Jika
kau ingin menjadi orang besar;
ingat
hanya ada dua harus dilakukan
“Berbicara
layaknya seorang orator
Menulislah
seperti halnya seorang wartawan”
(Umar
Said Hos. Cokroaminoto)
Kini
banjirnya informasi telah terjadi, setiap orang sudah bisa melakukan
praktik-praktik jurnalistik. Hingga kebingungan datang pada masyarakat. Dengan
adanya teknlogi sangat canggih hal itu melahirkan yang namanya juralisme warga, dan dinamika pers akhir-akhir ini menuai
banyak perbinjangan, mula-mulanya semua orang sepertinya telah tidak dibendung
lagi melakukan praktik Jurnalistik. Semua masyarakat melakukan praktik tersebut
tanpa kita kethaui bahwa ada banyak golongan; mulai dari masyarakat menengah ke
bwah dan menengah ke atas. Dinamika ini tidak lain dan tidak bukan tidak dapat kita tolak,karena
berkaitan dengan perkembangan zaman dan teknologi. Sehingga secara signifikan Praktik jurnalistik menjadi
bagian dari kehidupan masyrakat sehari-hari. Dengan banyaknya ladang media sehingga
melahirkan banyak paktik jurnalistik dilakukan tanpa melihat dari sumber,
seperti halnya air megalir tidak ada sumbernya walaupun airnya ada dan nyata.
“Apakah semua yang
dilakukan praktik-praktik Jurnalsitik itu sudah layak dijadikan berita?”
Dalam
sejarah jurnalistik cikal bakal lahirnya tidak bisa kita melupakan sejarah awal
terbentuknya dan pentingnya jurnalistik, bisa melihat ke Yunani Kuno (100-44
SM) dalam sejarah jurnalistik seperti menjadi refrensi awal mengapa jurnalistik
tercipta. Raja Jilius Cesar kegelisahannya bagaimana dirinya menyampaikan
informasi kepada masyarakat dan masyarakat bisa menerima apa yang akan
disampaikan dengan mudah, berdirilah sebuah “acta durma” dalam bahasa Indonesia “Papan pengumuman” (sejenis
majalah didingdan Koran tempel dimasa sekarang), dan pada masa itu tempat acta durma itu diletakan di forum romanum (stadium romawi).
Perkembangan
zaman yang kita kenal hari ini dengan sebuah revolusi industri pertama ditandai
dengan munculnya mesin cetak pertama yang ditemukan di Germany. Sebagai
dobrakan baru dalam perkembangan dunia yang baru. Hingga sampai hari ini
terciptalah perkembangan industry yang dikenal dengan 4.0. hal itu akan menjadi
salah satu factor perkembangan zaman dan juga pers atau media.
Perkembangan
pers di Indonesia sejak Belanda masuk ke Indonesia sudah ada. Namun tidak
mungkin mereka seorang penjajah tidak memiliki kepentingan membangun lembaga
pemberitaan. Singkat cerita bapak pers pertama di Indonesia Tirto Adi Suryo
yang menderikan pers pertama bernama Medan Priyai, tidak lain memiliki tujuan
positif terhadap warga Negara Indonesia untuk menyadarkan bahwa pentingnya
merdeka, dan bisa dikatakan isi dalam berita berupa propaganda untuk
menyadarkan masyarakat. Dan hari ini pers di Indonesia menjadi pilar ke-empat
demokrasi, jika tidak ada pers Indonesia tidak bisa menyiarkan kemerdekaan.
***
Sebuah
kebenaran sepertinya sudah tidak dapat dibendung lagi. Masyrakat sudah bisa
menerima kehidupan dengan suguhan yang begitu gambalang. Tidak lain dan tidak
bukan bahwa hal itu mendapat kecenderungan membendungnya dengan banyaknya
informasi. Indikasi penyebaran hoax dan
orang yang sering menerima hal tersebut bisa kita temukan dalam
kalangan-kalangan terpejalar,akademisi, dan orang-orang melek media, dan bagi
yang gagap media bisa dikatakan hal yang beruntung karena tidak terlalu
terkntaminasi dengan banyaknya informasi.
Jika berbicara
kebenaran teringat dengan sosok semangat yang tekun menulis masih belum
tertandingi sampai hari ini, tulisan maestro dikenal di Kompas sebagai pendekar
pena Mahbub Djunaidi dalam salah satu tulisannya yang bebunyi;
“Jika
kebenaran dunia ini ditulis secara gamblang maka akan mudah dunia ini hancur”
Dari
perkataan itu bagaiamana bisa memberikan makna yang tepat. Kita sadari ketika
seorang jurnalis selalu berusaha nangkap momentum yang tepat sebagaimana bisa
mendapatkan berita yang memiliki fungsional, dan berdampak hal itu akan menjadi
pertarungan sebuah idealis kita dalam mempertahankan dan bisa menyikapi hal
itu. Dinamika akan selalu menjadi kejutan dalam realitas sosial. Bisa
menguntungkan dan bisa juga merugikan itu seperti menjadi rumus dalam hidup
tidak dapat dihapuskan namun bisa diimbangi dengan kesadaran manusia.
***
Berbicara
dengan banyak informasi banyaknya hoax. Hoax ketika analisa secara harfiah
sebuah berita keboongan. Jika berbicara kebohongan kita tahu jenis-jenis
kebonhongan terdiri dari fitnah, kebohongan, dan hasutan sbg. Kita sadar dengan
hal itu, namun yang menjadi masalah besar dengan seperti apa kita bisa membuka
ruang dengan meghindari atau tidak terjebak pada lingkaran itu, dan lebih
baiknya lagi memberikan sebuah fungsi baik terhadap kehidupan sosial
(bermanfaat dengan sesama) dalam mencerdaskan masyarakat untuk bisa memilah dan
milih mana berita yang baik dan benar mana yang buruk tidak baik, untuk
dikomsumsi.
Kata
kunci mengatasi dari hal di atas kita akan menelisik dari kegemaran masyarakat
kita. Pertama kita masih dalam tatanan masyarakat paling rendah yang pernah di
riwayatkan Alm. Gus Dur tingkatan manusia sosial itu ada tiga tingkatan; Oral,
Mendengar, dan Menulis. Tingkatan ini menjadi dasar arah pemikiran kita bahwa
ketika berbicara ketiga perkataan tersebut salah dua masuk pada ranah
praktik-praktik dunia literasi yang
terdiri dari “baca dan tulis”, kedua ini berkaitan dengan masyarakat yang tidak
kuat dengan hal ini akan mudah termakan hoax dan menyebarkan hoax, bagaimana
mungkin ketika semua sudah menggerogoti kita tanpa sadar bahwa kita tidak sadar
dengan membaca kita lemah.
Mengapa Negara kita
mudah keos, dan sepertinya mudah terprofokasi kita bisa kaitkan dengan tingkat
baca warga Negara kita. Dari 62 negara yang diteliti oleh Unisco pada tahun
2016 Indonesia nomer 2 di atas Thailand dan kalau di bwahnya ada Boswatna,
nomor dua dari bawah.
Hal
itu bukan hanya berhenti ketika kita tahu. Ketika kesadaran kita sudah
menyentuh naluri maka kita perlu sebuah tindakan yang konkrit minimal tidak
membuat Negara kita tidak terpuruk dengan tindakan paling sederhan kita
lakukan, sekiranya tidak merugikan orang lain dan hal itu menjadi peluang besar
pada masyrakat dengan cara mendekatkan diri dengan bergerak sesuai dengan apa
yang kita mampu. Sesuai dengan kemampuan setiap individual namun tetap berada
dalam tatanan menjalin kerjasama dengan masyarakat baik untuk melakukan sesuatu
hal secara komunal dalam kebaikan.
Trah
masyarakat akan tetap berada dalam koridor yang mesih relevansi tidak
konservatif namun selalu solutif. Masyarakat dengan trah baik akan memberikan
kebaikan pula terhadap kepentingan Negara, agama, dan kebudayaan. Jika Gaptek
belajar untuk melek teknologi yang bisa menunjang kehidupan masa kini bukan
hanya sekedar sadar namun juga harus memberikan edaran sebuah kebaikan
sebaimana fungsi manusia.
Pesan
terakhir hati-hati dengan Yallow
Jurnalisme karena itu akan menjadikan kita berubah, karena sebuah kajian
psikologi memberikan sebuah istilah apa yang dikomsumsi manusia atau lebih
tepatnya manusia membaca, bacaan tidak baik akan mempengaruhi psikologi kita,
dalam psikologi Freud yang terdiri dari ID, Ego, dan Superego ketika itu
bejalan normal maka semestinya akan menjadi manusia yang baik.
Kita
saling belajar bukan saling mengejar kebesaran jiwa, duduk diam akan tidak
menghasilkan apa-apa berpikir diam akan melupakan yang ada, maka dunia ini
bergerak sesuai trahnya makamanusia jika tidak ingin terombang-ambing arus maka
bergeraklah sehingga kehidupan kita seimbang dengan gelombang bumi.
***
Sembilan Elemen Jurnalisme ditulis oleh Bill
Kovach wartawan The New York Times, kurator Nieman Foundation di Universitas
Harvard dan Tom
Rosenstiel wartawan The Los Angeles Times Tiga tahun, wawancara
1,200 wartawan dan 300 lagi dalam fora.
Kebenaran
dan wartawan, Loyalitas utama, Esensi jurnalisme adalah verifikasi, Wartawan
harus independen, Jurnalisme harus memantau kekuasaan, Jurnalisme sebagai forum
public, Jurnalisme harus memikat sekaligus relevan, Berita harus proporsional
dan komprehensif, Mendengarkan hati nurani,
Terima kasih
Kepanitia Sekolah Pendekar Pena
Salam hormat; Akhmad Mustaqim
Selamat berdiskusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar