Rabu, 15 September 2021

ALBERT CAMUS DAN SAMPAR

Sudah lama saya mengagumi pemikiran Albert Camus, yang sederhana kadang juga rilit dalam kehidupan sehari-hari. Pendiriannya yang begitu kental diterapkan dalam hidupnya, yang dikenal dengan sebutan yaitu 'absurditas'. Salah satu perkataan yang diingat "hidup itu memang absurd, tak perlu banyak memiliki keinginan, di depan harus dijalankan!" Begitulah kurang lebih yang dikenal pandangan sederhana, ia menyampaikan di dalam karangan Sisipus. Kekosongan tersebut yang penuh dengan tanda tanya dan terus dijalani. 

Pada novel Sampar (Le Peste) dalam bahasa Perancis, ditulis oleh Albert Camus. Mengisahkan tentang kehidupan manusia yang punya tiga kepribadian di masa 'Sampar yang merajalela di Perancis masa itu. Pada saat wabah telah merajalela di masyarakat. Ada tiga karakter manusia; 1) masyarakat memanfaatkan, 2) merasakan dampak luar biasa, 3) seorang dokter memiliki peran ganda untuk bekerja. Begitulah kurang lebih pandangan sederhana dari seorang Albert Camus, yang mana kalau dikaitkan dengan kondisi covid 19 ini sangat relevan ketiga karakter masyarakat tersebut.


Untuk membaca karya Albert Camus, pertama-tama kita sebaiknya membuat rencana. Lalu kita bertemu berhalusinasi dengannya, karena kita akan memerlukan waktu, tuk memahami. Kita tak mungkin hanya singgah. Pertemuan dengan dia dengan tergesa-gesa tidak akan membekas segorespun di naluri ataupun kepala. 


Oleh karena itu, sebagai pembaca mempunyai niat membaca Albert Camus. Dengan demikian, kita akan punya kekuatan mengikuti jalan pemikirannya   --dengan demikian bisa melihat jelas apa yang dimaksudnya. Untuk setuju atau tidak, itu harus dipisahkan masalahnya. 


Pengalaman bergaul dengan karya Albert Camus hingga terjemahan ini selesai, punya rasa berbeda dalam batin, terasa kaya. Bahasa Perancis jauh lebih berumur daripada bahasa Indonesia. Lika liku teknik dan nuansanya hanya dapat disejajarkan dengan bahasa yang saya kenal dengan baik, yaitu bahasa Jawa. Dan Camus memiliki gayanya yang khas, yang amat sukar untuk diremehkan atau diganti dengan kata atau kalimat 'sederhana namun terjual,' mungkin dikehendaki oleh para penerbit tertentu. 


Saya mencintai dan menghormati pengarang si Albert Camus. Dalam kedua perasaan itu juga terkandung kekaguman. Maka saya berusaha keras untuk tidak 'merusak' jiwa/ame yang menghidupi buku "SAMPAR" ini. 


***


Tahun 1952 dunia sastra Perancis diguncangkan oleh pendidik antara dua periksa: Camus--Sartre. "Aku memberontak' jadi aku ada", kata Camus. 

Sedangkan Sartre mempunyai ucapan lain, katanya, "aku berpikir, maka aku ada". 


Rasa simpati yang sejak lama mereka miliki satu terhadap lainnya tidak menghalangi kedua pengarang itu untuk gigih mengukuhi pendapat masing-masing. Mereka mempunyai latar masa tumbuh yang berbeda. Jiwa manusia ditempa oleh lingkungan dan masa lalunya. Sartre dibesarkan dalam keluarga borjuis' hidup dengan serba kecukupan. Kebalikannya, Camus mengalami masa muda yang serba prihatin. 


Tanggal 7 November 1913, di Modovi (Algaria) waktu menjadi jajahan Perancis. Albert Camus dilahirkan di tengah kemiskinan. Setelah setahun kemudian, ayahnya gugur dalam pertempuran Marne di Perancis, pada Perang Dunia I. 


Dari Sekolah Dasar, Camus mendapatkan beasiswa masuk Sekolah Menengah (Iycee d'alves 1923--1930). Karena terkena penyakit TBC, studi kelanjutannya di bidang filsafat terputus-putus. Pada tahun 1933 dia menikah, namun hanya berlangsung satu tahun. 


Di tahun 1937, beberapa waktu setelah menjadi wartawan, dia menapakkan kaki di bidang sastra dengan menerbitkan kumpulan cerita yang diberi judul "L'envers et I'en droit." Di dalamnya dia memaparkan perasaan kepahitannya terhadap kehidupan. Lalu dia memutuskan untuk meninggalkan Algeria, ingin melewati Eropa. 


Pada tahun 1938 dia tiba di Perancis. Dan tahun 1940 kawin untuk kedua kalinya. Ketika perang Dunia II meletus, dia menjadi kepala redaksi di koran Combat. 


Albert Camus selalu melibatkan dirinya ke dalam kejadian dunia dengan menunjukkan sikapnya. Tidak seperti Sastra, bagi Albert Camus masalah-masalahnya tidak hanya 'berpikir,' melainkan 'bagaimana hidup.' Esai filsafat Le Mythe de Sisyphe muncul pada tahun 1942 mewakili aliran absurditas, hal yang tidak masuk akal, sukar diterima pikiran sehat. Mitos Yunani kuno itu menceritakan bagaimana orang yang bernama Sisyphus menjalani hukuman para dewa terhadap dirinya, yaitu untuk selamanya harus mendorong sebongkah batu besar ke puncak gunung. Setelah batu tersebut sampai di atas, batu itu meluncur sendirinya ke kaki gunung. Lalu Si Sophos mendorong lagi ke arah puncak, dan demikianlah seterusnya. Karena beberapa alasan, para dewa berpendapat bahwa tidak ada hukuman yang paling mengerikan selain melakukan pekerjaan yang tidak berguna serta tanpa harapan. Itulah penjelasan Albert Camus.




*beberapa tulisan diambil dari buku pengantar "Sampar" karya Albert Camus yang diterjemahkan di dalam bahasa Indonesia oleh Alm. NH. Dini. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar