Rabu, 22 September 2021

MODERNISASI, AGAMA, BUDAYA, DAN OPOSISI BINER: KALIS MARDIASIH

 

Modernisme merupakan era kehidupan yang tidak dapat ditolak, kehadirannya. Modernisme perlu diikuti polanya, serta selalu survive menerima, bahkan perlu memanfaatkan, jika perlu. Terkhusus dalam urusan agama, budaya, dan cara berperspektif. "Tuntutan hari ini bukan menjadi konservatif melainkan perlu suatu hal yang kreatif dengan dasar-dasar yang berlaku di kehidupan serta lingkungan kita." 

Buku "Hijrah Jangan Jauh-jauh Nanti Nyasar" ditulis Kalis Mardiasih, penerbit Mojok (2019). Buku yang mencoba memberikan sebuah pandangan tidak hanya oposisi biner, tentang banyak hal. Tapi, yang jelas mengarah pada satu dasar "bagaimana kita beragama," yang baik tidak konservatif. Tapi, adaptif tidak muluk-muluk, kita beragama. 

Beragama yang tidak begitu kaku tapi benar. Dimodernisasi ini perlu pandangan-pandangan sederhana dalam hal apapun, tidak hanya bicara sains, agama, dan bahkan budaya, atau yang lainnya. Semua perlu disederhanakan untuk memudahkan setiap hal. Paling sederhana, agama dapat diterima secara universal oleh logika atau jiwa secara rasional, dan riil dengan kehidupan sehari-hari. 


Kalis Mardiasih bukan seseorang nyai atau ahli agamis. Hal ini disampaikan di awal-awal paragraf bertujuan agar tidak salah paham, kalau ada pandangan liberal atau pandangan sedikit menyimpang dari setiap pandangan. Tapi, hal ini bukan ad hominem. Lebih pada sebuah pandangan yang dikaji secara tekstual dan kontekstual. Intinya, ia perempuan yang berupaya menyederhanakan perspektif beragama di abad ke-21. 

Secara mendalam subjektif penulis. Kalis seorang yang frontal, ceplas-ceplos dalam teks tulisannya. Lebih tepatnya apa adanya. Tanpa mengurangi rasa kurang pengalaman, ia selalu menyampaikan dengan narasi baik sertakan dengan referensi yang menguatkan. Karena paham pembicaraan panjang lebar butuh penguatan dari pendapat-pendapat, entah dari buku, kitab, atau dari pendapat langsung--yang ditemukan secara pengalaman langsung olehnya. Sederhana berbual panjang lebar ada dasarnya. 

Berangkat dari hasil pengalaman membaca yang dapat dianggap tidak konsisten dan baik. Karena membaca buku hingga selesai tidak hanya sekali duduk, tapi butuh dua-tiga hari menuntaskan. Saat membaca dapat dikatakan tidak dalam kondisi baik selalu, sebab dibaca saat Hapean-kadang, saat sepi-kadang, saat ramai-kadang, bahkan saat dengarkan musik-kadang. Cara baca tersebut bisa dikatakan pola membaca manusia di abad ke-21. Sebab belum menemukan efektif tidaknya, tapi kegiatan tersebut masih eksis dan tidak keluar dari esensinya. Sebab ada beberapa yang masih diingat intisari bacaannya, karena masih mencatat hal penting dalam bukunya. 

Jadi, buku ini secara garis besarnya sangat kental berbicara tentang agama--yang mungkin tidak akan ditemukan dalam ajaran agama secara struktural--melainkan secara santai dibagi dengan beberapa sub-bab yaitu, ada V bab: pertama "Islam dan Kebaikan Anak-Anak", kedua "Islam dan Kemanusian", ketiga "Islam dan Akal Sehat", keempat "Islam dan Contoh Baik", kelima "Islam dan Modernitas". Kalau dicermati dari lima sub pembahasan tersebut mengarah pada diri setiap individu dengan dasar-dasar Agama Islam. 

Lanskap yang disajikan kepada pembaca seperti seorang berdiskusi di warung kopi, sambil ngudud, nyeruput, bahkan ngentut-samar-samar. Bahwa agama pada dasarnya agama tidak mengerikan, tidak rumit, bahkan tidak sulit. Jika tidak merumitkan sendiri, dan mencari dalil-dalil setiap geraknya. Contoh sederhana, jika ada kejadian seorang ibu-ibu ramai membahas puisi Sukmawati yang ramai dibicarakan di sosial media, lalu menanyakan, serta salah anggapan mengenai kegiatan pada Mei 2017, dalam acara pameran seni rupa bertema "Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa" karya Andreas Iswinarto yang diselenggarakan Kantor Pusat Studi HAM (Pusham) di Universitas Islam Yogyakarta, serombongan anggota organisasi massa datang sambil berteriak-teriak "Mana Wiji Thukul, mana Wiji Thukul! Tangkap Wiji Thukul!" (Hlm.182). 

Kutipan di atas merupakan bukti, bahwa di era sekarang perlu namanya melek literasi kritis. Sebab media selalu hadir setiap waktu dibutuhkan atau tidak, tetap ada untuk kita. Sehingga konteks seperti ini; agama, budaya, dan kebiasaan, menjadi jaminan kita sebagai dasar menerima atau menghakimi fenomena yang ramai, atau hanya sekedar numpang. 

Kejadian di atas merupakan potret dari hidup sekarang. Bahwa orang bisa saja saling bunuh-membunuh karena sosial media atau penerimaan informasi. Hal ini biasanya yang sering terjadi chaos--ketika berkaitan dengan agama, ideologi, dan isu-isu PKI--yang selalu mengerikan di kepala kalau hanya sekedar baca dan hanya tahu dari referensi informasi. Kedua contoh di atas jelas menjadi tantangan di era sekarang kita hidup. 

Adapun problematik hidup sekarang pertarungan informasi. Sharing sebelum share, salah satu cara. Mendapat konfirmasi dari sosial media tidak hanya diterima dikunyah lalu ditelan. Tapi, perlu adanya pendapat dari sana family yang ahli atau paham akan hal sebuah topik, agar terjadi manusia yang bijaksana mengambil keputusan. Sebab tidak dapat dipungkiri era sekarang era banjir informasi, tak kamu kemungkinan; lahir beragam kepentingan. 

Ada orang yang memanfaatkan media sebagai ajang propaganda agama, ada pula yang menjadi jalan baik untuk agama. Bahkan memahami agama dengan mudah. Salah satunya yaitu, memanfaatkan media untuk dakwah secara baik dan bijak, tidak sekedar comot sebar. Kalau hal itu terjadi khawatir terjadi kecelakaan besar bagi diri dan orang lain. Dalam agama sudah diajarkan. Mungkin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar