Rabu, 15 September 2021

HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN SETELAH MEMBACA

Mula-mula seorang pemikir ataupun manusia biasa saat ingin membaca, entah itu baca kitab, buku, atau berupa teks apapun, yang di dalamnya dapat dibaca. Semua orang punya cara dalam membaca. Ada yang suka baca asa pula yang suka membaca keadaan. Itu tidak dapat disalahkan atau dibenarkan, keduanya secara subjektif punya cara dan sudut pandang berbeda, untuk mengambil kesimpulan mengenai benar atau tidak. Tentu, hal ini manusia tidak berhenti membaca, agar hidupnya berguna pada dirinya sendiri, dan mempergunakan otak kita terus bekerja, berpikir. Hati menentukan hasil pikiran. 

Awal mula kita sebagai makhluk sosial maupun individual. Tentu, tidak akan lepas dengan yang namanya "malas" semua orang punya rasa tersebut, bahkan menjadi qudrat. Apalagi malas melakukan kebaikan, keburukan pun kalau sudah bosan tidak akan dilakukan lagi, begitulah kerja manusia sederhana memahami diri. Namun, untuk membahas akan hal ini, tentu perlu namanya spesifikasi agar jelas dan tidak melebar. Hal ini akan membahas awal mula membaca buku. 


Untuk pertama kali. Ketika kita membaca paling besar dalam diri yaitu memulai membaca. Tentu, itu sangat butuh keinginan, kebiasaan, lingkungan, dan kebutuhan. Kalau empat hal tersebut tidak ada dalam diri mungkin tak akan bisa menyentuh buku, kitab, atau bacaan lainnya. Karena malas memang menjadi kudrot, perlu ada dorongan kuat dari dalam diri, baik atau buruk, dipaksa. Untuk membaca. Karena membaca merupakan gerbang segala hal, tidak salah Tuhan kita menugaskan kita ini "iqro"--yang dianjurkan ke Nabi Muhammad Saw., dan kita. Hal itu sebenarnya renungan kita semua, penting dan dapat menikmatinya membaca. Dan melawan rasa malas membaca, sunnah. 


Mengingat dengan tugas kita semua. Dalam membaca yang Allah Swt perintahkan ditunjukkan, yang terdapat dalam surat Al-alaq surah 96, kurang lebih terjemahannya begini "Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu." Artinya, kita ditugaskan untuk membaca dengan menguatkan diri untuk punya niat baik, sebab mengingat "Tuhan" suatu hal yang baik, begitu pula dengan proses membaca. Dan reduksi bacaan di sini tidak tersampaikan dengan jelas membaca apa, melainkan secara harfiah "bacalah," bermakna lakukanlah membaca, tanpa membaca apapun terpenting untuk kebaikan kepada Tuhan yang menciptakan. 


Pengalaman sendiri membaca seperti ini. Kalau kita membaca satu buku hingga selesai bahkan ujian terbesar dalam diri, yaitu setelah membaca buku dan buku dipegang oleh teman atau orang lain, padahal buku sudah tersebut selesai dibaca beberapa hari, minggu, bulan, dan bahkan tahun lalu. Dari dalam diri tentu ada sedikit rasa sombong 'kadang' bicara hati "saya pernah baca" bersyukurlah kalau tidak sampai diucapkan, kepadanya. Paling parah saat diri merasa sudah bisa dan paling pandai di hadapannya. Itulah ancaman sebenarnya.


Setelah kita semua melewati proses malas dan sudah membiasakan membaca. Ketika setiap minggu kita sudah membaca bahkan merasakan kalau dirinya tidak melakukan aktivitas membaca tidak nyaman. Saat itu pula, kadang bersamaan setan menyelimuti dalam diri kita. Dan itu merupakan tugas berat yang menjadi sulit juga bagi kita mengontrolnya, yaitu "kesombongan setelah membaca banyak buku." Hal tersebut sangat baik setan menyelimuti dalam diri dan secara tidak langsung berselimut kebaikan, padahal tidak baik. Mungkin begini. Ketika kita membaca sudah konsisten. Tentu, kita semua akan punya banyak pengetahuan dan banyak pemahaman. Dalam konteks ini--yang paling berat selain itu, mengontrol ilmu pengetahuan untuk dipengaruhi lebih baik. Akan tetapi, kita tidak sadar dan dianggap benar, padahal kalau sekecil biji dalam diri ada rasa sombong dalam hal apapun, tidak baik. Bahkan dibenci Tuhan. 


Adapun, yang sering terjadi dalam konteks ini, yaitu; kita sering merasa dalam diri ketika sudah banyak baca buku sedikit merasa lebih tahu daripada mereka yang masih lambat membaca buku satu tak tuntas atau tidak ada kesempatan membaca. Sehingga dalam hal ini dapat disimpulkan, kalau kita jangan sampai dikontrol dengan "ilmu" melainkan kita mengontrol dengan "diri." Sebab ilmu didapat dari sebuah proses diri kalau ilmu yang dari luar diri mempengaruhi tidak baik, maka tidak semestinya mengontrol, tetapi dirilah yang mengontrol ilmu agar tidak keluar rasa sombong. Sering terjadi, bahwa ilmu manusia kalau tidak di kontrol dengan naluri, dan anggap manusia tidak perlu merasa tahu, disebabkan ilmu yang sepetak, karena ilmu luas dan diri ini sempit. Lebih baik dirilah mengontrol ilmu yang luas, daripada diri yang sempit dikontrol ilmu, yang kadang tidak sesuai dengan diri manusia lainnya. Mungkin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar