati kerjanya naluri.

Kedua memiliki kecenderungan berbeda dengan logika berbicara tentang fakta dan data, naluri bekerja tentang kebenaran dan kerjenihan toleransi diri.

Kerja otak hanya mampu membuka mata manusia secara signifikan dirasa oleh realita. Dalam kenyataan bisa ditemukan geraknya, dilihanya, dan dilakukannya. Dan dampaknya secara gamblang bisa dibilang mampu dijelaskan dengan nyata lalu rasa membuka apa yang diterima oleh kenyataan serta akan cepat dalam menyerap.

Naluri bisa saja tidak bisa kita cerna oleh lagika, namun bisa dirasa tanpa penjelasan mata, naluri manusia akan berkerja tanpa cepat namun bisa dijadikan kita tranformasi jiwa dengan naluri, jauh akan selalu memburu lokalitas itu menjadi pembeda manusia namun mampu diterima.
***
Penjelasan manusia hanya bisa dirasa kala kedua kerja dalam bentuk laku. Lakon dari keduanya menjadi satu yaitu manusia yang digerakkan oleh dua fungsi yang berdialog setiap harinya kurang lebih dari 24 pembahasaan kala tidak hanya berjaya dengan satu cara. Cara yang hanya sama dalam setiap harinya dengan hari sebelumnya.
Hal yang pasti akan selalu memberi cara-cara sebagai arca prasasti yang ada sebagai contoh kerja kedua berfungsi.

Fungsi manusia bukan terletak pada hasil, namun ketika hati dan otak bisa berdamai pada satu sisi rasa kemanusian, ke-Tuhanan, dan Alam semesta selain manusia bisa merasakan ekspektrum kedua yang melahirkan sebuah cara mencipta estetika.

Estetika manusia bisa kita cerna, kala bisa membawa apa yang diterima dari Sesuatu waktu bukan hanya berada dalam bicara. Bahasa hanya kerja otak dan logika maka akan mudah kita temukan kala bahasa tidak bisa menyamai dengan lakonnya. Sebab bahasa bisa dilihat oleh telinga untuk bisa memberikan makna dengan mudah tanpa tafsir naluri.

Namun akan berbeda ketika berbicara tentang naluri; jika manusia bisa merasa ketika manusia mampu membaca secara dalam, hasil dari kerja hati yang tidak berbentuk sempurna. Contohnya rasa yang hanya mampu dilakukan dengan cara kemanusian bahwa dan memuliakan dengan cara mencintai dengan doa; dan hati hanya berkata bahwa ia akan menjadi bagian darinya, dan hanya dirinya bisa membawakan ia pada diri dan menjadi kita, dan kata itu berada di akhir kita kala saling membawa.

***

Kedua kerja yang ada dalam diri manusia tidak akan berpisah. Keduanya akan selalu berperan saling menopang mengahasilkan yang berupa rasa kemanusian, ke-Tuhanan. Manusia hanya bisa dirasa kala semua mampu mencerna segala tindakan manusia. Ketika ke-Tuhanan hanya bisa dirasakan kala kesendirian lalu membaca alam dengan dalam.

Apa yang membedakan luka dan suka; luka tidak akan banyak digemari, suka akan banyak menggemari. Pada dasarnya keduanya beda tipis dengan luka dan suka, ketika terselip tercipta, ketika efektif responsif dengan hati sedangkan logika akan bisa merasa yang dicerna logika pula.

"Hati akan melebur jadi satu karena hati manusia sama, maka semua yang dilakukan oleh hati akan mudah diterima oleh setiap manusia"

Dialektika akan hanya membuka logika, membaca akan membuka rasa naluri.
Lalu bagaimana hati bisa dirasa oleh logika sedangkan bentuk dan letaknya berbeda. Jalan satunya hanya kedamaian jiwa manusia mampu mencerna dan keluar dari jiwa dalam bentuk cara.

Darimana awalnya  rasa? Apakah dari dalam atau dari luar?
Manusia hanya bisa membuka dari dalam mencerna dari luar, logika hanya bisa memhami yang nyata.

Pikiran akan lebih luas, naluri lebih leluasa menerima yang sekiranya bisa diterima oleh jiwa, sebagai penentu dari apa yang ditangkap logika, lagi-lagi hati harus hati-hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar