Senin, 20 September 2021

KRITIK, SASTRA, DAN KRITIK (AN): DEA ANUGRAH

  

Walaupun Dea Anugrah, memberikan pandangan lain mengenai apresiasi sastra, kalau kritik sastra tahun ini tidak laki, sama dengan tahun lalu. Pernyataan di akun twitter @wildwestraven (Dea Anugrah): Senang lihat daftar nomine Penghargaan Sastra Badan Bahasa isinya tidak laki semua spt tahun lalu. Mungkin ini berarti penyelenggara mau mendengarkan kritik, dan mencari buku2 bermutu selain yg dikirimkan kepada mereka. Semoga untuk seterusnya. Selamat buat kawan2 yg terpilih! Pernyataan sosok Dea Anugrah seorang penulis buku Misa Arwah, Kertas Basah, Bakat Menggonggong, dan buku esai Hidup Begitu Indah hanya Itu yang Kita Punya. Serta pernah lolos untuk berangkat ke Mexico residensi penulis 2017. 

Sebagai tokoh yang perlu diperhitungkan juga oleh saya sebagai orang yang masih sangat awam dunia sastra. Bahkan salah satu penulis puisi yang dikagumi. Dea Anugrah dengan nama di pencarian google, ditemukan sebagai penulis. Tidak mungkin pernyataan di atas tanpa dasar, pasti tidak kurang referensi baginya. Ada apa di dalam nominasi sastra, khususnya pada pilihan esai kritik sastra yang telah dipilih yang akan diberikan pada tgl 28, Oktober 2021. 

Buku esai kritik sastra, mendapat kritik. Hal ini tidak mengurangi rasa yang ada pada buku. Bahkan tidak mengurangi kualitas pengkritik. Dea Anugrah mengatakan kembali dalam sambungan status di twitternya; Sy bayangkan, kerja juri pun jadi lebih enak. Memilih yang terbaik di antara banyak karya yang baik tentu lebih menyenangkan dibanding mencari jarum di tumpukan jerami. Narasi yang diberikan tersebut membuat, saya seorang awam tentu terngiang-ngiang kalau ada sesuatu yang ganjal, atau harus berpikir positif mengenai tugas seorang, tidak tahu baik atau buruk, tapi bagian dari usaha baik.


Pengalaman Bacaan Subjektif 

Saya sebagai pembaca yang jauh dari kata gelandangan membaca, hanya merasa beruntung telah diberikan kesempatan dari kedua buku kritik sastra tersebut yang telah dinobatkan sebagai pilihan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia 2021. Buku pilihan esai kritik sastra berjudul "Jalan Kritik Sastra" karya Yusri Fajar dan  "Sebelum Lampu Padam" karya Abdul Aziz Rasjid. Mendapat nominasi kategori esai kritik sastra. 

Tahun lalu tepat tahun 2020, Mas Deni meminta saya meresensi buku penulis asal Cilacap Abdul Aziz Rasjid dengan judul "Sebelum Lampu Padam" terbit di Pelangi Sastra Malang 2020. Buku tersebut berisi tentang esai penjelajahan sebelum menulis karya sastra, hemat saya kurang lebih berisi tentang silsilah bacaan seorang penulis yang ketat--dengan jauh maupun pembacaan dekat--dipaparkan secara jelas dan detail, mulai penulis luar negeri hingga dalam negeri tersampai di buku tersebut. Resensiku berhasil menembus di koran Jawa-pos Radar Madura dengan judul "Kiat Sukses Menjadi Penulis Besar" termuat pada (12, Mei 2020). Begitulah pengalaman bacaan yang dapat dibaca.

Ternyata, Tuhan merahasiakan sesuatu, mungkin. Tapi, yang jelas secara tidak langsung dan secara tidak bersama, selang tepat tanggal (18, September 2021) disalah satu portal online Alif.id memuat tulisan resensi buku yang berjudul "Jalan Kritik Sastra Poskolonial dan Ekokritik" ditulis oleh Dosen Yusri Fajar. Buku yang berisi tentang kritik terhadap karya sastra terhadap inter-tekstualitas maupun teks, yang dimulai dari mana bagaimana mengkritik puisi, cerita pendek, novel, naskah drama, alih wahana karya sastra dan bahkan film. Namun, bukan berisi tentang cara-cara baik atau ideal, melainkan cara tersebut paling tidak jadi pelengkap atau bisa jadi alternatif referensi awal mula mengenal 'analisis teks yang baik dan benar, dan kompleks.' Kurang lebih demikian isinya. Akan tetapi, saya mereduksi isi tersebut setelah dikirimkan ke media menggunakan judul "Dari Minim Kritikus ke Jalan Kritik Sastra". Bisa dibaca di links Alif.id kolom resensi buku. 

Kedua buku tersebut kini mendapat nominasi buku terbaik versi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang hadiahnya akan diberikan pada peringatan bulan Bahasa 28, Oktober 2021. 

Di masa pandemi seperti ini, tentu tidak semua orang bisa survive menghadapi hidup penuh ketakutan atau hanya sekedar merasakan itu. Namun, tidak merasakan dampak lebih keras lagi, seperti apa yang terjadi di lingkungan kita para penjual kaki lima serta masyarakat berharap dari hasil hari ini untuk makan, dan untuk membiayai hidup keluarganya. Beruntunglah yang tak merasakan demikian dampak pandemi ini. Mungkin para ahli atau para yang lebih tahu dan paham tentang hidup dan karya sastra, ketika ada penghargaan yang diberikan kepadanya dan merasa kurang tepat penghargaan diberikan, banyak faktor, tapi narasi yang begitu kuat ketika dianggap kurang tepat jika karya tersebut yang dinobatkan, melainkan karya lainnya. Sifat tersebut dapat diterima sebagai kritik inovatif dan lebih selektif lagi, penyelenggara. 

Sistem yang dilakukan oleh para dewan juri, memilih buku terbaik dan menentukan nominasi ini sulit, tentu di masa sulit seperti ini tidak akan mengurangi akurasi yang telah hati-hatian. Kalau kehati-hatian dilakukan oleh dewan juri di masa pandemi karena sistem sudah baik dan maksimal, tapi kondisi saja tidak memungkinkan. Sehingga jalan dewan juri melakukan pemilihan ada tidak setuju atau dianggap tidak maksimal, serta tidak sesuai dengan baik usahanya tetap saja, tidak maksimal. Semoga saja yang bisa memaksimalkan bisa menduduki jadi dewan juri tahun depan, sehingga baik dan tepat memilih nominasi. Mungkin. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar