Selasa, 21 September 2021

TAMASYA, TOLERANSI, DAN TEORI HIDUP HEWAN BUNGLON

   

"Konon cinta lebih tua daripada ideologi, jadi aku berjalan dengan cinta, sebab hanya itu yang kita punya untuk mencapai merdeka mengintai." 

Salah satu penulis Indonesia pernah menuliskan, cintai semua jangan sampai membenci. Semua yang punya cara dan bisa belajar bersama tidak lain hanya untuk memperluas pengetahuan, mempertajam pikiran, dan memperhalus perasaan. Semua di didefinisikan dengan paling sederhana, entah diberi kesempatan dan terus dijalankan semaksimal. Dalam hal ini, tentu tidak merasa bahwa paling bisa serta paling pandai, tapi juga paling bisa dilakukan; berdialektika, tukar pikiran, dan saya bisa belajar dari banyak isi kepala mereka. 

Di luar begitu ramai dan begitu banyak hal yang bolong-bolong dan perlu ditambal, lalu di jahit jika perlu. Membenahi apa yang sudah baik dan bagus tidak perlu merombak, tapi hanya perlu menjahit ulang letak yang rusak atau perlu diberi jalan baru membenahi, atau sekedar berupaya menyempurnakan. dengan kata lain, semua dapat dijadikan wadah belajar. 

Di dalam masih saja berkutat dengan banyak hal yang belum selesai, bacaan atau tindakan. Bacaan seorang belum fokus dengan satu tujuan. Belum juga menjadi pembaca gelandangan, hanya amatiran. Tindakan yang begini-begini saja, masih belum apa-apa semua kawan sudah bisa membuat bahagia orang, atau keluarga dan bahkan masyarakat yang membutuhkan. Sehingga tak ada yang paling berarti kalau tidak mau menyelesaikan ngurusin pribadi lebih baik. 

Sebuah perkataan yang melekat dalam diri yaitu, Kh. D. Zawawi Imron, sastrawan dan budayawan mengatakan pada suatu acara 2019 lalu, jangan berbicara perubahan kalau kita masih belum selesai mencuci baju di kamar mandi yang telah lama direndam. Semua di bumi ini punya takaran, kalau usaha sudah dilakukan 'perubahan belum tercapai' selesaikan nanti sebagai pertanggungjawaban di akhirat. Perkataan tersebut mengarahkan kita untuk tidak optimis untuk berpihak. tapi, jangan lupa perpihakan kita kembali pada diri, dan dasar paling kuat dari dalam diri yang telah mempengaruhi. Begitulah terjemahan sederhana, dengan bahasa Indonesia yang dan benar, beliau berkata.  

Mungkin, semua diajarkan tidak perlu terlalu banyak berharap pada dunia, dunia sebagai jalan usaha dan doa, hasilnya pencipta. karena kalau selalu bertolok ukur kepada dunia, tak ada ujung jelas dan dapat dinikmati dari hidup. Dunia hanya sebagai cara saja untuk bisa hidup bahagia atau bisa menentukan tapi tidak sesuai. Dalam hal ini sering terjadi di setiap organisasi. 

Kondisi seperti ini dapat dibenturkan dengan sebuah proses seseorang berorganisasi yang berbeda-beda. Di setiap organisasi akan punya dasar serta tujuan, baik atau buruk akan punya. Kedua hal akan selalu hidup dalam tubuh organisasi, mengemban kepentingan atau sekedar berdiri saja. Tentu ada, dan tidak keluar konteks para pendahulunya. Apalagi yang berlabel agama akan senantiasa membawa nilai-nilai adiluhung di dalamnya, untuk dapat eksis di dalam tubuh kader atau di luarnya. 

Saya merasa menjadi seorang yang meniru cara-cara bertoleransi seperti hewan bunglon. Bunglon akan berubah warna saat tersentuh dengan warna lain. Tapi, secara esensi tetap bunglon adalah bunglon, tidak akan berubah menjadi biawak. Begitupun dengan diriku, tidak akan berubah jadi manusia lain, kalau berhadapan. Kecuali, dapat melebur jadi dirinya dia. 

Seorang filsuf pernah menuliskan, untuk menjadi seorang yang baik dan bisa bijaksana dengan orang lain, belajarlah kita memasukkan kaki satu kita ke dalam sepatu orang lain yang satu, maka akan kamu rasakan, apa yang dirasa orang lain. Sederhananya, kebijakan akan bisa dicapai kala mencoba memposisikan diri dengan orang lain. Begitulah. 

Saat saya diberi kesempatan untuk mengisi di beberapa tempat organisasi, sebut saja HMI, PMII, dan IPNU. Organisasi tersebut, organisasi yang besar. Kader-kader mereka sudah tidak dapat diragukan secara kualitas dan kuantitas. Namun, disini saya tidak berbicara sebagai kader, tidak sebagai kader. Melainkan sebagai sebagai seekor bunglon yang kedatangannya diharapkan untuk mengusir hewan-hewan lain, untuk tidak dimakan sembarangan. Tentu, dengan membawa banyak keterbatasan, selalu coba berikan terbaik sesuai harapan dan ketentuan. 

Dalam konteks tersebut, diniatkan belajar, belajar, belajar, dan berpikir. Sebab dengan seperti itu, cara terbaik kadang datang tiba-tiba. Sebuah kebaikan terpenting selalu termaktub, walaupun dianggap setiap perjalanan kadang dianggap "tidak punya prinsip." Tapi, semua merupakan pilihan yang dalam setiap perjalan sekiranya tidak dirugikan, terobos, jalani, dan nikmati. Siapa tahu cepat atau lambat dapat buah yang dapat dipetik secara bersamaan. Kan, pada intinya melakukan dengan rasa cinta, dan cintai semua jangan ada yang dibenci. Mungkin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar