Jumat, 24 September 2021

MUSIK, JIWA, DAN NILAI SPIRITUAL

  

Imagine there's no heaven

It's easy if you try

No hell below us

Above us, only sky

Imagine all the people

Livin' for today

Ah

Imagine there's no countries

It isn't hard to do

Nothing to kill or die for

And no religion, too

Imagine all the people

Livin' life in peace

You

You may say I'm a dreamer

But I'm not the only one

I hope someday you'll join us

And the world will be as one

Imagine no possessions

I wonder if you can

No need for greed or hunger

A brotherhood of man

Imagine all the people

Sharing all the world

You

You may say I'm a dreamer

But I'm not the only one

I hope someday you'll join us

And the world will live as one

1971 Imagine- John Lennon 

Menikmati lagu dengan tenang, sambil menghayati satu per-satu kata, frasa, dan kalimat pada setiap lirik lagu di atas sangat tersentuh jiwa. Bunyi yang begitu mendayu; tenang, intonasi pas, dan artikulasi perkata jelas. Seperti membangunkan jiwa-jiwa hampa, jadi bertenaga. Dan berbicara tentang makna sebenarnya sederhana, namun punya kekayaan makna luar biasa. Saat seperti apa cara terbaik musik dapat dinikmati, mencapai nikmat ilahi.

Saat mendengar musik akan sedikit tenang. Apalagi saat pagi kala semua orang menghirup udara segar disandingkan dengan lantunan musik kesukaan dan kopi di hadapan, sangat paripurna untuk hidup perorangan. Dan kopi dibuat oleh kekasih hatinya. Mungkin begitulah gambaran saja. Bahkan jika khusuk lalu niat mendengar di telinga, di hati bisa dzikir. Mungkin itu dapat lebih baik. Sehingga yang lain terasing kecuali diri dengan yang Maha Kuasa, saat semua ramai tanpa ada harapan, ia yang diharapkan keharibaannya, senang mengingatnya. 

Kala matahari dari ufuk timur menyambut alam dengan salam cahayanya. Bumi bersyukur dan merasa senang dengan segala hal. Lalu, semua tersungkur dan ada yang mendiang ke langit yang lepas dan luas. Dengan warna biru dilapisi awan putih yang saling berganti, sebab angin selalu menggoyangkan. Putih sering berpindah. Namun, suasana tetap gagah tanpa gegabah. Dan angin terus berdesir mengharapkan keindahan dari barat yang selalu menjanjikan merah keemasan, yang indah. 

Bumi selalu berharap sinar dan air dari langit menjanjikan, serta menempatkan janjinya. Saban siang dan mendung tiba selalu iba pada manusia-manusia kecil yang masih menunggu bulan depan panen padi, kacang, dan jagung. Tanpa memandang siapa yang punya dan yang menghidupkan. Tanah berharap selalu tetap hinggap dan tiarap, saat hujan-hujan membasahi. Diserap cepat kalau tidak banjir. Begitulah alam menerima dan langit memberikannya. 

Beberapa hari lalu ada yang bersuara mengenai haramnya orang bermusik. Ternyata orang yang punya pandangan tersebut mantan atau sedang redup band musiknya, ia melontarkan statement kontroversi. Pendapat tersebut menghadirkan banyak respon tidak terima kalau musik itu haram. 

Sebagai orang yang awam akan hal musik. Sekedar saja menjadi penikmat, enak dan buruknya nada atau makna saja dapat diterima. Namun, penikmat yang awam lalu bisa sekedar mendengarkan saat sunyi atau ramai. Ternyata ada nilai tersendiri dalam diri, menerima akan hal nada maupun liriknya yang enak didengar. Ditarik dari kenyamanan dan ketenangan mirip dengan sebuah tentangnya hati, menikmati kalau ada nikmat begitu dekat dicipta Tuhan (Allah) sebagai nikmat rasa mendengar. Dan kuping mendengar bukan sekedar suara manusia. Tapi, juga memahami dari itu semua. 

Jika, ditelisik rasa kedinginan akan hal rasa dalam hati. Seperti sangat begitu dengan Tuhan saat mendengar musik. Ternyata bisa saja musik punya nilai spiritual jika di objekkan ke arah ibadah. Seorang penyair sufi pecinta tarian Rumi, namanya Jalaluddin Rumi. Suka dengan tarian sufi. Tarian yang dapat mendekatkan diri dengan Tuhannya. Dengan seperti itu menganggap Tuhan lebih dekat dari urat nadi (wanahnu aqrabu min hablil warit." 

Pada intinya musik tidak dapat di harapan, selagi masih tetap melakukan bahkan rajin salat. Serta tidak keluar konteks dari aturan sosial, agama, atau adat. Musik sebagai penghilang penat. Bukan menghilangkan Tuhan di dalam dirinya. Mungkin. 

“Menurut Jalaluddin Rumi, musik yang diharamkan dalam Islam itu adalah ketika suara piring ketemu dengan sendok, dimainkan oleh orang kaya dan didengarkan oleh orang kelaparan. ... “Musim pandemi seperti ini jangan sampai ada orang miskin yang hanya bisa mendengarkan suara piring dan sendok tanpa bisa menikmati isinya. Bukan bunyi musik yang haram, tapi seorang muslim masih membiarkan tetangga lapar, atau saat masak dan tetangga mendengar tidak diberi, itu yang haram. Mungkin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar