Senin, 27 September 2021

PESANTREN, SEMINARI DAN SASTRA

 

Beberapa hari lalu di akun facebook ramai membahas sastra pesantren. Keramaian di laman terus membuatku berpikir walaupun tidak tahu dan tidak bisa ngapain-ngapain. Pertanyaannya "sastra pesantren itu ada apa tidak?" Kok, para golongan tua akhir-akhir ini membahas itu, saling sahut menyahut melalui tulisan pendek maupun panjang. Mereka selalu meramaikan dan membuat hati berpikir. Andai berirama enak akan baik di telinga, sangat asik serta membuat tenang. 

Sebagai ihwal awam dan baru kemarin sore tahu sastra, yang terseok-seok masih berusaha memahami relung-relung untuk mendalami. Dengan membaca, diskusi, atau mendengar berita di media sosial, di spotify, dan youtube. Dari para pegiat yang dianggap sudah di luar kepala mengenai dunia sastra. Bahkan yang masih saja amatiran menjelaskan, didengarkan. Namun, tidak semua yang didengar direkam lalu disimpan dalam ingatan. Ternyata mereka berbicara ada yang layaknya manusia bisa, perlu disaring sebelum dapat share. 

Dalam hal ini, penulis tidak ingin memberikan pandangan yang benar-benar benar, atau membenarkan. Tapi, ini sebagai usaha spesifik sastra pesantren seperti apa yang menjadi fokus pembahasan. Tentu, hal tersebut perlu diluruskan bila itu perlu agar tidak ada kesangsian bagi yang awam atau sudah berpengalaman. 

Pembahasan akan berfokus pada sebuah pandangan umum. Bahwa setiap karya sastra akan punya genre yang dibentuk oleh khalayak umum--yang disepakati. Kalaupun akan ada punya pandangan lain agar menyempurnakan yang telah ada (umum). Itu bagian dari proses kesusastraan. Siapa yang menemukan atau yang memulai akan jadi orang diperhitungkan oleh para penikmat sastra atau yang punya kebijakan mengakui karya, lalu disebut ia sebagai sastrawan. Ya, minimal sastrawan bagi dirinya sendiri yang berkarya tidak untuk dikenalkan dan dikenang, cukup di lingkungan bernilai: baik dan karyanya. 

Secara proses, sastra pesantren memiliki proses yang sama, atau sama dengan seorang non-pesantren menggarap atau membuat karya sastra dengan cara-cara umum, prosesnya. Dengan membaca, diskusi, banyak cari pengalaman, banyak ngopi, dan merenungi sesuatu di ruang sepi, itu sama saja. Yang jelas tidak hanya menjadi seorang suci yang tahu banyak hal, berada di menara gading.

Majalah Tempo 2013, dalam liputan khusus Sastra Religi berjudul "Pada Mulanya Kata". Liputan panjang tersebut menguraikan beberapa kehidupan sastrawan yang lahir dari pesantren. Namun, tidak hanya dari pesantren yang diangkat melainkan juga sastrawan yang lahir dari Seminari--yang mana, keduanya melakukan proses serta cara-cara 'nyaris' sama." "Pesantren dan Seminari tidak hanya melahirkan kyai dan pastor yang pandai berkhotbah serta bergiat mengurusi dakwah dan tanah misi. Dari sana, lahir pula sejumlah sastrawan yang memperkaya khazanah sastra Indonesia." 

Sastra pesantren dalam hemat penulis hanya wadah penampungan ilmu, sebagaimana sekolah tempat belajar banyak orang. Tidak punya nilai kalau penghuni sekolah tak mencerminkan manusia terdidik. Begitupun di Seminari. Bahwa sastra tetap sebagai alatnya, alat yang dapat menyampaikan sesuatu--dari gagasan, nilai, dan tujuan. Sastra sebagai lapis dari ketiganya. Hal ini dapat dipandang kalau isi dalam karya sastra sastra membawa semangat apa. Penulis yang ingin bawa semangat nilai agama, nilai budaya, HAM, sejarah, dan nilai-nilai lokal, atau sekadar membagi kisah tragis atau senang kehidupan orang lain atau diri sendiri dan banyak lagi. Setiap penulis akan membawa semangat berbeda-beda dalam berkarya, khususnya karya sastra. 

Adapun, tokoh-tokoh sastra yang pernah mencicipi atau menikmati dunia Pesantren dan Seminari. Bahkan sastrawan yang diperhitungkan di Indonesia, lahir dari lembaga pendidikan keagamaan. Dari Seminari ada, Jokpin, Romo Mangun, Remy Suka di, Mario F. Kawi, serta pastor Leo Kleden, SVD adalah sederet sastrawan dengan latar belakang yang sama. Dari Pesantren, mengenal Mustofa Bisri (Gus Mus), Zawawi Imron, dan Acep Zamzam Noor, beserta Abidah El Khalieqy dan Ahmad Fuadi dari generasi baru. Tempo (hal 51, 2013). 

Mereka, pada dasarnya manusia yang pada umumnya, sama. Memakan, meminum, serta berak. Namun, mereka punya semangat besar berkarya di bidang kesusastraan. Hingga pada akhirnya dapat diakui dalam karya atau secara kepribadiannya--yang bisa membawa semangat berbeda-beda--dan sastra seperti wadah netral tanpa tendensi. Atau tidak membuat chaos dengan saling membenarkan karya sastra. DAN sastra memang tidak memiliki agama, kecuali yang penulis karya sastra punya keyakinan.

Pada dasarnya esensi sastra dan bahasa tidak dapat dipisahkan. Sebab bahasa menjadi media sastra, sastra menjadi pembalut dari ide dan bahasa jadi alat pembeda (representasi) mencipta keindahan. Hal tersebut selalu jadi kelebihan karya sastra. Maka, bahasa dalam karya sastra selalu membuat manusia hidup seperti tak punya agama tapi punya Tuhan. Seperti seorang bocah yang iman kepada Pencipta alam, yang mendahului alam semesta ini, diyakininya. 

Manusia jenis tersebut termasuk manusia yang gandrung akan keindahan bukan perkelahian dan perpecahan. Mengupas puisi Soe Hok Gie (1961) "aku tak ingin berbicara tentang nilai dan cinta, melainkan tentang keindahan," kurang lebih demikian kutipannya. Interpretasi makna tersebut punya kekuatan nilai puncak dari hidup manusia dapat mencapai ma'rifat keindahan. 

Kalau dicermati manusia yang menggemari sastra yang lahir dari Pesantren dan Seminari, secara laku ataupun karya selalu bersentuhan dengan hati. Terkontaminasi pada ideologi atau agama yang digandrungi--yang diamati sebagai keyakinan akan membawa keselamatan. Makrifat indah dalam hidup Tuhan. Sastra sebagai jalan penyatuan bermula dsri kata. Mungkin. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar