Sabtu, 18 September 2021

TUBUH DAN BENTUK



"Diamlah sebentar dan pahami apa yang terjadi pada diri dan pada sekeliling kita." Begitulah mungkin bisa lebih arif memandang hidup dan memahami tentang hidup diri kita sendiri, bukan orang lain. Inilah yang pantas untuk dijadikan cara merefleksikan diri." Begitulah hidup indah, tapi tidak hanya hidup di atas menara gading tanpa merasa realitas manusia normal umum: makan, minum, berak, dan bahkan tak ingin susah yang berat. 

Untuk memahami diri sebenarnya sangat mudah, cukup dengan mengambil posisi paling nyaman untuk fokus. Setelah fokus baru memulai memikirkan diri sedalam mungkin. Pada akhirnya menemukan diri sejatinya, dan paham akan hal yang sakit, tidak ingin dirasakan sama dengan yang terjadi pada orang dan jiwa orang lain. Sehingga semakin dalam memikirkan diri, semakin dalam pula kearifan kita. Dan pada akhirnya diri ini sama dengan orang lain; punya hasrat yang tidak ingin terluka, semua seperti selalu bahagia. 

Bukannya manusia perlu memiliki pengetahuan. Dari pengetahuan itu, manusia punya cara bersikap, berbicara, dan berlaku. Ketiga hal itu bisa kah adil pada diri sendiri atau adil terhadap orang lain. Pada akhirnya keadilan tak seperti halnya yang dilakukan oleh Sukab seorang tokoh dalam cerpen karangan Seno Gumira Ajidarma berjudul "Sepotong Senja untuk Pacarku" Penerbit Gramedia (2010). Asumsiku akan hal cerpen tersebut kalau dipandang secara semiotika bahwa "senja" yang dibungkus oleh Sukab seperti halnya "keadilan" yang semestinya dirasakan oleh banyak orang, bukan malah hanya untuk Alena, orang yang disukai bahkan disayangi. Mengapa demikian, kalau kita cermati apa yang dilakukan Sukab yaitu suatu yang baik, tapi kalau kebaikan hanya berfungsi hanya berlaku pada satu orang, kearifan itu bukan 'baik universal' tapi, kabur dari kata "baik" melainkan "egois". Begitulah sedikit asumsi ngawur-ngawur yang beraturan. 

Tubuh dan Bentuk 

Tubuh sebagai jasad yang tampak akan kehidupan riil manusia, yang akan menjadi tolok ukur ideal manusia dalam bentuk material. Sehingga manusia punya tolok ukur akan kehidupan mengenai standar mengukur material. Hal ini tentu tidak lepas dengan sebuah cara manusia memandang dan kemampuan subjektif punya pangkal ujung. Maka jika ingin memberi sebuah pandangan sederhana mengenai hidup tuk menampilkan akan hal material, tubuh jadi ideal dari kehidupan seorang. 

Saat-saat pertama kali bertemu tentu manusia punya cara dan punya kecenderungan kekuatan memandang hal material lebih konkret. Mengapa demikian karena manusia pada dasarnya suka dengan kejelasan rasional. Walaupun  pada dasar kesadaran manusia tidak hanya pada rasional, namun juga naluri. Letak rasional ada pada otak dan letak naluri ada di hati, jika nanti atau secepatnya kita punya hidup ideal memandang manusia dimulai material, tingkat hidup tersebut pada dasarnya sangat sederhana dan bahkan rendah. Karena hal paling harga bukan hanya yang tampak dipandang panca indera saja, tapi juga jiwa di dalamnya. 

Bentuk merupakan suatu representasi apa yang ada di dalam tubuh. Jika tubuh kekar tentu itu diasumsikan manusia tersebut punya kebiasaan olahraga serta rasa ingin merawat tubuhnya, keinginannya tinggi. Kalau kurus tentu dianggap tidak suka olahraga, olah rasa, dan olah otak--dan cenderung malas-malasan makan tak teratur dan berimbang. Hal itu, mengeluarkan pola pandang Sebab bentuk yang keluar dari diri bentuk laku, bicara, dan adab. Menjadi jalan sekaligus cara hidup manusia. Kalau nanti atau sekarang manusia membuka diri dan bentuknya ketemu, itulah puncak hidup, dia yang terus bahagia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar