Rabu, 08 September 2021

ROKAT DAN HAL-HAL LAIN

Di daerah tertentu ada cara paling baik menghormati malam satu suro. Tentu, mulai kapan dimulainya, asumsiku dari dulu hingga sekarang akan punya cara paling sederhana, bahkan yang luar biasa. Saat zaman telah berkembang. Salah duanya yaitu; mensucikan pusaka dan melakukan rokat. Saat malam satu suro melakukan ritual mensucikan keris, entah itu dengan bunga melati atau dengan bunga kamboja, dan bahkan hanya dengan air putih biasa, terpenting mengejar moment satu suro. Itu yang melekat hingga kini dalam ingatan. Saat di perantauan atau di kampung halaman. 


Adapun, yang lebih dimeriahkan lagi. Saat-saat awal tahu malam satu suro. Salah satu masyarakat yang hidup di lereng bukit Rong Marong, nama tempat tersebut. Di atas bukit ada kuburan keramat. Konon. Di daerah lereng bukit, terletak di deretan rumah paling ujung utara, tidak ada rumah lagi, di paling ujung. Dan di rumah tersebut ada salah satu juru kunci dari bukit tersebut. Setiap tahun awal tahun 1 Muharram, dan kalau daerah tersebut menyebut 1 suroan dengan menyelenggarakan kegiatan yang spiritualis, seperti melakukan 'rokat gunung,' serta masih banyak kegiatan spiritual lainnya, sehingga menjadi tradisi.


Pada intinya, kegiatan rokat yang diselenggarakan tersebut mengajarkan kita pada kehidupan yang bergotong-royong potret kehidupan paling sederhana tapi luar biasa manfaatnya. Karena di daerah tersebut persatu tahun ramai daerahnya, mengingat satu tahun yang jarang berkumpul. Tepat, daerah tersebut merupakan daerah kalau hari besar lebaran haji (Idul Adha) ramai, dari banyaknya perantau pada pulang, dan pemuda-pemudi seringkali berkumpul (cari kesibukan saat di kampung halaman). Karena kalau di perantau sibuk mencari uang. Saat di kampung halaman itu, moment berkumpul dan melakukan sesuatu yang bermanfaat. Ya, walaupun ada juga tidak melakukan hal yang bermanfaat. Itulah pilihan idealnya aktivitas positif. Sering hal sosial dilakukan yang sederhana dilakukan yang sekiranya umum bisa diterima oleh banyak orang di daerah tersebut. Karena tidak terlalu banyak mengeluarkan gocek uang besar. Kecuali ketua panitia penyelenggara ada saja yang dikeluarkan, tentu, kalau dihitung secara matematika akan rugi. Namun, bagi penyelenggara bukan rugi atau tidak, melakukan hal tersebut, tapi hikmah dan ada nilai spiritual yang tidak dapat dijelaskan secara rasional, jadi kekuatan, dan walaupun kadang memaksa melakukan setiap tahun. Menyelenggarakan rokat. Dan ia selalu melakukan.


Di hari yang terasa lambat. Bagi ia yang tidak punya beban tanggungan karena harus menghabiskan waktu kalau dihitung secara matematika rugi. Terasa cepat hari bagi ia yang tidak punya beban tanggungan karena tidak perlu memikirkan banyak hal dengan rumus matematika, asal bisa hidup dan melakukan sesuatu kebaikan tak dipikir bahagia atau tidak, terpenting menggelar. Dan ada nilai plus serta kebahagiaan tersendiri yang sangat bernilai. 


"Rokat Gunung" frasa yang pantas dibahasakan. Secara etimologi memiliki arti 'syukuran gunung' yang sering dilakukan secara serentak bersamaan oleh masyarakat kampung Konyik. Kegiatan tersebut punya nilai dan sudut pandang masing-masing secara pandangan agama maupun budaya. Secara agama akan dimaknai 'syukuran di bulan awal tahun satu suro' adapun secara budaya dimaknai 'membuat kebiasaan gotong royong mengingat leluhur yang telah tiada, yang punya nilai perjuangan di daerah tersebut.' Begitulah, kurang lebih makna secara kultural maupun secara struktural dalam makan kebahasaan. Walaupun itu belum diresmikan makna sebenarnya secara luas, tapi diakui dan dapat dipertanggung jawabkan.


Adapun, di Masyarakat tempat tersebut, selalu antusias menyambut serta menyelenggarakan kegiatan tersebut setiap tahun. Setiap daerah tersebut memiliki moment paling berkesan bagi masyarakat Kampung Konye', Desa Alasrajah, Kec. Blega, Kab. Bangkalan, Madura Jawa Timur. Kultur masyarakat yang ramai-ramai melakukan kebaikan menjadi aroma baik serta nilai lebih tersendiri. Jika dibandingkan dengan keburukan yang memang selalu disembunyikan, dan seburuk-buruknya daerah keburukan akan selalu disembunyikan. Entah secara bersama maupun secara individual akan punya nilai tersendiri. Sebab, itu dikatakan aib, maka aib daerah mending dijaga, jangan diumbar. Bahkan ada perkataan "lebih baik kamu berbuat tidak baik tidak di wilayah sendiri, daripada mencemar tidak baik di tanah kelahiran. 'Tanah kelahiran harus dijaga.' Itu penting!" Begitulah kurang lebih untuk tetap menjaga daerah dari satu sisi secara kultural. Namun, secara spiritual akan punya nilai yang telah berlaku di pedoman kitab dan hadits: baik dan buruk yang telah ditentukan. 


Rokat tersebut sebenarnya punya nilai tersendiri dari segi kehidupan individu yang sederhana, itu menjadi potret. Kalau dilihat secara kultural sangat terasa. Karena orang-orang yang ikut kegiatan tersebut hanya cukup bawa jajan dengan jumlah 1--5 jajan pasar (camilan yang harga terjangkau) dengan berbeda merk, mungkin untuk harga hanya 500 rupiah saja. Kalau ada yang rela bisa lebih--sehingga bagi yang sangat parahnya cukup bawa kerupuk satu biji dengan itu bisa mengikuti kegiatan sepuasnya. Bahkan kalau beruntung pulang dari kegiatan tersebut pulang-pulangnya bawa makanan yang banyak. Karena setiap yang bawa jajan ke rokat akan diletakkan di pohon-pohon samping titik kumpul. Seperti biasa kegiatan usai, tentu saat doa selesai tanda kalau jajan dan makanan sudah boleh dimakan serta diperebutkan. Begitulah. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar