Sabtu, 11 September 2021

KISAH-KISAH DARI SEORANG PENDIDIK

 Prolog

KISAH-KISAH DARI SEORANG PENDIDIK

-Saya, dan Ia seorang dosen bahasa dan sastra Indonesia

 

Salam ta’dim. Mula-mula, saya mengingat kembali, perkenalan pertama baca cerita pendek, yang memukau. Saat itu, saya membaca cerpen berjudul Kunang-kunang di Manhattan karya Umar Kayam. Cerita pendek tersebut, memberikan sebuah kenikmatan pada saat membaca. Saya, seperti menemukan narasi dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, padahal  kesan luar biasa, penggunaan bahasa sederhana. Biasanya kalau kita cermati bahasa surat kabar, kita mengenal ‘bahasa yang heterogen, bukan yang homogen’ jelasnya, penggunaan bahasa tulis yang sekiranya semua orang lebih mudah memahami. Namun. Selain itu, Umar Kayam unik dan baik menarasikannya-seperti halnya penulis bernama Ernest Hemingway asal Amerika-sangat lihai bercerita, pelan, santai, tapi detail bahas hal-hal yang dekat dengan kehidupan, yang jarang kita temukan, tapi begitu mengesankan. Kembali ke karya Umar Kayam dengan cerpenya, Ia mengisahkan seorang tokoh orang jawa, tokoh satunya bukan orang jawa. Berlatar bukan Indonesia, yaitu di Manhattan New York. Cerita pendek itu, dibuka dengan sebuah narasi, dengan bahasa sederhana, tapi indah. Kutipan pembuka cerpennya, kurang lebih begini; “Mereka berdua, duduk bermalas-malasan, Jane yang meminum teh, sedangkan Marno menuangkan sock ke dalam gelasnya, ia sambil memandang ke luar jendela.” Mereka tinggal di salah satu tempat, bukan Indonesia. Namun cerita tersebut bercerita dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pertemuan karya sastra cerpen Indonesia yang cukup lawas itu, terbit pertama di tahun 1972. Saat baca, saya bisa menikmati setiap keindahan kata, walaupun tidak begitu paham detail maksud tujuan yang disampaikan dalam cerita pendek tersebut. Begitu pula, saya bisa menikmati cerita pendek yang ditulis oleh dosen yang terkumpul dalam satu kumpulan cerpen berjudul Sihir Meja Hijau.

Awal mula, saat saya baca karya Dosen Bapak Khoirul Muttaqin, yang berjudul Sihir Meja Hijau. Seperti halnya menikmati perjalanan jauh dengan berjalan kaki. Seorang pejalan kaki yang haus, tentu akan berhenti sejenak, meminum air, lalu melanjutkan kembali, melakukan perjalanan sesuai tujuan awal. Sambil berpikir, seorang pejalan yang handal berpikir tentang banyak hal, sambil lalu membenturkan diri dengan masalah di luar dirinya, setelah itu menggali, untuk menemukan solusi. Saat itulah saya merasa seperti tidak jadi seorang tokoh Narcissus dalam novel Sang Alkemis karya Paulo Coelho penulis berasal dari Brazil.

Adapun di dalam benak seorang pejalan kaki, selalu tersimpan banyak hal pertanyaan, dan penderitaan, biasanya-bagi pejalan kaki yang baik-bisa menemukan solusi. Pertanyaan yang biasa terjadi ‘kapan hidup ini bisa berubah lebih baik, penderitaannya ‘bagaimana tidak menikmati hidup.’ Terkadang juga seorang yang menemukan sesuatu, tapi tidak sesuai dengan harapan. Saat berlari sambil melanjutkan baca cerita pendek dari karya seorang dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unisma, saya terbuka kembali. Seperti mendapatkan sebuah ilham. Hemat saya, tentang seorang pencerita yang baik memberi sebuah nilai lebih kepadanya bahwa mencerminkan intelektual yang hebat. Sehingga menimbulkan pandangan baru tentang banyak hal yang tidak dapat dituliskan semua.

Seorang akademisi yang mencoba keluar dari lingkungannya dalam berkarya, untuk menjadi sosok pencerita yang baik. Hal ini tentu punya proses berbeda, mulai dari lingkungan pembacaan, serta akan menjadi pembaca yang kuat; secara langsung, maupun secara tidak langsung, tergambar jelas dalam tulisannya. Mengingat apa yang dituliskan oleh Noam Chomsky, kurang lebih berbunyi, dengan bahasa saya ‘bahwa bahasa merupakan representasi dari seorang.’ Begitupun, penceritaan yang baik merepresentasikan sosok yang pandai, membuat nyaman saat dibaca. Kumpulan cerita ini secara teks; mengimplementasikan teori menulis yang baik, serta bisa memahami apa yang akan pembaca dapat nikmati. Sehingga pembaca akan memahami apa yang hendak dimaksud. Akan  tetapi, yang lebih menarik dalam cerita  pendek buku berjudul Sihir Meja Hijau, buku ini menyampaikan dengan detail kisah-kisah kehidupan di luar, Ia seorang penulis yang akademis.

Seorang pencerita yang baik, tentu menjadi cermin, bahwa ia memiliki pengalaman, pengetahuan, dan rasa empati yang tinggi. Seorang  akan bercerita dengan baik bahwa segala perjalanan hidup yang luas dan berarti. Ia punya cara hanya dengan bisa memberi sebuah dedikasi yang baik, seperti halnya menuliskan dalam bentuk cerita, maupun secara langsung meng-aktualisasikan. Namun, kepandaian seorang bercerita ditentukan bagaimana mengemasnya. Seorang pencerita yang baik melalui tulisan akan sentiasa berpedoman pada sutruktur tata bahasa yang baik, menguasai tata bahasa ‘segmental’ seorang pencerita yang baik secara berdongeng langsung tentu menguasai ‘suprasegmental’. Seorang yang pandai menguasai keduanya dalam bercerita, akan menjadi seorang pencerita bagus, yang baik.

Pencerita yang baik tentu sudah bagus. Sehingga pandai menyederhanakan sesuatu yang rumit, sulit, dan bahkan orang lain susah memahami. Seorang pencerita yang baik akan bisa menjelaskan sesuatu yang sulit menjadi sederhana, tapi unik, mudah dipahami, dan tidak mengerikan bagi pembaca maupun pendengar. Merasa nyaman. Begitulah cerita pendek dalam buku ini.

Hemat saya buku berjudul Sihir Meja Hijau, yang saya ringkas menjadi Kisah-kisah dari Dalam. Buku tersebut memberi sebuah pandangan bahwa seorang penulis sekaligus dosen, memberikan dedikasi sederhana tentang banyak hal, tanpa menggurui. Minimal seorang bisa menulis dengan baik. Penulis akan senantiasa memberikan pandangan dengan paling sederhana untuk bisa membuka cara-cara baru kepada pembaca, antara lain; cara menulis yang baik dan rapi. Pembaca bukan hanya mendapatkan nilai-nilai yang terkandung di dalam cerita, melainkan juga menikmati cara bertuturnya. Bahwa seorang penulis, mesti sudah menguasai ilmu bahasa. Sehingga mampu menceritakan sesuatu yang dekat di kehidupan kita, yang jarang orang dipikirkan, namun penulis  bisa menarasikan dengan sederhana untuk menjadi luar biasa.

***

Tahun lalu. Mula-mula sebagai pembaca karya Bapak Khairul Muttaqin kumpulan cerpen yang berjudul Ibu di Wajah Purnama (Kakeisha, 2020).  Membaca karya pertama beliau, sekarang saya sadar, bahwa konsistensi menulis dengan gaya penutur masih tetap saja. Dari setiap kata yang disusun jadi kalimat sederhana, kalimat panjang, dan bahkan jadi paragraf pendek maupun panjang, nyaris sempurna, dengan ketentuan Bahasa Indonesia yang berlaku, serta penggunaan tata bahasa yang baik. Saya menemukan setiap tulisannya beliau, selalu konsisten-seperti bentuk teks akademis bahasa-kerapian pada saat bercerita tergambar jelas dalam tulisannya. Lingkusan sosial  membentuk ‘kemungkinan terbesar terkontaminasi karena selalu sibuk bahkan separuh dari kesehariannya bergelut dengan dunia bahasa, pendidikan yang formal, lingkungan bahasa Indonesia.’ Secara tidak sadar, maupun sadar, karyanya selalu konsisten. Bahwa cara menggambarkan kisah di luar dirinya, sangat baik.

            Penulis seperti seorang perekam yang ingin dapat hasil maksimal, terus berjalan seperti hukum alam di bawah matahari yang sama, tidak ada yang orsinil, semua hanya saling melengkapi, sehingga melahirkan otensitas, seperti apa yang telah Plato sampaikan bahwa seniman merupakan “Mimesis” menurutnya konsep ini merujuk pada representasi dari tipe-tipe dan tindakan manusia pada umumnya dari pada imitasi dari alam. Seniman tidak mengimitasi realita maupun alam, tetapi merepresentasikan alam atau realita itu. Maka dari itu penulis merepresikan dalam teksnya dari kehidupan orang lain. Saat seorang sering kali keluar dari dalam dirinya untuk masuk ke dunia lain. Kadang hal tersebut menjadikan dirinya lebih baik, dan menentukan apa yang akan direpresentasikannya. Bahkan kebiasaan, kepekaan terbentuk dengan sendirinya secara lambat atau cepat, pasti terasa. Seorang akan menjadi lebih baik ketika mengarungi segala yang tidak biasa dan bisa dirasa, yang orang lain rasa. Hal inilah ketika seorang bisa membuka cara-cara baru, dilakukan dalam dunia nyata, lalu dituliskan, kebiasaan sehari-hari semakin terasa dan begitu dekat.

            Kelihaian seorang bercerita, biasanya tergantung siapa yang mempengaruhi. Saat berkisah tentang lingkungan begitu pekat, tentu penulis tidak akan menghilangkan dirinya dari hal tersebut, jadi pengaruh. Bagaimana mungkin seseorang dapat berkisah tentang yang tidak ada di bawah matahari, kalau seorang tersebut juga masih di bawah matahari yang sama, akan merasakan hidup yang serupa,  tapi tidak sama. Semua akan bisa dilacak lalu ditemukan, arah serta tujuan, seorang menggambarkan segala kehidupannya. Sehingga ia seperti mempertajam pikirannya, dan  memberi kontribusi dalam kehidupan.

Pengalaman tentang kehidupan di luar dirinya menjadi nilai lebih. Bagi seorang yang mengambil banyak kisah lalu akan tertuang-dalam cerita-cerita-yang ditulisnya-tulisan cerita ini menjadi jalan baik seorang dalam memaparkan beberapa kisah.  Berikut ini saya coba mengambil kutipan cerita pendek sebagai berikut;

Aku tak pernah takut dengan gelapnya hutan tempatku mengumpulkan kayu bakar. Rasanya dedemit di hutan itu tak ada sedikitpun yang berniat menyentuh gadis kumal sepertiku. Akan tetapi, aku kadang masih takut dengan anjing di hutan itu. Anjing yang selalu bersolekan liur di wajahnya, bahkan liurnya yang bau dan menjijikkan seakan menutupi matanya sehingga dia tak pandang pilih menerkam mangsa.

(Sihir Meja Hijau paragraf ke-3)

Seorang yang tidak memiliki imajinasi yang tinggi, dibalut dengan pengalaman lokalitas, serta penguasaan Bahasa Indonesia, kemungkinan tidak akan tergambar narasi indah pada kutipan cerpen di atas. Keahlian bercerita, teknik menulis serta ketangkasan bercerita akan menjadi cermin pada sosok penceritaan, yang baik. Ketika membaca buku ini akan berpikir, apakah seorang penulis pernah merasakan kejadian-kejadian tersebut, atau berpikir apakah hanya mengandalkan imajinasi tentang kondisi anjing hutan yang sedang ia ceritakan sedemikian. Bahkan berpikir kalau penulis mungkin hanya menonton di youtube kondisi hutan dengan anjing tersebut. Hal ini menjadi kelebihan seorang penulis menarasikan sebuah kisah yang keluar dari kehidupan sehari-harinya.

Sosok seorang Budi Darma, Djoko Saryono, Yusri Fajar, Alm. Sapardi Djoko Damono, Aslan Abidin, Seno Gumira Ajidarma, Faruk, dan Maman S. Mahayana dan sebagainya. Mereka sosok yang tetap konsisten menulis karangan sastra, sehingga tidak dapat diragukan lagi kiprah kesusastraannya di Indonesia. Seperti merekalah sosok akademisi selalu memberikan kontribusi di luar akademis juga, sehingga mereka dengan karyanya juga diterima oleh yang bukan ada di ranah pendidikan sastra. Saya tidak bermaksud menyamakan, bahkan membandingkan-bandingkan penulis buku ini dengan mereka, melainkan hanya memberikan sebuah narasi, bahwa ruang akademis semestinya tetep memberi kontribusi dengan karya untuk peningkatan kesusastraan Indonesia. Seorang akademis bukan sekedar menyampaikan teori kepada mahasiswa tentang menulis yang baik, melainkan mempraktikkan sendiri, menulis dan berkarya sesuai dengan disiplinya.

Lagi-lagi, penulis cerpen ini seperti memberikan eksplorasi ide tentang menulis yang baik. Bagaimana menggabungkan ide pokok dengan penguasaan bahasa, serta teknik menulis. Memberikan contoh menulis cerita begitu memukau dengan cara-cara penceritaan yang sesuai dengan kaidah kebahasaan, yang sederhana. Deskripsi dalam cerita mencoba memberikan sebuah pandangan begitu detail membahas fenomena-fenomena di luar dirinya. Dialog kutipan cerpen sebagai berikut:

“Aku tak tega meninggalkan Risti, Pak. Dia masih kecil dia

pasti membutuhkan kehadiranku,” keluh Riyem. “Kau lebih tega

melihatnya tidak makan? Kau mau kita seperti ini terus?”“Ayo lah,

dua tahun tidak lama. Kamu nurut saja. Dasar blangsak,” ujar Suhar

sambil melotot.

(Perempuan yang Menabung Benci dialog cerita alenia pertama)

Posisi seorang penulis cerpen yang keluar dari dirinya, karena ia sosok seorang laki-laki yang memposisikan sebagai sosok orang lain. Representasi penulis menjadikan dirinya sebagai seorang penutur yang baik, dan memaparkan pengalaman menguasai perasaan, kepandaiannya mengenai sikap seorang perempuan, jelas dalam sosoknya. Ia, si narator pencerita baik, maka pandai mengisahkan sebuah pandangan yang nyaris persis, secara  sosoknya.

Sebagai seorang pencerita yang baik akan selalu membekas dalam benak seorang pembaca. Bagi saya seorang pembaca awam akan selalu mengingat-ingat fenomena-fenomena yang tidak pernah ditemukan sebelumnya, sehingga menjadi pelajaran. Hal itulah peran penulis sukses ketika memberi pengaruh terhadap orang lain, tentu kepada pembaca. Perkenalan dengan penulis-saya sebagai mahasiswanya-ini seperti seorang anak kecil yang senantiasa meminta petunjuk kepada orang yang lebih tua, walaupun, saat bertanya membuat si tua tambah bosan, emosi, dengan pertanyaan yang menjengkelkan, karena selalu bertanya tentang banyak hal. Namun, terus bertanya hingga tahu apa maksud dari apa yang belum diketahui. Bagi saya itulah nikmat belajar, saat merasa hidup untuk terus belajar dengan semua orang, itu pantas tuk disyukuri.

Hemat saya cerita pendek ini tidak sekedar memaparkan sebuah fragmen. Namun, menjadi mimesis yang tergambar buram maupun terang hendak dijelaskan dengan cara sederhana, tapi dapat disaksikan dengan hati paling dalam. Sebab setiap narasi yang dibangun dapat dinikmati, walaupun ada cerita yang surealis, bahkan yang memiliki kehadiran makna multitafsir, masih dapat dinikmati. Namun, penulis tidak menghilangkan teknik konsistensi menulis yang kerap dilakukan oleh penulis-penulis besar, suspensi tercipta di dalam setiap cerita dalam buku ini.

Selamat membaca, menjelajahi relung-relung buram, maupun terang: seperti memandang kehidupan kedepan dari kertas basah.

 

 

Malang, 1 Juni 2021

Akhmad Mustaqim


(Mahasiswa, penjaga lapak baca Gerilya Literasi, anggota Pelangi Sastra Malang, sekarang belajar di Lingkar Studi Filsafat Discourse)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar