Kamis, 09 September 2021

WABAH, SASTRA, DAN ABSURDITAS

Akhir-akhir ini semua orang akan merasakan kegelisahan yang sama. Kegelisahan tersebut mengenai pandemi atau sampar kalau dalam bahasanya Albert Camus, yang mengisahkan wabah di Perancis. Novel dengan judul asli Le Peste (1947) artinya dalam bahasa Indonesia 'penyakit sampar'. Kegelisahan tersebut selalu terngiang-ngiang di dalam diri, bagaimana selesai dan usai pandemi di Indonesia ini. 


Seorang penulis tidak pernah merasa kegelisahan berlebihan. Terpenting ketika kondisi kota dan desa sama, penulis tentu tidak terlalu banyak menatap, matanya terus nulis dan menulis. Apapun kondisi jangan terbawa arus sedih dan berhenti menulis, namun jadikan kondisi menyedihkan jadi semangat menulis apapun yang menjadikan kita terus berpikir. Mengutip perkataan Bandung Mawardi (2021) "kita jangan sampai tidak punya tanggung jawab akan hal ini, kondisi ini jadikan otak kita berpikir dan menulis, agar otak kita bermanfaat!" Ujarnya saat perbincangan diskusi rugikan setiap malam sabtu. 


Sastra secara harfiah memiliki arti teks yang berisi instruksi atau pedoman, yang memberi petunjuk. Kalau diambil dari bahasa sansekerta yaitu 'shaastra' "teks yang mengandung instruksi". Sehingga karya sastra merupakan satu kesatuan yang bisa diartikan karya berisi teks berisi nilai-nilai kehidupan yang kompleks. Entah disampaikan secara tersirat maupun secara tersurat. Sehingga pembaca akan punya cara tersendiri memaknai karya sastra. Bahkan terkadang para kritikus sastra memberikan penilaian sangat mendalam. Adanya kritik sastra menjadikan kehidupan sastra lebih bebas dan lebih hidup layaknya sastra. 


Adapun karya sastra dicipta atau dibuat dengan bentuk tertulis bukan sastra lisan--akan punya nilai tersendiri bagi pembaca, bukan terantuk kritikus sastra yang selalu diarahkan kepada orang-orang di Jakarta atau di ruang akademik. Namun, karya yang dibuat untuk pembaca luas. Sehingga untuk karyanya perlu secara general dapat diterima sesuai dengan esensi sastra yang berlaku. Pilihan mengenai ladang atau kendaraan (jenis karya sastra apa yang akan dijadikan ladang, seperti; puisi, esai, novel, cerpen, naskah drama, dan novel). Sehingga pilihan tersebut menjadi cara paling baik untuk berkarya dengan sastra, isinya berupa ide yang akan di dalam karya dan bisa merepresentasikan penulis terhadap pembaca. 


Pada masa pandemi ini banyak penulis atau pengarang membuat karya sastra. Entah tujuannya itu berkarya untuk membuat sejarah baru, sehingga karya sastra yang dibuat sesuai dengan kondisi alam atau dunia--yang sedang tertimpa pandemi covid 19--sudah berjalan nyaris dua tahun. Mereka ada yang menulis sesuai konteks zaman dan sesuai situasi, ada pula yang tidak memperhatikan kondisi zaman, tapi terus berkarya sesuai dengan target atau memang sesuai harapan untuk berkarya, lalu diterbitkan maupun menerbitkan sendiri. 


Karya sastra yang dibuat pada masa pandemi salah satunya yaitu, karya Agus Noor "Kisah-Kisah Kecil dan Ganjil" (2020). Adapun karya dari Joko Pinurbo "Salah Piknik" (2021) serta masih banyak karya sastra dari seorang penulis yang dibuat di masa pandemi. Ada pula yang sesuai dengan konteks zaman ada pula tidak sesuai dengan kondisi zaman. Namun, penulis terus berkarya sesuai konteks zaman maupun tidak. 


Karya sastra "Le Peste atau Sampar" karya Albert Camus (1947) memberikan satu gambaran manusia-manusia di masa pandemi. Karena secara konteks zaman di novel gubahan Albert Camus mencobanya memberikan gambaran type manusia yang seperti apa. Kalau di masa lalu mengenai kondisi di Perancis ditulis Albert Camus, bahwa banyak type manusia--yang memanfaatkan dan juga mengambil keuntungan, ada pula yang merasa kalau dampak merugikan, dan ada yang merasa berjuang untuk tidak merasakan kematian seperti seorang dokter Redux tokoh dokter di dalam novel tersebut. Sehingga dapat disesuaikan dengan pandemi yang nyaris dua tahun ini, merasakan hal serupa. Banyak di antara kita di Indonesia, oknum-oknum melakukan hal serupa. Sehingga banyak kejanggalan dan memanfaatkan kondisi, sesuai dengan gambaran di novel Sampar. 


Karya sastra selalu memberikan gambaran kehidupan manusia secara tersurat maupun tersirat, pada sebuah teks sastra. Namun tidak secara gamblang dapat diterjemahkan tekstual, melainkan secara kontekstual dalam dilacak sesuai dengan teori G.W Hegel dikenal dengan "zeitgeist" atau "jiwa zaman" yang dijadikan cara menemukan bukti apa yang terjadi pada dunia, masa pandemi. Sehingga sastra bekerja dengan cara paling sederhana dan bisa saling menerima dari apa yang kita rasakan. Sehingga sastra dapat jadi obat ketegangan di masa pandemi ini, sebagai pembaca maupun penulis. Begitulah. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar