Minggu, 12 September 2021

POHON DAN HAL-HAL LAIN

Setiap mengingat hal yang berkesan, yang ada dalam ingatan, perlu diam dan berpikir sejenak. Apalagi mengingat mengenai aposteriori di masa kecil atau masa di kampung, tempat bermain. Apalagi moment mengingat di sekeliling rumah atau tempat yang sering diingat, karena sering dilewati. Untuk mengingat apa yang ada di dalam masa lalu mengenai pohon--cukup dengan memegang lengan kiriku--yang dulu pernah jatuh dari pohon belimbing. Saat itu sumpah serapah tuk naik lagi tidak, ingin diulangi lagi. "Ya, minimal ini bukti bentuk sebagai bocah yang nakal. Ada pula anggapan kalau memanjat pohon sebuah simbol lelaki yang pernah nakal di masa kecil. Karena berani naik pohon itu baik. Karena dengan seperti itu keberanian diuji, dan selain itu juga berguna saat ada orang meninggal atau acara dadakan lainnya. Yang waktu itu, belum ada kertas minyak, piring yang banyak, dan wadah yang pantas, kecuali daun jati, menjadi wadah makan. Dan orang bagian dapur, biasa cari anak yang bisa naik pohon. Adapun asumsi lain, yang nanti bisa dijadikan tolok ukur, itu tidak perlu dibenarkan, tapi ada kebenaran secara subjektif punya nilai kebenaran tersendiri. 

Pohon di samping rumah beragam jenisnya, Ada beberapa jenis pohon; pohon jati, pepaya, sukun, kedondong, kenitu, dan jambu gigit. Setiap musim berbuah secara bersamaan tapi kadang tidak, dan di rumah sering ramai dengan orang-orang datang, meminta buah-buah dari pohon tersebut. Kalau sudah berbuah dan sudah dapat dimakan. Mereka datang dengan banyak alasan, ada yang karena suka atau istrinya yang ngidam. Walaupun, setiap musim tidak tentu bersamaan berbuahnya. Tapi, selalu jadi harapan setiap warga di samping dan orang jauh datang. Ada yang sengaja menukar dengan ikan hasil nelayan. Tukar-menukar yang sebenarnya tidak disengaja, tapi sering ikan dan kedondong ditukar, di rumah. sering terjadi setiap musim. Hal ini menjadi tanda kalau ada keeratan kerabat, dan diingatan itu melekat.


Hal ini, mula-mula yang sering ditemukan di lingkungan kampung saya. Adanya pohon-pohon tersebut jadi salah satu alasan keluarga punya kreativitas bercocok tanam yang baik. Walaupun keluarga menanam pohon-pohon tersebut bukan untuk komoditas, melainkan hanya menanam untuk dimakan keluarga, atau hanya sekedar menanam tanpa memikirkan untung di masa depan. Ya, kalau diniatkan mulia ingin saja memberi manfaat kepada sekitar. Tapi, itu terlalu mulia, keluarga hanya menanam saja. 


Banyak faktor kalau dipandang secara kasat mata. Menanam dengan tujuan yang iseng atau dengan tujuan yang serius untuk menghasilkan, sekaligus membantu ekonomi--yang lainnya, seperti beras, gula, dan kebutuhan pokok lainnya yang tak dapat dihasilkan sendiri. Dan hal itu tidak tampak dalam diri bapak saat menanam pohon-pohon tersebut, semua hanya sekedar tanam tanpa memikirkan fungsi dan manfaat. Itulah yang dirasa baik, tapi tidak tahu definisi dan teori baik. Tapi, secara tidak langsung mempraktikkan. 


Sebenernya pohon-pohon yang ada tersebut merupakan salah satu cara keluarga untuk berbagi. Sebab, keluarga tidak banyak sawah yang semestinya menjadi ladang untuk berbagi kala panen padi, kacang, dan jagung, kala musim panen--yang biasa tetangga lakukan, tuk berbagi.  Hal tersebut punya alasan tersendiri. Kalau berasumsi, keluarga di rumah menanam pohon, hanya sebagai seni keindahan atau kesenian menanam, tanpa memikirkan keuntungan. Tentu itu jadi masalah dan menjadi tidak baik di mata orang-orang (tetangga). Karena mereka menganggap "hidup tidak realistis." Sehingga melakukan hal yang cuma-cuma. Kalau kata lagunya Rita "Percuma." 


Di masyarakat pedesaan pohon yang ada di sekitar rumah jadi simbol sekaligus atribut  identitas. Jika di rumah ada pohon kenitu saat ada orang bertanya alamat, akan mudah orang menjawab, contohnya kalau ada orang tanya rumah Nilan. Jawabnya tentu begini, "rumahnya Nilan yang ada pohon kenitu depan tegasnya!" Hal itu yang akan terjadi dan pohon akan jadi atribut identitas seseorang.


Adapun di daerah Sulawesi Selatan, Toraja, Makasar, bahwa ada pohon yang unik dan tidak ditemukan di daerah lain. Mungkin. Hemat saya sangat baru dalam pikiran dan bukan sekedar jadi simbol, tapi tempat sakral. Dalam cerpen berjudul "Di Tubuh Tarra dalam Rahim Pohon" cerpen yang terbaik versi Koran Kompas (2014) karangan Faisal Oddang. Cerpen tersebut mengisahkan pohon yang dijadikan ritual sakral dijadikan tempat penguburan bayi yang meninggal. Pohon menjadi penyimpanan bayi meninggal. Lalu setelah dilakukan ritual tersebut langsung dimakamkan di pusat tambang. Ini berlatar di Toraja Makassar. Hal ini bukan sekadar simbol penghijauan atau tempat berteduh saja. Tapi pohon ada yang dipercaya akan membawa orang suci ke surga. Tentu, ini tidak keluar dari unsur-magis magis.


Adapun dalam hal ini sering terjadi di kampung, desa, dan kota. Ada yang memiliki pelbagai asumsi ada beranggapan-kepentingan ekologis-kalau ada "pohon besar" biasanya dipercaya ditempati genderuwo, narasi umumnya jadi tempat sengit." Perspektif ini, salah satu gerakan masyarakat yang ingin melindungi pohon-pohon. Atau gerakan ekologi menjaga alam, untuk terus melindungi alam. begitulah alasan sederhananya. 


Dari apa yang telah dilakukan oleh keluarga dan masyarakat dalam melakukan tindakan baik. Akan ada dampak baik dari seorang untuk saling menjaga dan tetap menaruh harapan pada pohon-pohon yang ada di sekitar kita. Tentu, dalam hal ini memiliki fungsi secara baik dalam kehidupan kita. Sebab secara tidak langsung hubungan sosial, serta hubungan dengan alam yang begitu dekat antara satu sama lain, dapat terjalin. Sehingga hubungan sosial dan alam berjalan dengan baik dan lancar. Sehingga kesadaran manusia akan butuhnya oksigen sangat besar. Dan sadar bahwa tumbuhan punya peran dalam menghasilkan oksigen dari tanaman lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar