Kamis, 23 September 2021

AGAMA DAN SASTRA

 

"Bahasa sebagai cara kita pandai bercerita atau memberikan jalan dengan lisan maupun tulisan, sastra sebagai wadah berkarya, sebagai jembatan-jembatan ide manusia"

Sudah lama duduk malas-malasan di depan. berpikir kapan  nanti mampu memikirkan apa. Dalam hal ini saya tak akan membicarakan tentang sejarah sastra dan agama dari sudut pandang yang memang telah ada, karena tidak ada kemampuan ke sana. Namun, setiap cara sederhana untuk membuka pertemuan  ini dibuka dengan sebuah narasi sastra--yang diambil dari tokoh Bissu dalam novel "Tiba Sebelum Berangkat" karya Faisal Oddang. Di pantik dengan pertanyaan sederhana, dibuat pembaca dan peserta mendengar serta menangkap mampu menuliskan kisah tentang 'gender'--yang akan dianalisis. 

Agama dan sastra tidak dapat berpisah jauh dalam menyumbangkan ke berhadapan dunia, kedua seperti logam dengan gambar bolak balik berbeda tapi tidak dapat dipisahkan. Jika di awal masuk nusantara abad ke-16 berhasil masuk karena perdagangannya. Tapi, tidak lepas dengan sastra yang jadi alatnya salah satu tokohnya: Amir Hamzah dan Nur Muhammad mengenalkan karya hikayat. 

Selain itu, sastra merupakan karya yang sengaja dibuat secara baik oleh proses kreatif manusia. Manusia bisa mencipta karya sastra sebab punya keinginan untuk mengimplementasikan hidup--separuh hidupnya diniatkan untuk merawat keabadian atau mencipta dunia baru dalam karya. Tapi, bukan kebaruan yang menjadi tawaran, melainkan  sebuah otentisitas. Perlu disederhanakan otensitas bukan suatu karya murni orisinil manusia, tapi masih perlu karya lain untuk dianggap baik dan orisinil. Terpenting karya keluar dari dalam diri (eksistensial) bukan menjiplak, namun tiruan. 

Plato memberi pandangan mengenai karya sastra. Bahwa karya sastra merupakan mimesis (tiruan) yang diambil dari objek ada. Tidak ada kebaruan saklek di bawah matahari ini. Semua masih duplikat yang memadukan dari banyak sisi sehingga menemukan satu jalan lain paling menonjol dalam memandang satu hal. Tapi, dari banyak sisi, dan itu jadi ideal. Contoh sederhana, sastra realisme magis yang sebenarnya disuarakan oleh Gabriel Garcia Marquez dari Colombia-Amerika Latin mengenal "bom sastra" dianggap baik dan adiluhung karya bar-genre tersebut. Padahal Roberto Bolano seorang yang menawarkan pakem baru setelah bom sastra bergaung realisme magis. Sejarah ini dapat dijadikan rujukan kalau ideal sastra dan originalitas saling melengkapi. 

Representasi dalam kehidupan atau yang ada di alam diciptakan kembali ke dunia baru nama sastra. Sastra di dalam ada bentuk lisan dan tulis. Budaya lisan lebih tua dan tulisan dapat dikatakan anak kandung dari budaya lisan. Sehingga sastra hidup bersamaan dengan masyarakat. Agama akan jadi dasar akan jadi jalan dan arahnya akan ke mana sastra. Jika dikaitkan agama sebagai pondasi sastra sebagai alat dari peradaban. 

Lagi-lagi mengingat dengan pengantar buku Faisal Oddang di karya "Manurung" 2017, Ia mengatakan bahwa sastra merupakan kendaraan saja (sebagai wadah saja) isinya adalah ide,m (pemikiran manusia) atau cara mudah memberi sebuah cara berupa teks maupun lisan. Puisi, Cerpen, dan Novel, serta karya sejenis lainnya, merupakan cara mengantarkan  apa yang akan disampaikan kepada manusia lain. 

Adapun cara lain, kalau manusia punya cara selain sastra. Tidak masalah, bahkan baik. Walaupun masih belum punya cara paling sederhana dalam memaknai hidup atau memahami hidup, selain sastra. Contohnya bisa saja manusia mencipta piramida peradaban, atau manfaat-manfaat lain manusia yang berguna. Hemat saya juga baik, tidak buruk akan hal tersebut. Maka sastra sebagai jembatan membuat kebaikan yang dengan abadi, dapat ditengok kembali (pengarsipan) jika ditulis, atau sebagai keindahan yang sekali-kali dapat dinikmati, jadi obat hati--yang luka atau sedang mengalami hasrat semangat hidup turun. 

Agama sebagai dasar manusia sekaligus jadi pedoman bahkan pengetahuan manusia, hidup dalam dirinya. Jika Kh. Zawawi Imron sastrwan Madura menuliskan esai memberi jawaban tentang definisi sastra menurutnya. Bahwa "sastra sebagai dakwah tidak lain," kurang lebih demikian bahasa singkatnya, ini dapat dikatakan relevan menggunakan sastra sebagai alat. Namun, isi atau nilai yang terkandung dari karya sastra lahir atau ditukil dari intisari agama. Mungkin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar