Rabu, 29 Mei 2019

Kesadaran Agama dan Politik di Madura

Kesadaran; Agama dan Politik

Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 telah berlalu, namun tidak ada habisnya jika berbicara tentang pemilu dan perpolitikan di negeri ini. Hiruk pikuk pandangan tentang Pilpres dari prapemilu hingga pasca pemilu masih menyisakan pilu. Banyak kejanggalan dan ketidakwajaran dengan pada setiap pesta demokrasi berlangsung. Beda zaman berbeda pula permasalahan, bahkan cara penyelesaiaan pun akan berbeda.

Dari awal mula pemilu akan berlangsung tgl 17 April 2019. Mulai dari kampanye paslon hingga sampai dengan penyelengaraan memiliki ciri berbeda. Semua paslon seperti halnya orang yang ban mobilnya masuk ke lumpur dan meminta tolong pada orang-orang mendorong untuk bisa keluar dari lumpur itu. Sangat pelak banyak cara merayu para kepentingan membujuk para rakyat, khususnya rakyat kecil awam terhadap politik.

Kejadian yang ada di masyarakat tentunya berbeda dengan para aktor politik di atas yang koseptor, dan sebagai kontributor penggerak masa dengan banyaknya sokongan dana, sebagai pelopor partai ataupun sebagai tim suksesnya para paslon.

Nadi seorang penentu ada pada rakyat, siapa yang bisa memegang hati rakyat dan membaca kebutuhan rakyat dan bisa memenuhi pasti rakyat akan memperhitungkan dan bisa membelanya dengan dukungan suara tentunya. Bahkan rakyat sebagai objek bukan sebagai subjek demokrasi itu sendiri. Menjadi objek para aktor penggerak itu.

Dalam dinamika sosial politik bahkan bisa saja rakyat menjadi korban dari kriminalisasi demokrasi, yang tanpa ada dasar hukum hanya kesepatan menjanjikan sebuah program kerja yang mulia pada kita. Selain itu juga dewasa ini rakyat menjadi korban sebagai praktik politik tidak sehat para kepentingan orang-orang di atas yang memiliki ambisius menang dengan lancar, semua keinginan sepertinya sama dengan paslon lain kemengan menjadi tujuan awal dan akhir baginya.

Dalam memiliki tujuan itu, saya memiliki 2 katigori yang ada dalam diri manusia, sebagai analisa sederhana bisa dibedakan; dari keinginan yang "Serius" dan keinginan yang ambisius. Hal itu bisa dilihat dari proses dan hasil dari proses itu. Jika yang serius tentunya para paslon akan senantiasa melakukan ihktiar sesuai dengan koridor yang berlaku dan tentunya akan senantiasa melakukan sebuah proses sesuai dengan keinginannya, dan walaupun nanti tidak berhasil sesuai harapan para kaum serius akan senantiasa nerima dalam bahasa jawa nerima ing pangdum, kesadaran akan semua ikhtiar hanya sebagai tugas manusia, bagi penentu pasrah pada yang Kuasa.
Jika pada keinginan kedua yaitu "Aambisius" semua keinginan akan ingin digapai dengan cara hasil yang ingin didpaatkan, terkadang lupa akan prosesnya karena tujuan utama mencapaian. Hal tersebut bisa dilihat dari proses awal dan akhirnya pula, jika pada awal mungkin ada yang melakukan proses sesuai prosedur, namun ketika melihat hasilnya dari orang serius tidak akan selalu menerima dengan lapang terkadang masih ada ketidak puasaan atas hasilnya, tepatnya tidak menerima ing pandum.
Kedua Perspektif di atas menjadi refleksi bagi kita semua dalam menilai semua itu dengan rasa kemanusian.

***

Sebagai masyarakat melek dan kuat literasi semuanya akan bersyukur dengan apa yang terjadi pada keadaan negeri ini. Karena melek dengan dinamika sosial hanya bisa diimbangi dengan membaca, dan mencoba skiptis dengan banyaknya informasi, semua seperti berperang di media lantaran dunia sudah masuk ke zaman "Pustruth". Kebenaran telah menjadi perang utama dalam memfreming apa yang diterima; sosial media mampu menggiring kebenaran pada sebuah kesadaran, namun kesadaran menciderai naluri yang memiliki pendirian. Jika memilih kebenaran dengan kebijaksanaan manusia lebih tepatnya harus bisa mengontrol diri dengan kebijakan diri yang memiliki kedaiamaian bukan kerusuhan atau bahkan menjadi aktor kekeosan rakyat.

Masyarakat khususnya di Madura sudah cerdas dalam memilih atau memang apatis terhadap Pilpres. Karena telah tak susuai kala jadi, hal dikatakan distras; seolah-olah kebenaran sudah menjadi tidak diterima oleh masyarakat karena terlalu banyak menerima ketidak selearasan apa yang masyarakat harapkan; dari para aktor pioner atau pelopor.

Pada tahun ini Pilpres ini bisa dikatakan keos; semua seperti pisah dari kepentingan kiayi, jika dulu kiayi sebagai orang utama diteruti karena menganggap bahwa ulama atau kiyai itu sebagai tiang Agama sebagaimana harus dibela. Hal itu berputar balik berbeda dengan tahun ini. Masyarakat serasa sudah mampu menjadi sekuler tidak mencapur adukkan kepentingan Agama dan Politik. Bisa dilihat hasil dari apa yang difinal tgl 21,Mei hasil dari perhitungan KPU. Bahwa Madura tidak banyak hasil dari paslon 01, yang jadi Wapres-nya seorang kiyai dan hasil signifikan Madura tidak maksimal dengan hasil itu.

Kesadaran masayakat ada yang dibentuk adapun yang praktis. Kontruksi sosial akan membetuk manusia pada posisi dan fungsi dirinya. Kuktural akan bisa dibangun kala kaum cendikiwan, kiyai, dan para blatirisme di Madura memiliki peran akan mengawal sebuah tujuan utama, ketika semua bisa bekerjasama akan tercapai cita-citanya.

Akhmad 2919

Tidak ada komentar:

Posting Komentar